Sebagian petani di Desa Kalijaran, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap, kesulitan mengairi sawahnya karena lahannya lebih tinggi dari saluran irigasi. Selama bertahun-tahun mereka harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit buat menyedot air.
Lahan yang gersang terlihat jelas saat detikJateng mengunjungi area ini, Jumat (3/11/2023). Tanah bekas ditanami padi itu tampak retak-retak, pertanda sudah lama tak dialiri air.
Di sisi lain, sekitar 300 meter di sebelah utara area tersebut, tanaman padi tampak subur dan hijau. Di desa yang sama tapi lokasi lahannya lebih rendah, padinya lebih subur karena mendapatkan air dari irigasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lahan ini memang lebih tinggi daripada yang sebelah sana. Jadi tidak bisa teraliri irigasi. Tanah kami selalu kering kalau kemarau," kata salah seorang petani, Jumiati (50) kepada detikJateng, hari ini.
Kondisi itu membuat para petani yang sawahnya di lahan lebih tinggi harus memutar otak untuk mendapatkan air. Menurut mereka, tanaman padi di lahan seluas sekitar 10 hektare itu tidak bisa maksimal.
"Selama ini kita mengandalkan air dari kali, nyedot dari Kalijaran. Tapi kan biayanya mahal buat BBM (bahan bakar minyak). Dari awal tanam sampai panen paling tidak habis biaya Rp 1 juta untuk BBM saja. Setahun itu paling dua kali panen," ujar Jumiati.
![]() |
Seiring waktu berjalan, perjuangan mereka untuk memperoleh air semakin mudah. Teknologi sumur bor yang memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mulai masuk ke lokasi ini sejak dua tahun lalu.
"Dengan adanya PLTS ini cukup terbantu, tapi belum begitu maksimal. Ini hanya membantu jika menanam hortikultura, seperti terong, lombok, atau nanti rencananya semangka. Sudah 2 tahun beroperasi, memang terasa sedikit terbantu," ucap Jumiati.
Uang yang biasanya dikeluarkan untuk menyedot air guna kebutuhan tanam kini bisa dialihkan untuk kebutuhan lain.
"Berkurang biaya produksinya. Otomatis bisa menambah untuk biaya pendidikan anak-anak," sambung Jumiati.
Kondisi yang sama juga dirasakan Arjo Suwito (70). Dia mengaku dulu hanya bisa panen padi sekali dalam setahun.
"Kesulitan air dari puluhan tahun. Keringnya lama banget. Dulu waktu belum ada mesin sedot tahun 1970-an, setahun cuma sekali panen. Saya punya tanah 1/4 hektare. Sebelum ada ini (PLTS), nyedot dari Kalijaran sehari bisa menghabiskan Rp 70 ribu untuk BBM," ujar Arjo.
Diketahui, Maos merupakan menjadi salah satu lumbung padi di Kabupaten Cilacap. Namun, sebagian petani di Maos masih mengalami kendala dalam hal pengairan.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
"Cilacap salah satu wilayah terluas. Sawahnya total ada 64 ribu hektare, 186 hektare di Kalijaran. Maos salah satu lumbung karena irigasinya sangat bagus, setahun bisa panen 3 kali," kata Kepala Dinas Pertanian Cilacap, Susilan.
Untuk itu PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) memberikan bantuan lewat program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Desa Energi Berdikari Kalijaran.
Dirut PT KPI, Taufik Adityawarman mengatakan Program Desa Energi Berdikari Kalijaran berbasis pada pengelolaan integrated farming berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
"Keterbatasan lahan irigasi tadah hujan dan sistem pertanian yang masih konvensional. Padahal Kalijaran memiliki potensi yang sangat baik, maka kami hadir menjadi bagian dari kemandirian ekonomi masyarakat melalui program TJSL Kilang Cilacap," kata Taufik.
Secara rinci, Taufik menjelaskan KPI memberikan dukungan PLTS dengan daya PLTS 10.750 Wattpick. Jumlah debit air yang bisa dihasilkan dapat meningkatkan jumlah debit air untuk pengairan hingga 76.600 liter dan produksi pupuk organik 70 kg per hari.
"Jumlah debit air ini tentu sangat berdampak pada pertanian di sini. Kami berharap wilayah Kalijaran ke depan bisa menjadi pertanian terintegrasi. Selanjutnya meningkatkan siklus panen dari sebelumnya 2 kali menjadi 3 kali per tahun. Penghematan anggaran irigasi per hektare dari Rp 1,5 juta untuk pembelian BBM menjadi Rp 1 juta, serta peningkatan produksi pertanian dari 12 ton menjadi 12 ton ditambah 4 ton cabai per hektar selama 1 tahun," jelasnya.