Pada Minggu, 12 Oktober 2025 tepat pukul 11.23 WIB, wilayah Kabupaten Klaten dan sekitarnya akan menyaksikan fenomena astronomi langka matahari melintas hampir tepat di atas kepala, mencapai ketinggian 89.9 derajat sehingga seolah bayangan hilang. Peristiwa yang dikenal sebagai kulminasi utama atau transit matahari lokal ini menjadi penanda tengah hari sejati yang sangat presisi.
"Peristiwa yang dikenal sebagai kulminasi utama atau transit matahari lokal ini menjadi penanda tengah hari sejati yang sangat presisi, sekaligus momen penting untuk menghubungkan ilmu falak modern dengan khazanah Islam klasik," jelas AR Sugeng Riadi, Kepala Pusat Astronomi Assalaam kepada detikJateng melalui keterangan tertulis, Minggu (12/10/2025) pagi.
Diterangkan Sugeng, fenomena itu menyebabkan saat bayangan benda tegak lurus menjadi sangat pendek, bahkan nyaris hilang. Kejadian tersebut memiliki makna historis dan keagamaan yang mendalam, terutama terkait penentuan waktu salat dan arah.
"Memiliki makna historis dan keagamaan yang mendalam, terutama terkait penentuan waktu salat dan arah. Peristiwa kulminasi di Klaten ini merujuk pada konsep yang lebih besar dalam Islam, yaitu istiwa a'dham atau rashdul qiblah saat matahari berada tepat di atas Ka'bah," ungkap Sugeng.
Meskipun peristiwa pada 12 Oktober 2025 adalah kulminasi lokal di Klaten, sambung Sugeng, namun esensinya sama, yaitu matahari berada di titik tertinggi dan menghasilkan bayangan yang secara tradisional digunakan sebagai acuan. Saat kulminasi maka bayangan benda vertikal akan berada tepat di bawahnya, seolah bayangan menjadi hilang sehingga dikenal dengan sebutan hari tanpa bayangan atau ZSD (Zero Shadow Day).
"Fenomena ZSD di Solo Raya hanya terjadi dua kali setiap tahun, yakni di tanggal 01 Maret pukul 11.49 WIB dan 12 Oktober pukul 11.23 WIB. Momen ini juga merupakan kalibrasi alami bagi jam matahari atau sundial yang dalam tradisi Jawa dikenal dengan istilah tumbuk atau mizwalah," lanjut Sugeng.
Sugeng menyatakan alat penunjuk waktu kuno ini bekerja berdasarkan panjang dan arah bayangan. Saat kulminasi, bayangan yang tercipta adalah bayangan terpendek sepanjang hari, yang menandai masuknya waktu istiwa, jam 12 matahari dengan keakuratan tinggi.
"Bayangan terpendek sepanjang hari, yang menandai masuknya waktu istiwa, jam 12 matahari dengan keakuratan tinggi. Di wilayah Klaten dan sekitarnya, perangkat penunjuk waktu alami ini beberapa masih dilestarikan dan menjadi bagian dari fasilitas keilmuan serta ibadah," papar Sugeng.
Masyarakat, tutur Sugeng, dapat melihat dan mengamati langsung fenomena langka itu dengan instrumen yang ada di beberapa masjid, misalnya di Kecamatan Juwiring, Klaten. Ada beberapa masjid yang bisa didatangi.
"Ada beberapa masjid antara lain Masjid Asy-Syifaa Bendo Ketitang, Masjid Al-Huda, Bendo Ketitang, Masjid Riyadul Jannah, Kebongede, Masjid At-Tanto, Ngemplak Baru dan Masjid Baiturrohim Ngepringan," rinci Sugeng.
Keberadaan jam matahari di masjid-masjid itu, sebut Sugeng, menunjukkan ilmu falak, khususnya dalam penentuan waktu, telah terintegrasi dalam arsitektur dan praktik keagamaan umat Islam. Manfaat fenomena ini bagi manusia dan umat Islam ada beberapa.
"Manfaat bagi manusia dan umat Islam momen kulminasi ini meskipun bukan Istiwa A'dham, sangat bermanfaat bagi komunitas falak untuk memverifikasi arah Utara-Selatan sejati (true north) dan kemiringan bidang datar (horizontalitas) sebagai dasar akurasi penentuan arah kiblat menggunakan metode tradisional," imbuh Sugeng.
Manfaat lain, disampaikan Sugeng, sebagai penentuan waktu salat memberikan penanda waktu tengah hari sejati atau dalam Islam disebut waktu Istiwa dan setelah posisi matahari mulai condong ke barat berarti memasuki memasuki waktu Zawal, yakni waktu masuknya Salat Zuhur yang paling presisi secara astronomis. Sebagai edukasi masyarakat untuk mengamati langsung gerakan semu harian matahari, menumbuhkan apresiasi terhadap ilmu astronomi sebagai warisan peradaban.
"Juga bermanfaat menumbuhkan apresiasi terhadap ilmu astronomi sebagai warisan peradaban. Para ahli meteorologi memastikan fenomena matahari di zenit ini tidak akan menimbulkan dampak cuaca yang ekstrem karena matahari berada pada posisi paling tegak lurus (89.9 derajat), intensitas radiasi yang diterima permukaan bumi memang akan berada pada puncaknya, yang secara teori dapat memicu sedikit peningkatan suhu udara lokal di sekitar pukul 11.23 WIB namun kenaikan suhu ini bersifat sementara dan merupakan bagian dari siklus alamiah gerak tahunan matahari, tanpa dampak merusak pada kondisi bumi secara keseluruhan," tambah Sugeng.
"Masyarakat diimbau untuk menyaksikan peristiwa alam yang luar biasa ini sebagai pengingat akan keteraturan kosmos yang juga menjadi dasar bagi ketaatan ibadah," pungkas Sugeng.
Simak Video "Video: Kecelakaan Karambol di Tol Gayamsari Semarang, 8 Orang Terluka"
(apu/apu)