Menyusuri Jejak Juragan Kulit Terkaya Semarang Era Kolonial di Kampung Kulitan

Menyusuri Jejak Juragan Kulit Terkaya Semarang Era Kolonial di Kampung Kulitan

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Minggu, 05 Okt 2025 10:04 WIB
Suasana Kampung Kulitan yang merupakan jejak pengusaha kulit kaya raya di Semarang di era kolonial. Foto diambil Sambu (4/10/2025).
Suasana Kampung Kulitan yang merupakan jejak pengusaha kulit kaya raya di Semarang di era kolonial. Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Di balik padatnya gang-gang sempit di Kelurahan Jagalan, Semarang Tengah, terselip kisah lama yang sudah nyaris terlupakan. Warga mengenalnya sebagai Kampung Kulitan, kawasan tua yang namanya lahir dari riwayat panjang penyamakan kulit sejak masa kolonial.

Pantauan detikJateng, tampak Kampung Kulitan diisi deretan rumah berdinding bata yang padat dan lorong-lorong sempit menjadi saksi bisu sisa kejayaan industri kulit pribumi di masa lampau.

Bau masakan dari dapur warga bercampur dengan aroma lembab bangunan tua. Ramai riuh warga mengobrol di teras kecil rumah. Beberapa warga tampak hendak bersiap untuk beribadah, sementara lainnya masih asyik bergurau.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anak-anak kecil berlarian di sepanjang gang. Kendaraan milik warga melintas dengan hati-hati, sementara suara azan Magrib menggema di tiap sudut perkampungan.

ADVERTISEMENT

Salah satu warga setempat, Martini (63) tengah duduk bersandar sambil menyantap nampan penuh gorengan bersama warga lainnya. Perempuan yang lahir dan besar di kampung itu bercerita dengan logat Jawanya yang kental.

"Dulu katanya di sini itu tempat gudang kulit, Mbak. Tapi kulit apa, saya juga nggak tahu, saya belum lahir. Saya lahir namanya sudh Kampung Kulitan," kata Martini kepada detikJateng, Sabtu (4/10/2025).

Menurutnya, tak banyak warga yang mengetahui sejarah Kampung Kulitan. Kebanyakan dari mereka hanya mengetahui kampung tersebut sempat jadi tempat usaha kulit yang berjaya.

Suasana Kampung Kulitan yang merupakan jejak pengusaha kulit kaya raya di Semarang di era kolonial. Foto diambil Sambu (4/10/2025).Suasana Kampung Kulitan yang merupakan jejak pengusaha kulit kaya raya di Semarang di era kolonial. Foto diambil Sabtu (4/10/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

"Namanya jadi Kampung Kulitan itu ya karena ada usaha kulit. Katanya orang tua dulu begitu," imbuh ibu empat anak itu.

Martini tinggal di rumah yang sudah ia huni sejak 1960-an. Meski bangunan di sekitarnya kini banyak direnovasi, pola gangnya masih sama, yakni kecil, padat, dan nyaris tanpa ruang terbuka.

"Dulu (jalan) masih tanah, sekarang sudah aspal semua. Rumah juga tambah banyak, tapi bentuknya masih kayak dulu. Masih ada rumah-rumah kuno juga di depan gang," ujarnya.

Menurut Martini, sebagian besar tanah di kampung itu dulunya milik seorang tuan tanah bernama Tasripin, nama yang tak asing bagi warga setempat, maupun warga Kota Semarang.

"Warga sini dulu nyewa. Bayarnya ke keturunannya Pak Tasripin itu. Sekarang sudah nggak dimintai lagi, mungkin juga sudah ngurusin lagi turunannya," katanya.

Kini, Kampung Kulitan menjadi kawasan padat penduduk. Gang-gangnya sempit, hanya cukup untuk sepeda motor lewat. Namun, kehidupan sosial warganya tetap hangat. Meski bernama Kampung Kulitan, kini sudah tidak ada aktivitas penyamakan kulit di kampung tersebut.

Di balik kisah warga yang diwarisi cerita lisan itu, sejarah Kampung Kulitan ternyata jauh lebih menarik dan panjang.

Pegiat Sejarah Semarang, Johanes Christiono mengatakan bahwa asal-usul nama Kampung Kulitan berakar pada industri penyamakan kulit yang berkembang sejak abad ke-19.

"Bukan gudang kulit, tapi usaha penyamakan kulit. Itu dimiliki juragan pribumi paling kaya pada masa itu, namanya Tasripin," kata Johanes saat dihubungi detikJateng, Sabtu (4/10/2025) malam.

Ia menjelaskan, lokasi Kampung Kulitan memang berdekatan dengan Kampung Jagalan, yang sejak zaman kolonial dikenal sebagai tempat pemotongan hewan. Dari sanalah bahan baku kulit itu didapatkan.

"Dulu itu kan rumah potong hewan di Kampung Jagalan. Namanya Jagal kan dari jagal hewan. Itu zaman kolonial dulu tahun 1800-an sampai rumah potong hewan itu dipindahkan ke Kabluk di Jalan Majapahit yang sekarang jadi pusat grosir," tuturnya.

"Jadi perkembangannya begitu. Lah, usaha penyamakan kulit tetap jalan sampai diteruskan anak-anaknya," sambungnya.

Kulit sapi dan kambing yang berasal dari rumah potong itu kemudian dibersihkan, dijemur, dan diolah menjadi bahan untuk jaket, tas, hingga sepatu.

Suasana Kampung Kulitan yang merupakan jejak pengusaha kulit kaya raya di Semarang di era kolonial. Foto diambil Sambu (4/10/2025).Suasana Kampung Kulitan yang merupakan jejak pengusaha kulit kaya raya di Semarang di era kolonial. Foto diambil Sabtu (4/10/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

"Tasripin bahkan memproduksi jaket berkualitas tinggi yang diekspor ke Eropa. Kualitas kulitnya terkenal bagus. Ada bukti-buktinya," jelasnya.

Sampai kini, sisa kejayaan Tasripin masih bisa dilihat di beberapa rumah tua di Kampung Kulitan. Menurut Johanes, rumah peninggalan keluarga Tasripin memiliki ciri khas arsitektur rumah hhas Semarangan, rumah dengan teras luas dan tiga pintu di bagian depan.

"Beberapa rumah itu masih utuh, meski sudah berpindah tangan," katanya.

Kampung Kulitan juga menjadi saksi hidup bagaimana para pengusaha pribumi mampu menandingi dominasi Tionghoa dan Eropa di era kolonial lewat industri kulit.

"Dia sebenarnya meneruskan usaha ayahnya, namanya Tasimin. Dia seorang pegawai Kota Praja Semarang, sudah mulai merintis usaha penyamakan, tapi belum sehebat ketika dipegang Tasripin. Jadi yang membesarkan usaha memang Tasripin," jelas Johanes.

Kini, banyak warga di sepanjang Jalan MT Haryono, Jalan Dr Cipto, termasuk di Kampung Kulitan, masih menempati rumah sewaan model lama, peninggalan sistem sewa tanah zaman Belanda.

"Bukan hanya warga Kampung Kulitan tetapi hampir sebagian besar rumah-rumah di sepanjang Jalan MT Haryono, kemudian kampung-kampung di dalamnya, dan juga Jalan Dr Cipto itu masih sewa," tuturnya.

Meski aktivitas penyamakan kulit sudah lama berhenti, nama Kampung Kulitan tetap melekat. Johanes memperkirakan usaha itu berhenti sekitar generasi ketiga keluarga Tasripin.

"Kemungkinan karena tidak ada penerus yang melanjutkan keahlian itu," katanya.

Sejarah kampung ini memang nyaris terlupakan. Tak banyak yang tahu bahwa di balik tembok-tembok kusam dan lorong sempit Jagalan, pernah berdiri pusat industri kulit yang hasilnya diekspor hingga Eropa.




(ahr/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads