Ecoton Foundation menyebut Kota Semarang menempati urutan keempat kota dengan paparan mikroplastik di udara, yakni mencapai 13-14 partikel per sampel. Bahkan, hujan di Kota Semarang disebut sudah mengandung mikroplastik.
Hal tersebut dikatakan Pendiri Ecoton Foundation, Prigi Arisandi dalam acara 'Invisible Threat of Microplastics' di Rumah Pohan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang. Ia mengatakan, temuan itu berdasarkan hasil penelitian kualitas udara dan air hujan di 18 kota di Indonesia bersama SIEJ (Society of Indonesian Environmental Journalist).
"Nah kita ada temuan baru. Jadi kita kan Juni sampai Mei dengan SIEJ meneliti 18 kota di Indonesia, dan kita menemukan Semarang itu nomor empat. Ada sekitar 13-14 partikel mikroplastik di udaranya," kata Prigi di Rumah Pohan, Selasa (25/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Temuan terbaru hari ini kita menemukan di Jalan Mataram air hujannya mengandung sekitar 44 partikel mikroplastik, 32 jenis fiber, 12 jenis filamen. Ini harus dijadikan warning bagi masyarakat di Semarang," lanjutnya.
Prigi menyebut, perilaku masyarakat menjadi faktor kuat polusi mikroplastik. Salah satunya karena 56 persen sampah di Indonesia masih dibakar, termasuk di kawasan permukiman.
"Jangan bakar sampah, kurangi penggunaan sampah plastik, kemudian jangan mangap saat hujan. Karena hujan akan masuk dalam tubuh kita dan kita tidak ingin kemudian itu masuk dalam otak kita," ujarnya.
Ia menyebut efek mikroplastik sendiri tak hanya berdampak ke otak yakni menurunnya fungsi kognitif. Karena bahkan mikroplastik juga sudah terdeteksi di darah hingga ketuban.
"Jadi memang perlu upaya atau effort dari masyarakat untuk menjaga dirinya apalagi kita di Jawa Timur kita meneliti di darah itu mengandung mikroplastik. Kemudian di ketuban," ungkapnya.
"Jadi efeknya tidak hanya di di otak tapi di ketuban. Di tempat yang paling aman bagi manusia yaitu rahim sudah terkontaminasi mikroplastik," lanjutnya.
Menurut Prigi, hampir semua sumber air saat ini sudah terkontaminasi. Ia pun mendorong pemerintah dan masyarakat untuk mulai serius mengurangi plastik sekali pakai dan menghentikan kebiasaan membakar sampah.
Dalam acara Invisible Threat of Microplastics itu, para peserta membawa sampel air dari berbagai sumber. Selain air hujan, mereka membawa air rebusan hingga air PDAM.
Salah satu warga asal Kecamatan Gunungpati, Krisna Phiyastika (37), membawa enam jenis sampel air untuk diuji yakni air di Jalan Protokol, air PDAM di Jalan Erlangga, air sendang dan air sumur di Gunungpati, air PDAM, hingga air hujan, dan air minum kemasan. Hasilnya, hampir semua mengandung mikroplastik jenis fiber.
"Rata-rata yang mikroplastik fiber, tapi nggak terlalu banyak. Tapi yang di Gunungpati itu yang di sumur fibernya sedikit banget, yang sendang justru malah agak keruh karena mungkin hujan, nggak mengendap sempurna pas dibawa ke sini," tuturnya kepada detikJateng.
Namun menariknya, air sendang yang keruh justru memiliki partikel mikroplastik paling sedikit, yakni hanya 1-2 partikel. Sementara yang lain berkisar 4-5 partikel. Temuan itu disebut sudah diperkirakan dirinya.
"Kan kalau orang di desa saya, dulu ketika buang sampah sebagian ditimbun. Nah kan ini kita nggak nimbunnya sampah plastik atau organik. Terus banyak juga yang buang sampah di sekitar Sendang," kata Founder Arutala Boemi Lestari itu.
Sementara Koordinator Pendidikan Jaringan Peduli Iklim dan Alam (Jarilima), Linggayani Soentoro, ikut membawa sampel empat jenis air yakni air filter, air galon, air es batu plastik, dan air rebusan. Dari empat itu, hanya air filter dan air rebusan yang dinilai relatif aman.
"Ternyata dari empat ini dua yang aman yaitu air yang dimasak dan air yang filter. Memang filter ini cara kerjanya mengurangi TDS, total dissolve solid. Jadi solidnya yang mikroplastik itu harusnya memang bisa di kurangi dengan filter tadi," jelasnya.
"Kemudian yang air masak ini kalau temuannya teman-teman Greenpeace dan Ecoton intinya kalau dipanaskan mikroplastik ini bisa lumer. Jadi akan lebih kecil-kecil partikelnya, yang mungkin tidak kelihatan waktu kita mikroskop," ungkapnya.
Sementara air galon dan es plastik itu disebut terdapat fragmen mikroplastiknya. Ia pun mengingatkan, paparan mikroplastik tak hanya lewat air, tapi juga makanan, terutama yang bersentuhan dengan plastik panas.
"Kalau kita beli cilok di pinggir jalan, panas, masukin ke plastik, nggak tahu itu foodgrade atau nggak. Food grade pun bisa lumer. Intinya kalau plastik ketemu panas pasti begitu. Jadi itu yang kami deg-degan," ujarnya.
Sebagai perempuan, Lingga turut menyoroti temuan mikroplastik di rahim ibu hamil sebagai ancaman serius bagi generasi mendatang.
"Nah, ini bagaimana kita sebagai orang tua bertanggung jawab pada kehidupan masa depan anak-anak kita. Kalau kita sendiri tidak mawas diri, asal-asalan itu yang kita pertanggungjawabkan sama anak cucu kita," tuturnya.
"Bahkan di ruang paling aman yaitu di rahim ibu saja sudah terkontaminasi mikroplastik. Apa yang kita bisa pertanggungjawabkan pada anak cucu kita nanti?," lanjutnya.
Namun Lingga menegaskan, rasa takut saja tidak menyelesaikan masalah. Perlu adanya langkah untuk mengurangi penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari.











































