Kemarau panjang menyebabkan petani di lereng Gunung Merbabu wilayah Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, terpaksa membeli air untuk menyirami tanaman sayurannya sejak Juli lalu. Untuk satu bidang lahan, petani bisa merogoh kocek hingga Rp 800 ribu per minggu.
"Kalau ditotal sudah menghabiskan 60 toren. Tanaman cabai nggak bisa tinggi (kalau kurang air), akarnya kering, buahnya nggak maksimal," kata salah satu warga, Alif Ardiansyah (38) saat ditemui di sela menyemprot tanamannya di Desa Wonolelo, Sawangan, Kamis (14/9/2023).
Alif mengelola lahan seluas 3.000 meter persegi dengan sistem tumpang sari yang meliputi 5.000 bibit cabai, sawi, dan daun bawang. Sawinya dipastikan gagal panen karena tanamannya tidak berkembang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tumpang sari dengan loncang (daun bawang), sawi, cuma sawinya gagal panen. Kemarau sangat panjang merugikan petani. Kalau tanaman 5 ribu kayak gini harusnya dapat 2 kuintal (cabai). Ini cuma dapat 20 kilogram," kata Alif. Dia pun membuat tiga tampungan air.
Air untuk menyiram sayuran itu dibeli dari wilayah Selo, Kabupaten Boyolali, berjarak sekitar 10 km dari lahannya. Satu toren air (seribu liter) harganya Rp 100 ribu.
"Lahan sini satu kocoran habis 2 toren. Kalau seminggu pengocoran 4 kali, sudah Rp 800 ribu," ujar Alif.
![]() |
Dia pertama kali membeli air saat tanaman cabainya berusia 40 hari. Kini tanamannya sudah berusia 3,5 bulan.
"Kalau air tercukupi, waktu 3 bulan sudah panen. Ini 3,5 bulan baru mulai panen. Kemarin dapat 20 kilogram. Biasanya kalau normal, ini tiga kali panen harusnya mencapai 80 kilo sampai 1 kuintal. Sekarang panennya 7 kilo, 10 kilo, dan 20 kilo," kata Alif.
Petani lain, Pomo Anang (30) juga menggunakan sistem tumpang sari dengan tanaman tomat, kentang, dan cabai. Terakhir dia membeli air dari wilayah Wonolelo, Magelang, pada Selasa (12/9).
"Sudah habis 5 toren. Satu toren cukup buat ngocori tiga hari," ujar Anang.
Soal perbandingan besaran biaya yang telah dikeluarkan dengan hasil panennya kelak, Anang mengaku belum menghitung.
"Itung-itungannya belum tahu pasti. Sing penting nek wong tani ki usaha ngoten (Yang penting bagi petani itu usaha)," katanya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Ditemui terpisah, penjual air Sumarni (42) mengatakan per hari dia bisa menjual 5-10 toren air. Pembeli datang dengan membawa toren sendiri.
"Biasanya yang datang ke sini bawa mobil dan toren. Di sini seikhlasnya orang ngasih (uang), terkadang ada yang Rp 10 ribu, Rp 15 ribu, dan Rp 20 ribu. Tapi paling mentok Rp 20 ribu, cuma buat ganti beli bensin (diesel penyedot air)," ujarnya.
Petani yang beli air, kata Sumarni, kebanyakan dari wilayah Wonolelo. Ada juga petani yang datang dari wilayah Kecamatan Pakis.
"Mereka senang mengambil di sini karena airnya bersih, jadi bisa untuk konsumsi juga," ujarnya.
Menurut Kepala Desa Wonolelo, M Marpomo, kemarau tahun ini sudah berlangsung sekitar tiga bulan.
"Debit air mulai berkurang. Untuk rumah tangga masih cukup, tapi karena sebagian warga untuk ngocori tanduran (menyiram tanaman) sehingga sebagian beli," kata Marpomo.
"Pemerintah Desa kalau untuk keperluan ngocori tidak bisa menyuplai. Kalau darurat buat kebutuhan konsumsi, Pemdes maupun pihak terkait bisa membantu," ucapnya.