Pilu OB di Semarang Hampir Setahun Lumpuh Usai Tertimpa Gerbang Saat Kerja

Pilu OB di Semarang Hampir Setahun Lumpuh Usai Tertimpa Gerbang Saat Kerja

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Jumat, 26 Sep 2025 15:06 WIB
Muhammad Husyein Al Imam (23), pemuda asal Tambak Lorok, Semarang Utara, lumpuh setelah tertimpa gerbang saat bekerja.
Muhammad Husyein Al Imam (23), pemuda asal Tambak Lorok, Semarang Utara, lumpuh setelah tertimpa gerbang saat bekerja. Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Muhammad Husyein Al Imam (23), pemuda asal Tambak Lorok, Semarang Utara, lumpuh setelah tertimpa gerbang saat bekerja. Meski sudah hampir setahun berlalu, keluarga Husyein mengaku belum menerima kompensasi sesuai aturan.

detikJateng sempat mendatangi rumah Husyein di Kampung Tambak Lorok, RT 4 RW 15, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara. Ia terbaring di kasur di ruang tengah rumahnya yang berdinding batako.

Di sampingnya, sang ayah tampak setia menemani, memperbaiki letak selimut yang menutupi kaki anaknya yang tak lagi bisa digerakkan itu. Paman Husyein juga ikut menemani Husyein dan membantu ayah Husyein.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski fisiknya lumpuh, Husyein masih bisa tersenyum. Tak jarang ia bercanda dengan ayahnya dan keponakannya. Ayahnya pun dengan bangga menunjukkan sertifikat boxing yang dimiliki anaknya.

Namun di balik itu, senyum Husyein tak bisa menutupi kenyataan bahwa kini hampir semua aktivitasnya, mulai dari makan hingga berpindah posisi, harus dibantu keluarga.

ADVERTISEMENT

Husyein bercerita, peristiwa nahas itu terjadi 2 Desember 2024 lalu di salah satu perusahaan berinisial O di Kota Semarang, lokasi Husyein ditempatkan. Saat itu, sekitar pukul 07.30 WIB, Husyein yang merupakan office boy (OB) diminta satpam membantu membuka gerbang yang rusak.

"Saat itu satpam inisiatif mencongkel roda gerbang tapi malah gerbangnya jatuh dan menimpa saya. Saat tertimpa saya sempat bisa duduk, tapi saya coba berdiri sudah nggak bisa, langsung lemas," kata Husyein di rumahnya, Jumat (25/9/2025).

Husyein kemudian langsung dilarikan ke RS Permata Medika Ngaliyan sebelum dirujuk ke RSUP dr Kariadi Semarang. Dari hasil pemeriksaan, ia didiagnosis mengalami spinal cord injury atau cedera tulang belakang. Dokter menyebut kondisinya sulit pulih.

"Asisten dokternya bilang minta dioperasi tapi bilang ke depannya lumpuh. Katanya operasi itu supaya bisa duduk mandiri," ujar Teguh (47), ayah Husyein.

Kondisi Husyein kini membuat kedua kakinya lumpuh total. Ia tidak bisa buang air besar maupun kecil secara mandiri, harus dibantu kateter dan perawatan rutin.

Sebagai karyawan outsourcing dari perusahaan berinisial M yang ditempatkan di PT O, Husyein juga disebut tidak memiliki BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan saat kecelakaan terjadi. Keluarga pun sempat berdebat soal biaya dengan pihak perusahaan.

Muhammad Husyein Al Imam (23) dan ayahnya, Teguh (47) di rumahnya, Kampung Tambaklorok, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, Jumat (26/9/2025).Muhammad Husyein Al Imam (23) dan ayahnya, Teguh (47) di rumahnya, Kampung Tambaklorok, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, Jumat (26/9/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

"Proses pengobatan ke RS misal bolak-balik, beli obat, ganti kateter, panggil terapis, dan itu biaya sendiri. PT M minta dibuatkan BPJS pascakecelakaan. Jadi sekarang kalau pengobatan pakai BPJS yang bayar PT M," ujarnya.

"Sebulan Rp 100 ribu, pertama dibayar PT M, tapi kedua tidak dibayar, jadi kita bayar sendiri. Kemudian kita protes, akhirnya dibayar," sambung Teguh.

Kebutuhan harian Husyein pun tidak sedikit. Sekali panggil perawat, kata Teguh, bisa habis hingga Rp 400 ribu. Belum lagi terapi, obat, hingga perawatan kateter.

"Kalau bisa pasang sendiri kita pasang sendiri, soalnya pernah kesusahan panggil ambulans hebat malah kesulitan juga, jadi harus ke UGD. Saya belajar pasang kateter lihat dari youtube, dibilangin petugas yang penting tegel (tega) dan tangan steril," katanya.

"Sempat kita dimarahi perawat karena harusnya petugas medis (yang mengganti) tapi, kalau kita ke medis terus kita keberatan di biayanya," lanjutnya.

Baca selengkapnya di halaman berikutnya....

Sebelum kecelakaan, Husyein yang merupakan lulusan pondok pesantren di Kudus itu dikenal aktif. Ia gemar boxing, bermain musik, hingga menghafal Al-Qur'an. Namun kini, aktivitasnya terbatas di tempat tidur.

"Kalau duduk kepalanya kunang-kunang, jadi lebih sering tiduran. Tapi mentalnya kuat, masih suka bercanda, menghibur keluarga," cerita Teguh.

Sementara itu, keluarga harus berjuang keras memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal, sang ibu hanya seorang buruh di pabrik garmen, sementara ayahnya bekerja sebagai tukang tambal ban.

"Hak-haknya dapatnya satu kali gaji, sisa gaji, dan uang PHK satu kali gaji, outsourcing nggak dapat pesangon," kata Teguh.

Selama bekerja, kata Teguh, Husyein juga bercerita bahwa dirinya diminta bekerja tak sesuai job desk dengan membantu para karyawan lainnya. Terkadang ia bahkan membantu karyawan lain memotong kayu untuk meubel.

"Harapannya ini anak kami kan masih muda dan butuh biaya besar perawatannya, pihak yang bertanggung jawab bisa memenuhi hak-hak anak kami sesuai UU Ketenagakerjaan, santunan kecelakaan dan bantuan sampai sembuh," tegas Teguh.

Pendamping hukum keluarga dari LBH Semarang, Amadela, mengatakan pihaknya sudah melakukan berbagai langkah advokasi sejak Januari 2025. Kasus ini dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jateng hingga keluar surat penetapan kompensasi.

"Sehingga terbit surat penetapan mengatur jumlah kompensasi yang harus dibayar vendor yaitu PT M dan user PT O. Jumlah yang harus dibayar vendor ke Husyein Rp 181 juta, hitungannya dari Peraturan Pemerintah, setelah pemeriksaan ada dokter penasihat dari disnaker yang menghitung habisnya berapa," jelasnya.

Ia menjelaskan, jika Husyein divonis lumpuh permanen, maka tanggung jawab perusahaan berlangsung seumur hidup. Namun, menurutnya, hingga kini PT M belum menunjukkan iktikad baik.

Bahkan dalam proses tripartite di Disnaker Kota Semarang, pihak perusahaan sempat menolak hadir dengan alasan menunggu penetapan ulang dari kementerian.

"Mereka beralasan tanggung jawab ini bukan hanya PT M, tapi juga PT O sebagai user. Banding ke kementerian itu soal siapa yang membayar, harusnya nggak mengubah berapapun jumlahnya," tegasnya.

Amadela menilai sikap perusahaan ini sebagai bentuk upaya lepas tangan. Selama masa tunggu, keluarga Husyein disebut tidak mendapat perhatian apa pun. Padahal biaya hidup Husyein per bulan mencapai lebih dari Rp 3 juta.

"Kami mendesak perusahaan segera membayar, karena Pak Teguh sempat mengatakan ada kendala apalagi beban per bulannya Rp 3,1 juta. Sebelum Mas Husyein sakit ada tiga orang bekerja di rumah, tapi setelah sakit sekarang ibunya jadi tulang punggung," tegasnya.

Halaman 2 dari 2
(afn/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads