Profil Sarwo Edhie Wibowo, Jenderal Kopassus yang Terima Gelar Pahlawan Nasional

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Senin, 10 Nov 2025 17:57 WIB
Ilustrasi Prabowo memberi gelar Pahlawan Nasional 2025. Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana
Solo -

Penetapan Sarwo Edhie Wibowo sebagai Pahlawan Nasional pada Hari Pahlawan 2025 kembali mengangkat namanya ke ruang diskusi publik. Sosok jenderal Kopassus ini sudah lama dikenal dalam sejarah militer Indonesia, terutama karena perannya yang menonjol pada masa-masa kritis setelah kemerdekaan.

Perjalanan hidupnya dimulai dari Purworejo, tumbuh dalam tradisi disiplin, lalu masuk ke dunia militer sejak masa pendudukan Jepang. Kariernya terus menanjak dari masa revolusi kemerdekaan, puncaknya pada peristiwa 1965, hingga kiprahnya di panggung diplomasi dan politik.

Untuk memahami posisi ayah mertua dari Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono ini dalam sejarah Indonesia, kita bisa melihat perjalanan panjangnya dari masa muda, karier militer, hingga akhir hayatnya. Yuk, simak selengkapnya, detikers!

Poin utamanya:

  • Sarwo Edhie berperan penting dalam operasi militer pasca G30S 1965 dan membentuk arah keamanan nasional pada periode tersebut.
  • Kariernya tidak hanya berada di dunia militer, tetapi juga diplomasi, birokrasi, dan pembinaan ideologi negara.
  • Penetapan gelar Pahlawan Nasional menunjukkan pengakuan negara terhadap kiprahnya, sambil tetap mengingat bahwa sejarah selalu mengandung kompleksitas.

Profil Sarwo Edhie Wibowo

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari buku Trah Politik Sang Proklamator tulisan Radis Bastian serta artikel ilmiah Peran Sarwo Edhi dalam Peristiwa Berdarah 1965 oleh Faris Tri Aditya dan Peran Sarwo Edhie Wibowo Pasca Peristiwa G30S PKI Tahun 1967-1989 oleh Mira Kusuma dkk, berikut adalah profil lengkap dari Sarwo Edhie Wibowo.

A. Kehidupan Awal

Sarwo Edhie Wibowo lahir di Desa Pangenjurutengah, Purworejo, pada 25 Juli 1927 (dalam data lain tercatat 1925). Ia merupakan anak keenam dari pasangan Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini.

Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang menjalankan pekerjaan sebagai pegawai pemerintah kolonial. Kondisi tersebut membuatnya terbiasa dengan kedisiplinan dan keteraturan sejak kecil.

Pendidikan awalnya dimulai di HIS dan dilanjutkan ke MULO. Pada masa remajanya, ia membangun ketertarikan besar terhadap dunia ketentaraan. Selain itu, ia belajar silat sebagai bekal pertahanan diri. Kekagumannya pada militer Jepang yang saat itu menang perang di kawasan Asia dan Pasifik, mendorongnya untuk mengambil langkah nyata menuju profesi prajurit.

Ketika Jepang menduduki Indonesia, ia bergabung dengan Heiho dan kemudian PETA (Pembela Tanah Air). Namun tugas-tugas yang dijalaninya di masa itu lebih banyak bersifat domestik, seperti membersihkan barak dan melakukan pekerjaan kasar. Meskipun demikian, pengalaman tersebut menjadi awal pembentukan kedisiplinan dan keteguhan sikap militernya.

B. Awal Karier Militer Setelah Kemerdekaan

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada masa ini, ia berusaha membentuk batalyon sendiri, meskipun gagal.

Di tengah kegamangan itu, Ahmad Yani yang merupakan teman sekampung sekaligus sesama eks PETA, mengajaknya bergabung dengan Batalyon III Badan Keamanan Rakyat di Magelang. Ajakannya diterima, dan sejak saat itu karier militernya mulai memiliki arah yang jelas.

Tahun 1949, Sarwo Edhie menikah dengan Sunarti Sri Hadiyah dalam suasana serba sederhana. Kehidupan keluarga dijalani di tengah kondisi negara yang masih labil. Pada tahun 1958-1959, ia mendapat tugas sebagai Wakil Komandan Resimen Taruna di Akademi Militer Nasional (AMN). Setelah itu, ia ditunjuk memimpin Sekolah Para Komando Angkatan Darat (SPKAD) dan mendirikan pendidikan militer yang mulai berjalan pada 15 April 1962.

Langkah kariernya terus meningkat. Ia kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Tahun 1963, ia mengikuti pendidikan di The Australian Army's Staff College yang memperluas wawasan dan jaringan militernya.

Pengalaman-pengalaman ini memperkuat kapasitas kepemimpinannya sebelum memasuki salah satu peristiwa paling menentukan dalam sejarah Indonesia, yaitu Gerakan 30 September 1965 atau G30S.

C. Peran Sentral dalam Penumpasan Gerakan 30 September 1965

Saat peristiwa Gerakan 30 September terjadi, Sarwo Edhie sudah diberi perintah sebagai pelaksana harian di Resimen RPKAD. Pada 1 Oktober 1965 dini hari, sejumlah jenderal TNI AD diculik dan dibunuh, sehingga Jakarta berada dalam situasi darurat.

Markas Kostrad menjadi pusat koordinasi. Di sana, Sarwo Edhie mendapatkan instruksi langsung dari Mayor Jenderal Soeharto untuk segera menggerakkan pasukan RPKAD.

Sore hari, ia memerintahkan kompi-kompi pasukan untuk merebut kembali Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi yang telah dikuasai kelompok Letkol Untung. Operasi tersebut berjalan cepat, dan sekitar pukul 19.20 Gedung RRI berhasil dikuasai kembali.

Setelah itu, sasaran berikutnya adalah Pangkalan Udara Halim, yang diketahui menjadi pusat pergerakan Gerakan 30 September. Pertempuran terjadi, tetapi berhasil dihentikan setelah negosiasi, hingga pasukan RPKAD menguasai area tersebut.

Pergerakan pasukan RPKAD kemudian menjalar ke Jawa Tengah, terutama Semarang dan Solo. Keduanya adalah daerah yang berada dalam pengaruh PKI melalui Kodam Diponegoro.

Sarwo Edhie memimpin operasi penumpasan, penangkapan, dan pengamanan situasi bersama masyarakat anti-PKI. Penindakan ini berlangsung hingga wilayah Boyolali, dengan konsekuensi bentrokan yang menyebabkan banyak korban terutama kelompok yang melawan.

D. Jabatan Militer Setelah Peristiwa 1965 (1967-1970)

Pada Juni 1967, Sarwo Edhie diangkat menjadi Panglima Kodam II/Bukit Barisan di Sumatera Utara. Di wilayah ini ia berperan membekukan Partai Nasional Indonesia (PNI), yang dianggap memiliki keterkaitan ideologis dan kedekatan dengan PKI serta ajaran Marhaenisme. Pembekuan tersebut dilakukan melalui keputusan Muspida Sumatera Utara.

Tahun 1968, berdasarkan SK Panglima Angkatan Darat (Pangad), ia dipindahkan ke Irian Barat sebagai Pangdam XVII/Cendrawasih. Tugas utamanya adalah menjalankan operasi pengamanan menjelang Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969.

Ia mengeluarkan Perintah Operasi Wibawa yang mencakup tahap pra, saat, dan pasca Pepera. Meskipun terdapat penolakan di beberapa wilayah, operasi berjalan dan wilayah tetap di bawah kendali Indonesia.

Selama memimpin Kodam Cendrawasih, ia juga memperkuat aspek pertahanan melalui pembentukan batalyon baru, peningkatan pelatihan sukarelawan, serta kontrol ekonomi pada wilayah strategis. Setelah tugas Pepera selesai, posisinya digantikan pada tahun 1970.

E. Karier Non-Militer dan Kiprah Politik (1974-1989)

Pada 17 April 1974, Sarwo Edhie dilantik menjadi Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Ia menjadi dubes pertama di negara tersebut. Hubungan bilateral berkembang baik, terutama karena kedekatan karakter kepemimpinan dengan Presiden Korea Selatan Park Chung Hee yang juga berlatar militer. Ia turut mendorong berkembangnya studi Bahasa Indonesia serta siaran KBS dalam Bahasa Indonesia.

Setelah menyelesaikan tugas diplomatik pada 1978, ia menjabat sebagai Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri. Pada masa ini ia menangani kasus besar seperti penyelundupan berlian oleh pejabat Konsulat RI di Bombay. Ia juga berperan dalam pembangunan gedung Sekretariat ASEAN di Jakarta yang diserahkan pada 6 Mei 1981.

Tahun 1984, ia dilantik sebagai Kepala BP7 yang berperan dalam penataran P4 untuk memperkuat ideologi Pancasila. Ia juga aktif di DPR melalui Golkar, serta memimpin Taekwondo Indonesia, menyatukan dua aliran besar dan mengangkat prestasi nasional ke tingkat internasional.

F. Akhir Hayat

Pada masa tuanya, kesehatan Sarwo Edhie menurun akibat masalah gula darah. Sejak 4 Juli 1989 ia dirawat di RSPAD Gatot Subroto dan sempat koma. Pada dini hari 9 November 1989, ia meninggal dunia di usia sekitar 62 tahun. Pemakamannya dilakukan penuh kehormatan pada Hari Pahlawan, 10 November 1989.

Ia dimakamkan di tanah kelahirannya di Purworejo. Sarwo Edhie meninggalkan istri, Sunarti Sri Hadiyah, serta tujuh putra-putri, salah satunya adalah Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang mewariskan kecintaan pada militer, budaya, dan kedisiplinan kepada keluarganya, yang kemudian berpengaruh di lingkup kepemimpinan Indonesia.

Nah, itulah tadi profil Sarwo Edhie dari awal kehidupan hingga akhir hayatnya. Semoga bermanfaat, detikers!



Simak Video "Siap-siap "War" Tiket Indonesia Vs Argentina Segera Dimulai"

(par/apu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork