Air Hujan Mengandung Mikroplastik Juga Ada di Solo-Boyolali

Air Hujan Mengandung Mikroplastik Juga Ada di Solo-Boyolali

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Selasa, 25 Nov 2025 22:59 WIB
Woman hand with umbrella in the rain in green nature background
Ilustrasi air hujan mengandung mikroplastik. Foto: Getty Images/iStockphoto/Sasiistock
Semarang -

Pendiri Ecoton Foundation, Prigi Arisandi, mengungkap adanya kandungan mikroplastik dalam air hujan di Kota Solo dan Boyolali. Kandungan mikroplastik itu disebut sudah pada level mengkhawatirkan.

Prigi mengatakan, penelitian dilakukan 23 November 2025 di lima titik pengambilan sampel. Mulai dari Jalan Kemuning Solo, Jalan Hassanudin Solo, Jalan Tol Ngemplak Boyolali, hingga Jalan Slamet Riyadi Solo.

"Hasil awal menunjukkan titik tertinggi berada di Jl Slamet Riyadi Solo dengan konsentrasi mencapai 125 partikel per liter, disusul Tol Ngemplak Boyolali 78 partikel per liter, serta Jl Hassanudin Solo 75 partikel per liter," kata Prigi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/11/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sampel hujan diambil menggunakan wadah stainless steel, aluminium, dan toples kaca yang diletakkan pada ketinggian lebih dari 1,5 meter. Temuan tersebut didominasi oleh mikroplastik jenis fiber atau serat, dengan warna hitam sebagai warna paling dominan.

"Ini sangat mengkhawatirkan, ternyata air hujan di Solo juga terkontaminasi mikroplastik. Jangan kebiasaan mangap saat hujan turun, karena setiap tetes membawa risiko paparan plastik tambahan," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Ia memaparkan, tingginya mikroplastik di udara Solo-Boyolali tidak terjadi begitu saja. Menurutnya, ada tiga hal yang menyebabkan hujan di daerah itu mengandung mikroplastik.

"Pertama, aktivitas pembakaran sampah terbuka, terutama plastik multilayer dan tekstil sintetis, yang melepaskan fiber ke atmosfer. Kedua, abrasi ban kendaraan bermotor dan rem kendaraan, mengingat arus lalu lintas padat di jalur Solo-Boyolali," urainya.

"Ketiga, banyak sampah plastik yang dibuang sembarangan kemudian tercecer di lingkungan, yang turut melepaskan mikroplastik ke udara dan terbawa oleh air hujan," sambungnya.
Menurutnya, semakin banyak orang membakar sampah, semakin banyak mikroplastik yang naik ke udara. Partikel itu bisa melayang ratusan kilometer di atmosfer sebelum turun bersama hujan.

Prigi juga mengingatkan adanya risiko kesehatan yang perlu diperhatikan. Menurutnya, mikroplastik dapat membawa senyawa kimia berbahaya seperti phthalates, BPA, logam berat hingga patogen.

"Paparan jangka panjang melalui air, udara, dan makanan dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan, gangguan hormon, hingga inflamasi kronis," jelasnya.

Selain itu, sedimentasi mikroplastik yang terbawa air hujan dapat mencemari tanah, sawah, dan sungai yang menjadi sumber air baku bagi Kota Solo.

"Air hujan tercemar ini berpotensi masuk ke sistem irigasi, memengaruhi kesehatan tanah, bahkan diserap oleh tanaman yang kemudian masuk ke rantai pangan masyarakat," ujarnya.

Ia menyebut efek mikroplastik sendiri tak hanya berdampak ke otak yakni menurunnya fungsi kognitif. Karena bahkan mikroplastik juga sudah terdeteksi di darah hingga ketuban.

"Jadi memang perlu upaya atau effort dari masyarakat untuk menjaga dirinya apalagi kita di Jawa Timur kita meneliti di darah itu mengandung mikroplastik. Kemudian di ketuban," ungkapnya.

"Jadi efeknya tidak hanya di di otak tapi di ketuban. Di tempat yang paling aman bagi manusia yaitu rahim sudah terkontaminasi mikroplastik," lanjutnya.

Ia pun mendorong pemerintah Solo dan Boyolali mengambil tindakan tegas untuk menghentikan praktik pembakaran sampah. Ia juga meminta pemerintah mulai mengembangkan pemantauan kualitas udara khusus mikroplastik, karena hingga kini belum ada daerah di Indonesia yang memiliki indeks tersebut.

"Publikasi atau sanksi sosial berupa pemasangan foto warga yang membakar sampah plastik dan membuang sampah plastik ke sungai," sarannya.

"Monitoring kualitas udara untuk mengetahui kontaminasi mikroplastik perlu dimulai, dengan menggandeng akademisi dan praktisi. Saat ini belum ada satu pun daerah di Indonesia yang memiliki indeks kualitas udara khusus mikroplastik," lanjutnya.

Menurutnya, uji lanjutan menggunakan FTIR atau Raman Spectroscopy wajib dilakukan secara berkala, minimal 3 bulan sekali, agar sumber polimer plastik dapat ditelusuri.

"Pengaturan dan inovasi transportasi berkelanjutan, karena serat ban menjadi kontributor mikroplastik pada air hujan, kebijakan transportasi rendah emisi," tambahnya.

Prigi menambahkan, masyarakat perlu mulai mengurangi penggunaan plastik sekali pakai serta lebih kritis terhadap sumber air minum yang dikonsumsi. Menurutnya, air hujan yang selama ini dianggap bersih ternyata tidak sepenuhnya aman dari ancaman mikroplastik.

"Kalau kita tidak mulai berubah sekarang, mikroplastik akan terus turun lewat hujan dan memperbesar risiko paparan bagi kita dan anak-anak kita," ujarnya.

Tim riset Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) juga mengungkap bahwa mikroplastik kini terdeteksi dalam darah manusia bahkan sampai ke ketuban.

Tim riset mikroplastik FK UI, Pukovisa Prawirohardjo, menjelaskan mikroplastik tidak hanya lewat saluran cerna, tetapi dapat masuk ke aliran darah dan bersirkulasi dalam tubuh.

"Memang sebagian dikeluarkan lewat urin dan feses, tetapi yang kita paling khawatirkan itu kalau dampak pada tubuh itu kalau mengendap di jaringan," ungkapnya.

"Dan itu sudah terbukti di beberapa jurnal yang diterbitkan Nature, jaringan di otak adalah termasuk jaringan yang paling sering terendap," lanjutnya.

Ia menjelaskan, endapan mikroplastik berpotensi menurunkan fungsi otak, khususnya fungsi kognitif yang sangat penting bagi manusia.

"Dampaknya fungsi kognitif turun. Beberapa penelitian yang sedang on going juga tentang sistem reproduksi, sistem pencernaan, tapi belum publish. Yang kita khawatirkan adalah ini temuannya mirip dengan temuan yang di hewan," jelasnya.

Peneliti Greenpeace Indonesia, Afifah Rahmi Andini, menambahkan ancaman mikroplastik yang kini ditemukan di air minum, darah hingga ketuban, bukan hanya karena perilaku masyarakat. Tapi juga tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab industri yang memproduksi plastik sekali pakai.

Afifah menilai, pemerintah dan industri berjalan terlalu lambat dalam menjalankan amanat Permen LHK No. 75/2019, yang mewajibkan produsen menyusun roadmap pengurangan sampah plastik hingga 2030.

Namun hingga 2025, baru kurang dari 100 produsen yang menyerahkan laporan, padahal jumlah perusahaan manufaktur, ritel, dan Horeca di Indonesia mencapai ribuan.
"Sayangnya masih di bawah angka 100 (yang mengumpulkan). Jadi sisanya ini ke mana komitmennya? Kita sudah menjabarkan sedemikian rupa mikroplastik sudah ada di mana-mana," tuturnya.

"Kalau masih menunggu implementasinya tahun 2030 dengan progres yang sangat lamban ini ya kita akan sangat-sangat keteteran," lanjutnya.

Menurutnya, lambatnya penegakan aturan membuat beban pencemaran justru jatuh ke masyarakat. Warga dipaksa membeli filter air, mencari cara menyaring udara, dan mengeluarkan biaya tambahan agar bisa bertahan di lingkungan yang sudah tercemar mikroplastik.

"Itu hanya upaya survival masyarakat untuk bisa bertahan dalam kondisi tercemar ini. Sedangkan produsennya hulunya sama sekali tidak dikenakan sanksi disinsentif apapun," katanya.

"Bahkan beberapa produsen petrokimia hulu yang memproduksi plastik dari hulu malah mendapat kelonggaran tax holiday selama beberapa tahun ke depan. Ini yang jadi ironi dan pemerintah harus merombak kajian terkait insentif dan disinsentif pajak, supaya lebih fair," tegasnya.

Afifah menjelaskan bahwa plastik sekali pakai, mulai dari kemasan air minum, plastik pembungkus, hingga gelas dan tutup plastik di kafe, menjadi penyumbang terbesar mikroplastik yang masuk ke tubuh manusia.

Ia mencontohkan penelitian Greenpeace tahun 2021 yang membandingkan galon sekali pakai, mata air sumber, dan galon guna ulang. Hasilnya, semua mengandung mikroplastik. Namun galon sekali pakai paling tinggi kontaminasinya, karena jenis plastik PET yang terlepas akibat panas dan gesekan.

"Mata di air tanah juga ada. Tapi dengan mengemasnya lagi dalam kemasan plastik, itu memperparah lagi," tersngnya.

Greenpeace menyebut pemerintah harus memperluas pelarangan plastik sekali pakai yang selama ini hanya menyasar sedotan, styrofoam, dan kantong kresek.

"Pemerintah harus menerapkan prinsip polluter pays principle. Di mana produsen-produsen yang memang mencemari, harus bertanggung jawab terhadap beban lingkungan yang mereka timbulkan," ujarnya.

Ia menilai pemerintah harus berpindah dari sistem 'sekadar mendaur ulang', menuju reuse system atau sistem guna ulang. Desain pengemasan dan distribusi perlu diarahkan ke model yang tidak terus menghasilkan plastik baru.

Afifah menegaskan, tanggung jawab produsen seharusnya tidak hanya berhenti pada produksi, tetapi juga transparansi. Konsumen berhak mengetahui bahan kimia yang ada di dalam kemasan maupun produk, agar bisa menilai keamanan dan dampak lingkungannya.

"Harus ada mekanisme untuk shifting ke sistem guna ulang. Jadi pemerintah harus memberikan insentif pada yang inisiatif memberikan solusi untuk mengurangi sampah dari dari hulu, dengan mendesain sistem pengemasan dan juga distribusinya menggunakan guna ulang," sarannya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Respons BMKG soal Air Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik"
[Gambas:Video 20detik]
(apl/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads