Apa Bedanya Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran? Ini Sejarah hingga Wilayahnya

Apa Bedanya Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran? Ini Sejarah hingga Wilayahnya

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Rabu, 05 Nov 2025 17:42 WIB
Apa Bedanya Keraton Solo dan Puro Mangkunegaran? Ini Sejarah hingga Wilayahnya
Pura Mangkunegaran. (Foto: Dok. Laman Resmi Mangkunegaran)
Solo -

Masyarakat Jawa, terutama di Solo, tentu tidak asing dengan dua entitas bersejarah ini, yaitu Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran. Meskipun keduanya berasal dari satu akar sejarah yang sama, ada perbedaan signifikan antara keduanya yang patut untuk dipahami lebih dalam. Yuk, temukan perbedaannya!

Keraton Solo yang didirikan pada 1745 merupakan kelanjutan dari Kesultanan Mataram Islam dan menjadi pusat pemerintahan setelah peristiwa Geger Pecinan. Di sisi lain, Pura Mangkunegaran lahir setelah Perjanjian Salatiga pada 1757, sebagai hasil ketidakpuasan dari Raden Mas Said terhadap pembagian wilayah.

Penasaran bagaimana sejarah dan perbedaan mendalam antara keduanya? Berdasarkan informasi yang dihimpun dari buku Warisan Kota Surakarta oleh Dr Ars Eko Nursanty, Hitam-Putih Kekuasaan Raja-raja Jawa oleh Sri Wintala Achmad, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, serta artikel Pura Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan Surakarta sebagai Sarana Wisata Edukasi Sejarah oleh Anugrahaning Della Puspitasari, mari kita simak perbedaan antara Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Poin utamanya:

  • Keraton Solo dibentuk setelah perpecahan Kesultanan Mataram dan menjadi pusat pemerintahan utama di wilayah Solo.
  • Pura Mangkunegaran didirikan akibat ketidakpuasan Raden Mas Said terhadap pembagian wilayah dan memiliki pemerintahan otonom di wilayah selatan dan timur Solo.
  • Meski keduanya dipimpin oleh keturunan Mataram, Keraton Solo memiliki gelar Sunan, sedangkan Pura Mangkunegaran dipimpin oleh Pangeran Adipati Arya.

ADVERTISEMENT

Keraton Solo: Sejarah, Wilayah, dan Pemimpinnya

1. Sejarah

Keraton Solo, berdiri pada tahun 1745 setelah peristiwa Geger Pecinan yang terjadi pada 1743 dan menyebabkan Keraton Kartasura hancur. Saat itu, Sunan Paku Buwono II bertakhta di Keraton Kartasura untuk memimpin Kesultanan Mataram Islam. Namun setelah peristiwa tersebut, ia terpaksa melarikan diri ke Ponorogo.

Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke Desa Sala, yang kini dikenal sebagai Solo. Pemilihan wilayah tersebut karena lokasinya yang strategis dekat dengan Sungai Bengawan Solo. Sungai tersebut menjadi jalur penting untuk kegiatan ekonomi, sosial, dan politik pada masa itu.

Pendirian Keraton Solo oleh Sunan Paku Buwono II juga dipengaruhi oleh konflik yang terjadi di dalam kerajaan. Setelah Geger Pecinan, terjadi ketegangan politik antara Sunan Paku Buwono II dan Pangeran Mangkubumi yang mengakibatkan perpecahan dalam Kesultanan Mataram Islam.

Pangeran Mangkubumi kecewa dengan kebijakan Sunan Paku Buwono II yang menarik kembali wilayah Sukawati yang sebelumnya diberikan kepada Mangkubumi. Hal ini memicu Perang Mangkubumi (Perang Suksesi Jawa III) yang berlangsung dari 1749 hingga 1755. Perselisihan sengit ini berujung pada Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang membagi wilayah Mataram Islam menjadi dua bagian, yaitu Solo dan Jogja.

Perjanjian Giyanti ini menyatakan bahwa Sunan Paku Buwono III (keturunan dari Sunan Paku Buwono II) akan memerintah Kasunanan Solo, sementara Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I memerintah Kesultanan Jogja. Keraton Solo akhirnya berdiri sebagai pusat pemerintahan yang terpisah dari Jogja, meskipun masih berbagi akar sejarah yang sama.

2. Wilayah

Wilayah Keraton Solo (Kasunanan Surakarta) pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono II mencakup wilayah yang sangat luas. Namun, pada akhirnya terbagi menjadi dua wilayah besar setelah Perjanjian Giyanti, yaitu menjadi wilayah Kasunanan Solo (Surakarta) dan Kasultanan Jogja (Yogyakarta).

Berikut adalah rincian wilayah yang termasuk dalam kawasan Kasunanan Surakarta berdasarkan Perjanjian Giyanti:

  • Surakarta: Wilayah ini merupakan pusat pemerintahan dari Kasunanan Solo, yang terletak di sepanjang Sungai Bengawan Solo. Ini menjadi pusat administratif dan budaya kerajaan.
  • Pajang: Terletak di sebelah tenggara Solo.
  • Bang Wetan (Sukawati): Berada di sebelah timur laut Solo.
  • Bagelen: Terletak di bagian barat daya Solo.
  • Kedu: Daerah ini terletak di bagian barat.
  • Bumi Gede atau Siti Ageng: Terletak di sebelah barat laut Solo, hingga Kedungjati.

Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Keraton Surakarta mengalami perubahan. Namun, keraton tetap menjadi pusat kebudayaan Jawa, khususnya dalam bidang seni dan budaya tradisional seperti batik dan seni pertunjukan.

Pada masa kemerdekaan, status Keraton Solo berubah menjadi daerah administratif dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah pengakuan dari Presiden Sukarno. Wilayah Solo pun berkembang menjadi pusat peradaban yang menggabungkan nilai-nilai budaya tradisional dengan dinamika politik dan ekonomi Indonesia.

3. Pemimpin

Pemimpin Keraton Solo bergelar Susuhunan Paku Buwono, yang diwariskan secara turun-temurun. Berikut ini adalah daftar Raja Keraton Solo dari masa ke masa.

  • Paku Buwono II (1745-1749): Raden Mas Prabasuyasa, adalah raja pertama yang memimpin setelah pendirian Keraton Surakarta.
  • Paku Buwono III (1749-1788): Raden Mas Suryadi, melanjutkan perjalanan kerajaan setelah Paku Buwono II.
  • Paku Buwono IV (1788-1820): Raden Mas Subadya, menggantikan Paku Buwono III dan menghadapi banyak tantangan selama pemerintahannya.
  • Paku Buwono V (1820-1823): Raden Mas Sugandi, terkenal dengan kebijakan-kebijakan yang membawa stabilitas pada masa pemerintahannya.
  • Paku Buwono VI (1823-1830): Raden Mas Supardan, menghadapi banyak permasalahan politik dan sosial.
  • Paku Buwono VII (1830-1858): Raden Mas Malikis Solikin, dikenal sebagai raja yang mendorong perkembangan sastra dan kehidupan budaya di Surakarta.
  • Paku Buwono XIII (2004-2025): Raden Mas Suryo Partono, raja yang baru saja meninggal pada November 2025.

Pura Mangkunegaran: Sejarah, Wilayah, dan Pemimpinnya

1. Sejarah

Pura Mangkunegaran berdiri setelah terjadinya Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757. Latar belakang berdirinya Pura Mangkunegaran berawal dari ketegangan dan konflik internal yang terjadi di Kesultanan Mataram setelah pembagian wilayah yang terjadi dalam Perjanjian Giyanti (1755).

Pada saat itu, Raden Mas Said (yang kelak dikenal sebagai Mangkunegara I) merasa tidak puas dengan pembagian wilayah yang menguntungkan Sunan Paku Buwono III di Solo dan Sultan Hamengku Buwono I di Yogyakarta. Raden Mas Said, yang awalnya merupakan bagian dari kelompok Pangeran Mangkubumi, kemudian memutuskan untuk berjuang melawan Sunan Paku Buwono III dan VOC setelah merasa tidak puas dengan pembagian wilayah yang tidak sesuai dengan keinginannya.

Puncak dari ketegangan berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757. Perjanjian itu memberikan Raden Mas Said hak untuk menguasai sisi timur dan selatan dari wilayah Mataram yang tersisa. Dengan perjanjian tersebut, Pura Mangkunegaran didirikan sebagai pusat pemerintahan baru yang terpisah dari Keraton Solo.

Meskipun Mangkunegaran sempat berperang dengan pihak-pihak kerajaan lainnya, wilayah Mangkunegaran akhirnya mencapai hampir separuh dari wilayah Kasunanan Solo setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830. Mangkunegaran tetap mempertahankan status otonomnya, meski penguasa Mangkunegaran tidak memiliki gelar Sunan atau Sultan, melainkan hanya Pangeran Adipati Arya.

2. Wilayah

Wilayah Mangkunegaran merupakan hasil pembagian wilayah dari Kasunanan Solo setelah Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada 17 Maret 1757. Melalui perjanjian ini, Raden Mas Said (yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I) diberikan hak untuk menguasai wilayah timur dan selatan dari sisa wilayah Mataram.

Setelah berakhirnya Perang Diponegoro pada tahun 1830, luas wilayah Mangkunegaran semakin bertambah, mencakup hampir separuh wilayah Kasunanan Solo. Wilayah Mangkunegaran pada masa itu meliputi:

  • Bagian utara Kota Solo (termasuk Kecamatan Banjarsari)
  • Seluruh wilayah Kabupaten Karanganyar
  • Seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri
  • Sebagian dari wilayah Kecamatan Ngawen dan Semin di Kabupaten Gunungkidul.

Mangkunegaran memiliki kekuasaan otonom, meskipun tidak setinggi Kasunanan Solo dan Kasultanan Jogja. Dalam pembagian wilayah ini, Mangkunegaran tetap menjadi bagian penting dari kawasan Karesidenan Solo, dengan pengaruh yang kuat di wilayah timur dan utara.

3. Pemimpin

Pemimpin Pura Mangkunegaran dikenal dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya, yang menggambarkan status mereka sebagai penerus cabang kerajaan Mataram. Berikut ini daftar pemimpinnya sejak awal berdiri hingga kini

  • Mangkunegara I (1757-1795): Raden Mas Said, pendiri Pura Mangkunegaran, yang memimpin setelah berhasil mengalahkan Paku Buwono III dalam perjuangan untuk wilayah kekuasaan.
  • Mangkunegara II (1796-1835): Raden Mas Sulama, melanjutkan pemerintahan setelah Mangkunegara I.
  • Mangkunegara III (1835-1853): Raden Mas Sarengat, yang juga mengalami perkembangan dalam bidang kesenian dan perdagangan.
  • Mangkunegara IV (1853-1881): Raden Mas Sudira, yang lebih fokus pada pembaruan dalam pemerintahan dan budaya.
  • Mangkunegara VIII (1944-1987):Raden Mas Hamidjojo Saroso, memperjuangkan pengakuan dan modernisasi Mangkunegaran setelah masa penjajahan.
  • Mangkunegara IX (1987 - 2021): GPH Sudjiwo Kusumo, yang melanjutkan kepemimpinan dengan berbagai pembaruan dan penyesuaian terhadap perkembangan zaman.
  • Mangkunegara X (2022-sekarang): GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo, saat ini menjadi penerus tahta Mangkunegaran.

Sudah Paham Bedanya Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran?

Kedua kerajaan ini memiliki sejarah yang erat, tetapi perbedaan keduanya cukup signifikan. Keraton Solo, yang dibentuk setelah peristiwa Geger Pecinan dan Perjanjian Giyanti, merupakan kelanjutan dari Kesultanan Mataram, dengan Kasunanan Solo sebagai pusat kekuasaan.

Sementara itu, Pura Mangkunegaran berdiri sebagai hasil dari ketidakpuasan Raden Mas Said terhadap pembagian wilayah yang ada. Pada akhirnya, hal tersebut menghasilkan kerajaan otonom yang terpisah dari Kasunanan Solo.

Secara geografis, wilayah Kasunanan Solo lebih luas dan menjadi pusat pemerintahan utama setelah perpecahan Mataram, sedangkan Pura Mangkunegaran menguasai wilayah timur dan selatan Solo setelah Perjanjian Salatiga.

Dari segi kepemimpinan, meskipun kedua kerajaan ini dipimpin oleh keturunan Mataram, Kasunanan Solo memiliki gelar Sunan untuk rajanya, sementara Pura Mangkunegaran dipimpin oleh Pangeran Adipati Arya. Singkatnya, gelar pemimpin Mangkunegaran ada di bawah Keraton Solo.

Nah, itulah tadi penjelasan lengkap mengenai perbedaan Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran. Apakah kamu sudah memahaminya, detikers?




(sto/afn)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads