Pucung merupakan salah satu desa di Kecamatan Kismantoro yang lokasinya berada di ujung selatan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Di desa itu terdapat puluhan warganya yang menyandang disabilitas.
Perangkat Desa Pucung, Yoyok Ernowo mengatakan saat ini ada sekitar 60 warga Pucung yang menyandang disabilitas. Keberadaan mereka terkesan termarjinalkan, dipandang sebelah mata hingga minim akses pelayanan.
"Batik ciprat ini berawal dari keprihatinan Pak Kepala Desa (Pucung) terhadap puluhan difabel itu. Berpuluh tahun mereka tidak mendapatkan program yang langsung menyasar ke mereka (difabel)," kata dia kepada detikJateng, Jumat (5/8).
Atas kondisi itu, kata Yoyok, pada 2018 Pemerintah Desa Pucung mengadakan kegiatan pemberdayaan penyandang disabilitas berupa pelatihan keterampilan membatik dengan anggaran berasal dari APBDes Tahun Anggaran 2018. Fokus dari kegiatan itu yakni memproduksi batik ciprat dengan pendampingan dari kader yang berasal dari unsur relawan masyarakat.
"Jadi kegiatannya tidak hanya bantuan sembako atau uang tunai, karena itu nanti cepat habis. Kalau pemberdayaan atau pelatihan seperti ini para penyandang disabilitas bisa mandiri dan menghasilkan uang. Dan alhamdulillah bisa berkembang sampai sekarang," ungkap Ketua Sheltered Workshop Peduli (SWP) Karya Barokah Desa Pucung itu.
![]() |
Yoyok menuturkan, saat awal pelatihan hanya ada enam orang disabiltas yang bergabung. Kemudian bertambah menjadi 23 orang dan saat ini tinggal 10 orang yang masih aktif membuat batik ciprat.
Menurutnya, disabilitas di Desa Pucung bermacam-macam, mulai dari bisu, tuli, lumpuh hingga keterbelakangan intelektual. Sehari-hari mereka (yang tidak lumpuh) beraktivitas mencari rumput untuk hewan ternak yang dipelihara keluarganya. Penyandang yang ikut membuat batik ciprat rata-rata berusia 40-50 tahun.
"Kalau batik ciprat ini kan motifnya abstrak, jadi untuk difabel mudah. Kalau ketrampilan anyaman atau lainnya termasuk ribet dan rumit. Selain itu cari referensinya juga susah," ujar dia.
Menurut Yoyok, para difabel membuat batik ciprat hampir setiap hari, kecuali Minggu dan hari libur tertentu. Biasanya mereka mulai pukul 09.00 WIB hingga 15.00 WIB. Adapun lokasinya dipusatkan di belalang Balai Desa Pucung. Sehingga jika ada kunjungan bisa langsung melihat kegiatannya.
![]() |
"Dasarannya kain mori. Kain diciprat warna kemudian dicuci, terakhir direbus dan dikeringkan. Waktu pengerjaannya tergantung motifnya, ada yang satu hari bisa kering ada yang sampai dua hari," jelas dia.
Ia mengatakan dalam satu bulan rata-rata para difabel bisa menghasilkan 100 kain. Setiap difabel memiliki tugas masing-masing sesuai dengan tupoksinya. Mereka dibayar berdasarkan laba setiap kain. Dalam satu bulan bisa mendapat Rp 500 ribu. Jika lebih giat bisa mendapatkan lebih banyak.
Yoyok mengatakan harga satu kain batik itu bervariasi, mulai Rp 130.000-Rp 250.0000, tergantung motif dan lama pengerjaannya. Hingga kini penjualan batik ciprat itu rata-rata dikirim ke wilayah Jawa Tengah. Pernah beberapa kali mengirim ke Sumatera dan Papua.
"Kalau di RSUD Wonogiri itu pegawainya setiap Kamis seragamnya pakai batik ciprat sini, dulu pesannya 700 kain. Selain itu yang pesan seperti seragam ASN Setda Wonogiri, Dinas Sosial, Bank Jateng dan sekolah-sekolah," kata Yoyok.
(apl/aku)