Ketika berjalan menyusuri Kali Code, Jogja, tepatnya di daerah Keparakan Lor terlihat bengkel timbangan kodok analog milik Supardi. Bengkel ini tampak tutup tak terlihat aktivitas pekerja.
Saat detikJateng berkunjung, Supardi tengah duduk di depan rumahnya, menyapa, dan menceritakan dua bulan terakhir bengkelnya sudah tidak beroperasi. Hal itu karena sepinya pembeli dan permintaan dari toko. Kendati demikian stok bahan untuk pembuatan timbangan masih dimiliki Supardi dan siap beroperasi apabila dibutuhkan.
"Sedang libur, sejak dua bulan ini nggak beroperasi permintaan dari toko masih sepi," kata Supardi di rumahnya, Keparakan Lor, Mergangsan, Kota Jogja, Selasa (13/12/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Supardi menyebut ini kali pertamanya bengkel miliknya berhenti beroperasi. Supardi menyebut mengalami kesulitan sejak pandemi hingga saat ini.
"Sebelumnya belum pernah berhenti seperti ini selalu ada, tapi yang paling kaget ya Corona itu. Sejak Corona itu saya mau keluar istilahe (istilahnya) mau ke Tegal, Semarang, ke mana-mana tokonya terbatas waktu. Jam sekian jam sekian libur berapa bulan, ya itu tersendat, hancur. Jadi ya dua tahun ini resik (tidak ada pesanan)," jelasnya.
![]() |
Timbangan kodok memiliki beberapa penyebutan nama di masyarakat. Ada yang menyebutnya timbangan pasar, timbangan duduk, timbangan meja, dan sebagainya.
Supardi lantas mengajak menengok bengkel timbangan milikinya yang tak jauh dari rumahnya tersebut. Nampak di sana beberapa alat potong besi, sisa cat, hingga beberapa komponen bahan timbangan.
Beberapa komponen timbangan terlihat ditutupi kain dan karung. Supardi menyebut biasanya ia mempekerjakan tiga karyawan di tempat kerjanya itu.
Supardi adalah generasi kedua dari ayahnya sebagai produsen timbangan kodok sejak tahun 1978, Supardi meneruskan sejak tahun 1994. Pada saat itu Supardi mampu memproduksi 500 timbangan per bulan yang dikerjakan oleh delapan orang.
"Dulu sekitar tahun 78 almarhum Bapak saya, saya generasi kedua jadi Bapak nggak ada 1994 lalu saya yang meneruskan. Satu bulan sekitar 500-an, dikerjakan sekitar delapan orang," ucap Supardi.
Masa jaya tahun 1990-an, di halaman berikutnya...
Supardi menyebut sekitar tahun 1994 adalah masa jayanya ia mampu memproduksi 500 timbangan per bulan. Lalu sejak 2006 produksi rata-rata menurun.
"Dulu dalam masa jaya tahun 1995 itu tembus 500 timbangan sebulan. Sejak 2006 150 sampai 200 timbangan rata-rata per bulan. Tahun 2019 pesanan rata-rata 100 hingga 150 per bulan," ungkapnya.
Supardi menyebut salah satu kendala yang pernah dialaminya adalah kenaikan harga material. Harga besi setiap tahun naik yang menyebabkan kenaikan pula pada harga jual timbangan.
"Harga material juga naik terus ini (menunjuk salah satu komponen timbangan) Rp 41 ribu sekarang Rp 50 ribu, naik Rp 9 ribu per set. Besi itu Rp 11.500 sekarang 15.000 ribu," ucap Supardi.
![]() |
Selain itu Supardi menyebut harga timbangan kodok dianggap lebih mahal padahal timbangan kodok memiliki kelebihan, khususnya dari daya tahan dan bahan yang terbuat dari besi dan baja. Kendati rusak pun timbangan kodok masih bisa direparasi.
"Timbangan kodokan dianggap terlalu mahal bisa dapat dua atau tiga kalau digital. Padahal kelebihan timbangan kodokan ini berapa puluh tahun nggak rusak kalau nggak jatuh atau patah, tapi meski patah pun masih bisa dilas, dulu juga buka reparasi tukar tambah. Seperti reparasi sama ngecat," ucap Supardi.
Selain itu kelebihannya dari bahan materialnya dari baja besi sehingga bahan apa saja yang ditimbang bisa lebih tahan, seperti dipakai toko material menimbang paku dan sebagainya.
Sekarang timbangan dari Supardi dihargai Rp 350 ribu hingga Rp 370 ribu. Untuk menemukan timbangan kodok milik Supardi di pasaran, biasanya ditemukan di toko peralatan rumah tangga yang menjual panci dan wajan. Bahkan Supardi menyebut kalo di luar kota dijual di beberapa toko material.
"Di Pasar Muntilan, Bantul, Gunungkidul, biasanya di toko yang jual panci wajan, kalau toko luar kota bareng jualan material juga ada," ucap Supardi.