Beras Rojolele sejak lama dikenal sebagai beras unggulan yang berasal dari Kecamatan Delanggu, Klaten, Jawa Tengah dan sekitarnya. Kini, beras varietas Rojolele dibangkitkan lagi oleh masyarakat dan pemerintah daerah menjadi produk unggulan.
Pegiat literasi Klaten, Muhammad Anshori, menjelaskan ada beberapa versi asal nama Rojolele. Varietas itu ada sejak era kerajaan Mataram Islam di Kartasura masa Paku Buwono II (1745 M ).
"Sepanjang sepengetahuan saya dan sudah saya tulis, ada beberapa versi asal mula Rojolele. Satu, Rojolele itu awalnya saat raja Paku Buwono II tedhak (datang menemui rakyat) ke Delanggu," tutur Anshori kepada detikJateng, Kamis (3/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dijelaskan Anshori, saat tedhak melihat penanaman padi itulah raja memanggil warga dengan sapaan thole (anak kesayangan). Karena bersama raja saat itu lahirlah istilah Rojolele.
"Dengan bahasa sapaan thole- thole, bahasa kesayangan raja kepada masyarakat. Sehingga beras yang ditanam bersama masyarakat yang sebenarnya beras wulu itu menjadi Rojolele karena yang menanam raja bersama warga," papar Anshori.
Kawasan Delanggu, ungkap Anshori, pada masa lalu memang sudah dikenal sebagai sebuah kawedanan yang subur.
"Masuk akal juga sebagai lumbung pangan karena di Delanggu dan sekitarnya merupakan sultan ground atau vorstenlanden, tanah yang digarap kerajaan tapi bukan hak milik kerajaan," imbuh Anshori.
Sementara itu Sekretaris Kecamatan Gantiwarno, Sri Yuwana Haris Yulianta, mengaku sempat melakukan pengembangan varietas Rojolele. Saat itu dia berdinas di Litbang Bappeda Klaten.
Semula, Rojolele memang sudah dikenal sebagai varietas beras unggulan. Namun Rojolele memiliki umur tanam yang terlalu panjang dan tanamannya terlalu tinggi dan mudah roboh. Hal itu membuat banyak petani yang tidak suka menanam beras Rojolele meski hasil panennya bagus.
Kemudian Pemkab Klaten menggandeng Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) untuk melakukan rekayasa genetika terhadap varietas tersebut.
"Juli 2017 diteken kerjasama BATAN dan Bupati Klaten. Sunarna. Di 5 desa di 5 kecamatan (Sekaran, Jaten, Tlobong, Gempol dan Glagahwangi) kita tanam dan benihnya dibawa ke BATAN disinari radioaktif lalu ditanam lagi oleh petani di 5 desa itu dan terus diulang," kata Haris.
Rupanya, rekayasa genetika itu mampu membuat varietas ini menjadi jauh lebih baik. Usia tanaman padi yang semula mencapai 5 bulan bisa ditekan menjadi 4 bulan.
Sedangkan tinggi tanaman yang semua mencapai 155 sentimeter sehingga mudah roboh bisa diperpendek menjadi 105 sentimeter.
(ahr/rih)