Respons Kepala SMA 11 Semarang Disebut 'Cuek' di Kasus Chiko Edit Foto Cabul

Respons Kepala SMA 11 Semarang Disebut 'Cuek' di Kasus Chiko Edit Foto Cabul

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Kamis, 23 Okt 2025 13:59 WIB
Kepala SMAN 11 Semarang, Rr Tri Widiyastuti (kiri) dan Sekretaris Disdikbud Jateng, Syamsudin Isnaini (kanan) di Kantor Disdikbud Jateng, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Kamis (23/10/2025).
Kepala SMAN 11 Semarang, Rr Tri Widiyastuti (kiri) dan Sekretaris Disdikbud Jateng, Syamsudin Isnaini (kanan) di Kantor Disdikbud Jateng, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Kamis (23/10/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Kepala SMAN 11 Semarang, Rr Tri Widiyastuti buka suara soal tudingan bahwa sekolah menutup-nutupi kasus pelecehan berbasis digital yang dilakukan alumninya, Chiko Radityatama Agung Putra. Ia menyangkal menutup-nutupi kasus dan sudah mempercayakan proses kepada dinas terkait.

"Tidak, tidak ada menutup-nutupi. Kami juga terbuka, informasi kami gali terus dari Waka, dari guru, kami berdialog dan berdiskusi masalah ini. Jadi, sekolah tidak ada melakukan tertutup," kata Roro di Disdikbud Jateng, Kecamatan Semarang Tengah, Kamis (23/10/2025).

Ia juga menyangkal bahwa para korban yang merupakan alumni merasa tidak dibantu oleh pihak sekolah dan justru dilempar-lempar. Menurutnya, pihaknya terbuka jika ada korban yang ingin melapor.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami juga sudah meminta kepada kesiswaan dan tim sekolah untuk bersama-sama, kalau ada korban yang sampai ke sekolah, akan kami fasilitasi. Kemudian kalau menghendaki lanjut, juga kami fasilitasi," tuturnya.

"(Sudah ada yang melapor?) Belum ada. (Sikap sekolah?) Kami tentu berpihak kepada korban, karena kami juga tidak menyetujui tindak asusila seperti itu. Bagaimanapun sekolah adalah tempat untuk membentuk karakter yang baik. Dengan adanya tindak asusila itu mencoreng karakter baik," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

Jika sebanyak 15 korban akhirnya memilih untuk menggunakan pengacara dan membawa kasus itu ke ranah hukum, menurut Roro itu adalah hak para korban. Ia juga memastikan pihak sekolah tak diintervensi orang tua Chiko yang disebut merupakan aparat.

"Tidak ada intervensi. (Korban pakai pengacara, tidak dari sekolah dan dinas?) Kami tidak tahu karena itu terkait dengan korban. (Akan ada klarifikasi ulang?) Kami tidak tahu nunggu proses. Kami sudah mempercayakan semua itu pada pihak-pihak terkait," tuturnya.

Ia pun mengaku sejak awal tidak mengumpulkan bukti-bukti terkait kasus pelecehan yang sudah beredar di media sosial itu. Menurutnya, jika korbannya adalah alumni, maka bukan lagi menjadi kewenangan sekolah.

"Tidak (menginput bukti), karena ranahnya berbeda. Alumni itu sudah ranah masyarakat umum. Kami tidak tahu itu terjadi saat (pelaku) sekolah. Kami tahunya ketika informasi itu beredar, baru kami tahu," ujarnya.

Roro juga menyangkal adanya salah satu guru yang menjadi korban kasus tersebut. Menurutnya, belum ada laporan yang sampai kepada dirinya, terkait korban-korban dari Chiko.

"Guru yang menjadi korban belum sampai ke saya. (Akankan ditindaklanjuti karena sudah disebutkan pengacara korban?) Itu monggo. Kami tidak ada urusan, maksudnya tidak bisa terlibat masuk lebih dalam dengan urusan masing-masing korban. Kalau korban sampai ke saya, baru saya akan melangkah," tuturnya.

Diketahui, korban sempat menyebut merasa kesulitan mendapat bantuan untuk melaporkan kasus Chiko. Salah satu korban berinisial FA (18) mengungkapkan, para korban yang diunggah fotonya oleh Chiko bahkan diedit menjadi foto tanpa busana, sudah sempat berencana untuk melapor. Namun, bantuan dari pihak sekolah dirasa masih kurang.

"Kayaknya membawa ini ke jalur hukum jadi harapan kami satu-satunya. Karena jujur dari kampus belum ada titik terang, dari SMA kami juga tidak ada titik terang. Kami malah dilempar ke sana kemari. Disuruh lapor ke dinas ini, itu, tapi tidak ada bantuan, kami tidak diarahkan," kata FA saat dihubungi detikJateng, Rabu (22/10).

"Ini pun kali pertama kami mengalami kasus ini, seharusnya kan kami diarahkan meskipun kami juga bukan anak SMA itu lagi, tapi kan setidaknya bantulah kami karena ini menyangkut identitas sekolah. Bahkan foto batik sekolah kami pun juga ada di X," lanjutnya.

Pengacara korban, Jucka Rajendhra Septeria Handhry, juga mengatakan kepala sekolah justru memberi ruang klarifikasi tertutup bagi pelaku di dalam ruangan. Bukan di hadapan publik seperti yang diharapkan siswa dan alumni.

"Sebenarnya para korban awalnya ingin efek jera. Yang dijanjiin sama sekolah itu pelaku klarifikasi di halaman sekolah, tetapi kepala sekolah memberikan ruang kepada pelaku untuk klarifikasi di ruangan. Berawal dari itu akhirnya korban jengkel, nggak puas, akhirnya ke kita untuk menindaklanjuti kasusnya secara hukum," ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, alumnus SMA Negeri 11 Semarang bernama Chiko bikin geger usai melakukan pelecehan seksual berbasis digital. Ia diduga menyebarkan konten pornografi berbasis Artificial Intelligence (AI) dengan memanipulasi wajah siswi dan seorang guru di sekolahnya dulu.

Kasus itu bermula dari cuitan di akun media sosial X dengan username @col***. Ia mengungkap adanya dugaan pelecehan yang dialami banyak korban. Disebutkan pelaku merupakan mahasiswa di salah satu universitas negeri di Semarang.

"aku di sini mau speak up tentang kasus yang lagi rame tentang pelecahan seksual," tulis akun @col***, dilihat detikJateng, Selasa (14/10).

Akun itu menjelaskan, kasus bermula saat pelaku bertukar akun Instagram kedua dengan mantan kekasihnya. Saat itu ia menangkap layar dari cerita akun Instagram teman mantan kekasihnya itu.

Para korban disebut saling kenal satu sama lain, dan disinyalir merupakan siswa SMAN 11 Semarang. Para korban pun merasa trauma hingga akhirnya pelaku sempat didatangi beberapa pihak.

"semalam, waktu di samperin temen" lain dan di buka hp nya chiko, ternyata dia punya 10 akun email yang ternyata isinya masih banyak sekali foto dan video deep fake AI tidak senonoh," jelasnya.

Kasus itu juga diunggah akun Instagram @dinaskegelapan_kotasemarang. Dalam akun itu disebutkan, pelaku diketahui membuat dan menyebarkan lebih dari 300 unggahan cabul di platform X (Twitter) serta menyimpan sekitar 1.100 video hasil rekayasa wajah di Google Drive.

"Dari hasil penelusuran, lebih dari 300 postingan bermuatan tidak senonoh telah diunggah di platform Twitter (X), sementara di Google Drive pelaku tersimpan lebih dari 1.100 video hasil manipulasi wajah menggunakan teknologi Al," tulis akun @dinaskegelapan_kotasemarang.

"Hingga kini, sedikitnya 5 siswi dan 1 guru dari SMAN 11 Semarang telah teridentifikasi menjadi korban. Aksi bejat ini baru terungkap pada awal Oktober 2025, meski akun pelaku telah aktif sejak tahun 2023," lanjutnya.

Halaman 2 dari 2
(apu/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads