Profil Singkat Raja Keraton Solo dari Masa ke Masa Lengkap Paku Buwono I-XIII

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Kamis, 06 Nov 2025 14:02 WIB
Ilustrasi Paku Buwono IX. Foto: Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies/Wikimedia Commons/CC BY-SA 3.0
Solo -

Keraton Surakarta atau Solo adalah salah satu pusat budaya Jawa yang memiliki sejarah panjang yang dipenuhi dengan kisah perjuangan, pergantian raja, dan peristiwa besar. Paku Buwono, dari I hingga XIII, memainkan peran penting dalam perjalanan sejarah Keraton Solo. Apakah kamu penasaran dengan profil lengkap para raja yang memimpin Keraton Solo sepanjang masa?

Pada kesempatan ini, kita akan menggali lebih dalam tentang perjalanan hidup dan kebijakan yang diterapkan oleh raja-raja Keraton Solo, mulai dari Paku Buwono I yang memulai era baru setelah perpindahan ibu kota Mataram, hingga Paku Buwono XIII yang menghadapi masa transisi yang penuh tantangan.

Jangan lewatkan kisah penuh dinamika, pembaruan, dan perjuangan yang dihadapi oleh para pemimpin Keraton Solo. Simak informasi lebih lanjut tentang sejarah mereka dan bagaimana warisan kerajaan ini bertahan hingga sekarang!

Poin utamanya:

  • Paku Buwono I hingga XIII memainkan peran kunci dalam perjalanan panjang Keraton Solo, dengan setiap raja meninggalkan warisan dan kontribusinya.
  • Perubahan pusat pemerintahan dan konflik internal seperti Perjanjian Giyanti dan Perang Suksesi Jawa memberikan dampak besar terhadap perkembangan Keraton Solo.
  • Konflik suksesi yang terjadi pada Paku Buwono XIII menandai era transisi penting dalam kerajaan, memperlihatkan tantangan modernisasi dalam mempertahankan martabat budaya.

Profil Singkat Raja Keraton Solo dari Masa ke Masa

Inilah ulasan singkat dari masing-masing pemimpin Solo, dari PB I hingga PB XIII yang baru saja mangkat pada November 2025.

1. Paku Buwono I

Penting untuk dipahami bahwa Paku Buwono I bukanlah raja yang mendirikan atau memerintah di Keraton Surakarta (Solo). Ia adalah raja dari Kerajaan Mataram Islam yang berkedudukan di Kartasura. Sebelum pindah ke Solo, ibukota Mataram Islam adalah Kartasura. Keraton Surakarta baru didirikan di Solo oleh Paku Buwono II pada tahun 1742 setelah keraton lama di Kartasura ditinggalkan.

Dirangkum dari tesis Alif Ulfa (IAIN Kudus, 2022) berjudul Historiografi Akuntansi Pada Masa Kerajaan Mataram Islam (1575-1755 M) Dalam Paradigma New Accounting History Dan Relevansinya Dengan Akuntansi Dalam Islam, Paku Buwono I memiliki nama asli Pangeran Puger, yang merupakan paman dari raja sebelumnya, Amangkurat III (Sunan Mas). Kenaikannya ke tampuk kekuasaan Mataram di Kartasura terjadi di tengah gejolak Perang Suksesi Pertama, sebuah pertikaian perebutan takhta dengan keponakannya. Dalam konflik ini, Pangeran Puger berhasil naik takhta berkat dukungan penuh dari VOC (Belanda) setelah Amangkurat III memilih bersekutu dengan pemberontak Surapati.

Sebagai konsekuensi dari bantuan militer Belanda, Paku Buwono I terpaksa menandatangani sebuah perjanjian yang sangat merugikan pada tahun 1705. Perjanjian ini secara signifikan menyusutkan wilayah kekuasaan Mataram Islam. Beberapa daerah penting, termasuk Priangan, Cirebon, dan sebagian Madura, harus diserahkan kepada Belanda, sekaligus memperkuat hak kendali Belanda atas perdagangan dan militer (garnisun) di dalam kerajaan.

Setelah masa pemerintahannya, suksesi Mataram di Kartasura tidak langsung dilanjutkan oleh Paku Buwono II. Ia digantikan terlebih dahulu oleh putranya, Mangku Negara, yang naik takhta dengan gelar Amangkurat IV (memerintah sekitar 1719-1727), sebelum akhirnya kekuasaan dialihkan kepada Paku Buwono II pada tahun 1727.

2. Paku Buwono II (1726-1749 M)

Dikutip dari buku Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1999), raja yang memindahkan pusat pemerintahan Mataram ke Solo ini lahir pada hari Selasa Pon, 18 Sawal tahun Jirnakir 1634 Jawa atau tahun 1711 Masehi. Ia adalah putra dari Sunan Amangkurat IV. Pada usia muda, yakni 15 tahun, ia naik takhta, memulai pemerintahannya sejak tahun 1726 hingga 1749.

Masa kekuasaan PB II ditandai dengan peristiwa genting yang mengubah sejarah Mataram, yaitu Keraton Kartasura diserbu oleh Sunan Kuning dan orang-orang Cina. Pemberontakan yang dikenal dengan nama Geger Pecinan ini memaksa raja melarikan diri dan keraton sempat diduduki.

Dengan bantuan VOC (Kumpeni), PB II berhasil merebut takhta kembali. Peristiwa ini memicu keputusan penting untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Kartasura ke lokasi baru, yang kemudian diberi nama Surakarta Hadiningrat (Solo).

Pada akhir pemerintahannya, tepatnya 11 Desember 1749, Sunan Paku Buwono II membuat perjanjian dengan VOC yang isinya menyerahkan seluruh negara Mataram kepada VOC. Sembilan hari setelah perjanjian itu, ia wafat dalam usia 56 tahun.

3. Paku Buwono III (1749-1788 M)

Putra Paku Buwono II yang sering disebut Sunan Prabu ini lahir pada 4 Februari 1732. PB III naik takhta menggantikan ayahandanya pada 15 Desember 1749. Masa pemerintahan Sunan Prabu berlangsung hingga 26 September 1788.

Masa kepemimpinan ia menjadi tonggak sejarah yang pahit karena terjadi perpecahan besar di Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Pembagian ini diresmikan melalui Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Solo dan Jogja (di bawah Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwana I).

Tidak berhenti di situ, dua tahun kemudian, raja juga menyerahkan sebagian wilayahnya (cacah) kepada Raden Mas Said, yang kemudian bergelar Pangeran Mangkunegara I. Penyerahan ini dilakukan melalui perjanjian pada 17 Maret 1757. Sunan Prabu wafat dalam usia 56 tahun.

4. Paku Buwono IV (1788-1820 M)

Paku Buwono IV adalah putra dari Sunan PB III yang lahir pada 2 September 1768. Ia dikenal juga dengan sebutan Sunan Bagus. PB IV naik takhta pada 29 November 1788 dan pemerintahannya berlangsung hingga 1 Oktober 1820.

Selama memimpin, raja yang wafat pada tahun 1820 ini melakukan beberapa kegiatan pembangunan dan perbaikan di keraton. Ia tercatat memberi atap sirap pada bangsal prajurit pada 1790 M.

Tidak hanya itu, ia juga memperbaiki Masjid Besar yang sebelumnya dibangun oleh ayahnya, Sunan PB III. Pendapa yang ada dirobohkan lalu dibangun lagi dan diberi nama Pendapa Sasana Sewaka.

Lebih lanjut, Sunan Bagus juga mendirikan Prabasuyasa di Kradenayan. Selama menjabat, ia didampingi oleh beberapa Patih, termasuk Raden Adipati Jayaningrat dan Kanjeng Raden Adipati Sasraningrat II.

5. Paku Buwono V (1820-1823 M)

Raja Solo yang lahir pada 16 Februari 1785 ini sering dijuluki Sunan Sugih. Konon, julukan ini diberikan karena PB V berkenan membagi warisan orang tuanya kepada semua saudaranya, sementara dirinya sendiri mengambil alih semua utang orang tuanya.

Sunan Sugih naik takhta pada 10 Oktober 1820 dengan gelar Paku Buwono V. Namun, ia hanya memerintah dalam waktu yang sangat singkat, kurang lebih tiga tahun. Pasalnya, ia wafat pada tahun 1823 dalam tahun Jawa Je 1750. Sepanjang masa pemerintahannya yang singkat, raja ini didampingi oleh Patih Kanjeng Raden Adipati Sasraningrat II.

6. Paku Buwono VI (1823-1830 M)

Raden Mas Sapardan merupakan nama kecil Sunan Solo yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional Kemerdekaan Republik Indonesia ini. Ia adalah putra dari Sunan Paku Buwana V dan Permaisuri Raden Ayu Sosrokusuma yang lahir pada 26 April 1807 M. Raden Mas Sapardan dinobatkan sebagai Sri Susuhunan pada 15 September 1823.

Meskipun secara lahiriah masih terikat perjanjian yang dibuat oleh para pendahulunya dengan Belanda, PB VI secara diam-diam memberikan bantuan material dan spiritual kepada Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa. Raja yang berjiwa patriotik ini memiliki beberapa cita-cita politik yaitu tidak ingin Solo terpecah, berusaha agar wilayah Solo tidak bertambah sempit, membatalkan perjanjian-perjanjian paksaan Belanda (1677, 1702, 1749), menyatukan kembali negeri-negeri Mataram, dan mengusir Belanda dari Pulau Jawa.

Sayangnya, karena sikap anti-Belandanya, ia ditangkap pada 15 Juli 1830 dan dibuang ke Ambon, di mana ia wafat pada 9 Juni 1849. Kerangka jenazahnya dipindahkan ke Imogiri pada tahun 1957.

7. Paku Buwono VII (1830-1858 M)

Raja yang dikenal pula dengan sebutan Sunan Purbaya ini lahir pada 21 Juli 1796. Ia naik takhta pada 14 Juni 1830, menggantikan Sunan Paku Buwono VI yang diasingkan Belanda.

Pemerintahan raja ini berlangsung cukup lama, sekitar 28 tahun (1830-1858). Namun, pada masa kepemimpinannya, Kasunanan harus kehilangan daerah-daerah Mancanegara yang seluruhnya diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan imbalan uang ganti rugi yang diterima oleh Sunan. Ia kemudian wafat pada tahun 1858.

8. Paku Buwono VIII (1858-1861 M)

Sama seperti PB VI, PB VIII juga menjabat sebagai raja dalam waktu yang sangat singkat, hanya sekitar tiga tahun, dari tahun 1858 hingga 28 Desember 1861. Dikutip dari buku Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa tulisan Joko Darmawan, raja ini memiliki nama kecil Raden Mas Kusen, seorang putra PB II dari selir bernama Raden Mas Ayu Rantamsari. Ia lahir pada 20 April 1789. Raden Mas Kusen memiliki kepribadian bersahaja, pandai dalam bergaul, dan memiliki banyak teman.

Pada tahun 1805 M, Raden Mas Kusen diangkat sebagai Pangeran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hangabehi. Ia menjabat sebagai Adipati Anom untuk mengemban tugas-tugas rutin keraton, meskipun ia bukan putra Paku Buwono VII, melainkan adik tirinya.

Ketika PB VII mangkat, Keraton dan sesepuh memutuskan untuk mengangkat Raden Mas Kusen, yang saat itu sudah menyandang gelar KGPH Hangabehi, sebagai penerus Paku Buwono VII. Ia dinobatkan di keraton Solo pada 17 Agustus 1858.

Pemerintahannya sangat singkat, hanya sekitar tiga tahun (1858-1861), dan tidak banyak gejolak di keraton. Hangabehi yang memerintah secara konvensional meninggal pada 28 Desember 1861 dalam usia 72 tahun.

9. Paku Buwono IX (1861-1893 M)

Lahir pada 22 Desember 1830 dengan nama kecil Bandoro Raden Mas Duksino. Raja Solo bergelar Paku Buwono IX ini merupakan putra dari Sunan Paku Buwono VI (yang saat kelahirannya sedang dibuang di Ambon) dengan permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Hemas.

Sunan Paku Buwono IX naik takhta pada 30 Desember 1861. Ia memerintah Keraton Solo selama 32 tahun, hingga wafat pada usia 63 tahun. Di bawah kepemimpinannya, kerajaan mengalami kemajuan yang pesat.

Raja ini melakukan banyak renovasi bangunan fisik keraton, seperti Sitihinggil dan Panggung Sanggabuwana. Di bidang ekonomi, ia memberikan perhatian khusus yang terbukti dengan munculnya kantor Pratisan. Selain itu, Sunan ini juga dikenal ahli dalam bidang kesusastraan dan pertanian.

10. Paku Buwono X (1893-1939 M)

Nama kecil raja ini adalah Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno. Ia lahir pada 29 November 1866 dan dinobatkan sebagai wali hakim pada 30 Maret 1893. Kemudian ia resmi naik takhta dengan gelar Sunan Paku Buwono X.

Di era kepemimpinannya, Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengalami kemajuan dan suasana politik yang relatif stabil, meskipun di bawah tekanan Pemerintah Hindia Belanda. PB X menunjukkan sikap anti-kolonial dengan mendukung organisasi politik seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam.

Secara fisik, ia membangun banyak infrastruktur modern yang hingga kini masih berfungsi, seperti Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo Kota (Sangkerah), dan Stadion Sriwedari. Sunan ini wafat pada 1 Februari 1939 dan dimakamkan di Imogiri.

11. Paku Buwono XI (1939-1945 M)

Raden Mas Ontoseno lahir pada 1 Februari 1886. Ia merupakan putra sulung Sunan Paku Buwono X. Setelah PB X mangkat, ia diangkat menjadi raja bergelar Sunan Paku Buwono XI pada 26 April 1939. Namun, pengangkatan ini disertai kontrak politik dari Belanda.

Masa kekuasaannya sangat singkat dan penuh kesulitan, terutama karena Keraton Solo harus menghadapi situasi Perang Dunia II dan pendudukan Jepang sejak tahun 1942. Akibatnya, kondisi ekonomi keraton semakin sulit dan aset-aset keraton dirampas. Raja ini wafat pada 1 Juni 1945 dan dimakamkan di kompleks Giri Laya, Imogiri.

12. Paku Buwono XII (1945-2004 M)

Paku Buwono XII yang memiliki nama kecil Raden Mas Suryo Guritno lahir pada 14 April 1925. Ia dinobatkan sebagai Raja Keraton Solo pada 16 Juli 1945. Ia memerintah dengan masa pemerintahan yang terpanjang, hingga wafatnya pada 11 Juni 2004. PB XII merupakan raja yang memimpin pada masa yang penuh tantangan, di mana Indonesia baru saja merdeka dan situasi politik serta sosial di tanah air masih sangat dinamis.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, Kasunanan Solo dan Praja Mangkunegaran sempat diakui sebagai daerah istimewa. Namun, kerusuhan dan agitasi politik yang terjadi di Solo menyebabkan status Daerah Istimewa Surakarta dibekukan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada 16 Agustus 1946. Meskipun demikian, PB XII tetap memainkan peran penting dalam mempertahankan dan melestarikan budaya Jawa, terutama dalam bidang seni, di tengah situasi yang penuh keterbatasan dan gejolak politik.

Di awal pemerintahannya, Paku Buwono XII tidak dapat memanfaatkan momentum politik Indonesia pascakemerdekaan dengan baik. Hal tersebut membuat pamornya kalah dibandingkan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, seorang tokoh nasional yang lebih berperan aktif dalam perkembangan politik nasional.

Namun, di bidang kebudayaan, Paku Buwono XII tetap dihormati dan dihargai sebagai pelindung budaya Jawa. Ia memiliki hubungan baik dengan tokoh-tokoh penting, seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang turut menghormati dedikasinya dalam melestarikan tradisi budaya Jawa.

Paku Buwono XII mangkat pada 11 Juni 2004 dan dimakamkan di Imogiri. Setelah kepergiannya, keraton menghadapi persoalan suksesi yang perlu diselesaikan, menandai berakhirnya masa pemerintahan yang panjang dan penuh tantangan ini.

13. Paku Buwono XIII (2004-2025)

Setelah wafatnya PB XII, terjadi konflik suksesi di antara para putra-putrinya. Pada konflik ini, muncul dua kandidat utama yang saling klaim tahta, yaitu KGPH Hangabehi dan KGPH Tejowulan.

Pada 10 Juli 2004, salah satu kubu keluarga menobatkan KGPH Hangabehi sebagai raja yang sah. Selanjutnya, melalui rekonsiliasi yang difasilitasi Pemerintah Republik Indonesia, disepakati bahwa gelar Paku Buwono XIII diberikan kepada KGPH Hangabehi. Sebagai hasil rekonsiliasi, KGPH Tejowulan menerima gelar kehormatan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung, yang mengakhiri pertikaian suksesi.

PB XIII wafat pada 2 November 2025 setelah dirawat karena sakit sejak September. Sepanjang dua dekade pemerintahannya, PB XIII dikenang sebagai sosok yang menegakkan keharmonisan dan martabat budaya Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Keraton Solo adalah simbol kebesaran sejarah Jawa yang kaya dengan tradisi dan nilai budaya. Dengan mengenal lebih dekat perjalanan raja-raja Paku Buwono, kita bisa memahami lebih dalam tentang budaya dan sistem pemerintahan yang membentuk identitas Solo. Yuk, terus eksplorasi sejarah Keraton Solo dan pelajari lebih lanjut tentang peran penting raja-raja dalam membentuk peradaban Jawa!



Simak Video "Siap-siap "War" Tiket Indonesia Vs Argentina Segera Dimulai"

(par/dil)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork