Seorang pejuang kemerdekaan umumnya wafat dengan terhormat, dimakamkan di taman makam pahlawan, dan jasanya dikenang sepanjang masa. Namun tidak demikian dengan Kusni Kasdut. Meski ia turut berjasa pada kemerdekaan RI, hidupnya berakhir di hadapan regu tembak akibat ulahnya sendiri. Alih-alih dikenang sebagai pahlawan, namanya justru melekat di ingatan publik sebagai perampok.
Namanya benar-benar meledak pada 1961 ketika ia memimpin perampokan besar di Museum Nasional (Museum Gajah). Kusni bersama komplotannya yang menyamar sebagai polisi gadungan berhasil membawa kabur 11 permata berharga. Aksi yang terjadi di jantung ibu kota itu sontak menggemparkan masyarakat sekaligus membuat aparat kewalahan.
Bukan sekali dua kali ia membuat repot negara. Dalam beberapa tahun setelahnya, ia berkali-kali kabur dari penjara dan kembali merancang aksi perampokan lain. Jejaknya yang sulit dilacak membuat Kusni dijuluki sebagai sosok "Robin Hood" Indonesia, meski tindakannya tetap meninggalkan jejak kelam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana perjalanan Kusni Kasdut sejarah menjadi pejuang kemerdekaan hingga akhir hidupnya? Mari simak pembahasan lengkap yang dihimpun dari buku The Bastard Legacy tulisan Jounathan, Sejarah Tentara tulisan Petrik Matanasi, serta Legenda Hukuman Mati yang disusun Hukman Reni berikut ini!
Dari Pejuang Menjadi Orang Terbuang
Kusni Kasdut lahir dengan nama Waluyo. Sejak kecil ia sudah merasakan pahitnya hidup sebagai yatim piatu setelah kedua orang tuanya yang miskin tewas ditembak tentara Belanda. Luka itu membuat dirinya tumbuh keras sekaligus beringas.
Dalam masa revolusi, ia ikut bergabung dengan tentara Republik melawan pasukan Belanda. Kusni pernah terlibat langsung mengusir serdadu pimpinan Letnan Jenderal Spoor. Sebagai pemuda zaman revolusi, jasanya bagi kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipungkiri.
Namun nasib berkata lain. Program pengurangan jumlah tentara yang digagas Nasution dan Hatta membuat banyak bekas pejuang kehilangan arah. Kusni Kasdut salah satunya. Upayanya masuk TNI selalu ditolak. Bekas luka tembak di kaki membuatnya dianggap tidak layak.
Kekecewaan itu kian mendalam karena ia merasa diperlakukan tidak adil. Sementara itu, kehidupan ekonomi Indonesia kala itu juga morat-marit. Kusni memilih bertahan hidup sebagai orang sipil, tetapi jalan pintas segera menariknya masuk ke dunia hitam.
Merampok dengan Nyali Besar
Berbeda dengan pencopet kecil di pasar, Kusni lebih memilih sasaran besar dengan cara-cara berani. Pada 1960, ia bersama Bir Ali menembak mati seorang saudagar Arab bernama Ali Badjened di Jakarta. Tindakan ini membuat dirinya langsung mencuat sebagai bandit baru yang menakutkan, sekaligus membuka jalan bagi reputasi besar yang akan mengikuti.
Puncak popularitasnya datang pada 31 Mei 1961. Kusni bersama komplotannya merampok Museum Nasional atau Museum Gajah di Jakarta. Mereka masuk dengan menyamar sebagai polisi gadungan, menyandera pengunjung, bahkan menembak mati seorang penjaga museum.
Dari tempat itu mereka berhasil membawa lari 11 permata koleksi negara, yang saat itu nilainya amat tinggi. Aksi nekat di jantung ibu kota itu menggemparkan masyarakat sekaligus mempermalukan aparat yang dianggap kecolongan. Sejak saat itu, Kusni bukan sekadar kriminal biasa, melainkan penjahat dengan keberanian luar biasa yang tercatat dalam sejarah.
Pascaperistiwa itu, Kusni tidak langsung berhenti. Ia tetap melanjutkan aksinya dengan menargetkan orang-orang kaya dan juragan besar di berbagai kota. Senjata api selalu menemaninya, dan tembakan kerap dilepaskan untuk menakuti korban.
Hasil rampokan tidak semuanya ia nikmati sendiri, sebagian diberikan kepada warga miskin di sekitarnya. Sikap ini membuat dirinya dijuluki sebagai Robin Hood Indonesia, meski tindakannya tetap dianggap sebagai kejahatan yang meresahkan.
Jadi Buronan Licin
Setelah perampokan besar di Museum Nasional pada 31 Mei 1961, Kusni Kasdut hidup sebagai buronan yang terus menjadi momok bagi aparat. Selama bertahun-tahun ia kucing-kucingan dengan polisi. Operasinya tidak hanya di Jakarta. Ia kerap berpindah tempat dan muncul kembali di kota lain ketika kesempatan datang. Pola aksinya sama, terencana, bersenjata, dan berani mengambil risiko tinggi.
Ketekunan dan kelicikannya jelas terlihat dari catatan pelariannya. Tercatat ia berhasil melarikan diri dari penjara hingga lima kali. Tidak heran, namanya menjadi legenda di kalangan penjahat.
Namun, hari apes akhirnya tiba ketika Kusni berniat menggadaikan permata hasil jarahan Museum Nasional ke sebuah pegadaian di Semarang. Petugas pegadaian curiga karena ukuran dan keistimewaan permata itu tidak lazim untuk orang biasa. Laporan dari pegadaian itu membuka jalan bagi penangkapan yang selama ini sulit dilakukan oleh polisi.
Penangkapan di Semarang menjadi titik balik. Setelah ditangkap, Kusni menjalani proses hukum atas serangkaian kejahatan yang tergolong sadis dan berat, termasuk perampokan bersenjata dan pembunuhan. Dalam persidangan, ia dan beberapa rekannya, termasuk Bir Ali, didakwa berat. Vonis yang dijatuhkan kemudian adalah hukuman mati.
Pertobatan di Balik Jeruji Besi
Setelah vonis mati dijatuhkan, Kusni Kasdut mendekam di penjara Kalisosok, Surabaya. Di balik jeruji besi inilah titik balik hidupnya terjadi. Ia berkenalan dengan seorang pemuka Katolik yang kerap melakukan pembinaan rohani di penjara. Dari bimbingan itu, Kusni mulai merenung tentang masa lalunya yang penuh kekerasan. Perlahan, ia menemukan ketenangan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Kusni yang dulu dikenal keras akhirnya luluh. Ia memutuskan pindah agama, dibaptis, dan memilih nama baru, yaitu Ignatius Waluyo.
Pertobatan itu tidak sekadar formalitas. Untuk menyalurkan isi hatinya, Kusni mulai berkarya. Sebagai wujud cinta dan rasa terima kasihnya yang mendalam atas 'bekal' spiritual yang ia rasa telah memberi kedamaian untuk menghadapi maut, Ignatius Waluyo ingin meninggalkan sebuah warisan.
Dengan sumber daya yang sangat terbatas di penjara, ia menunjukkan kreativitas luar biasa melalui lukisan. Bukan di atas kanvas, melainkan dengan memanfaatkan bahan sederhana berupa gedebong pisang (batang pohon pisang), ia menuangkan seluruh iman dan penyesalannya ke dalam sebuah karya.
Hasilnya adalah sebuah lukisan menakjubkan yang menggambarkan Gereja Katedral Jakarta, lengkap dengan arsitekturnya yang megah, sebuah simbol dari rumah spiritual barunya. Beberapa hari sebelum regu tembak menjemputnya pada 16 Februari 1980, lukisan itu ia serahkan sebagai tanda mata.
Karya terakhir dari seorang terpidana mati ini adalah sebuah pengakuan dan bukti pertobatan yang tulus. Hingga kini, lukisan gereja karya Kusni Kasdut alias Ignatius Waluyo masih tersimpan abadi dan dapat disaksikan di Museum Gereja Katedral Jakarta.
Selain melukis, Kusni juga menulis puisi yang berisi doa, penyesalan, dan harapannya menghadapi kematian. Dalam kesaksiannya menjelang akhir hidup, Kusni mengatakan bahwa masa lalunya penuh dosa, tetapi ia ingin wafat dengan hati yang lebih tenang. Berikut ini puisinya:
Haru - Biru
Kehidupan adalah perlawanan tanpa penyesalan
Kesalahan hanyalah lawan kata kebenaran
Selanjutnya engkau pasti tahu
Tahun 1976 ku bertobat
Semua yang ada tak selalu terlihat
Jarak antar-saat begitu dekat
Situasilah yang memaksa dan membuat ku berlari
Rindukan terang
Pada pekan malam kuterjang
Serpihan paku, kaca, dan kawat berduri
Bulan tak peduli
Turuti kata hati
Hati menderu-deru, belenggu memburu
Beradu cepat dengan peluru
Kusadari hidupku hanya menunggu
Suara 12 senapan dalam satu letupan
Satu aba-aba pada satu sasaran
Yaitu ajalku ...
Ignatius Waluyo AKA Kusni Kasdut,
menuju eksekusi hukuman mati pada 16 Februari 1980
Eksekusi Sang Robin Hood
Tanggal 16 Februari 1980 menjadi hari terakhir bagi Kusni Kasdut. Ia dieksekusi di sebuah lapangan tembak dekat Gresik, Jawa Timur. Proses eksekusi ini dilaksanakan setelah vonis mati yang ia terima akibat aksi-aksi kriminalnya, termasuk perampokan di Museum Nasional pada 1961.
Beberapa jam sebelumnya, ia mengajukan permintaan terakhir agar bisa makan bersama keluarga di Lapas Kalisosok, Surabaya, dan permintaan itu dikabulkan. Malam itu Kusni duduk di tengah anak, menantu, dan cucunya. Mereka makan malam sederhana dengan menu kesukaannya, yakni capcay, mie, dan ayam goreng.
Kusni terlihat tegar, berbeda dengan keluarganya yang tak kuasa menahan tangis. Ia bahkan menitipkan pesan agar honor dari buku kisah hidupnya yang ditulis Parakitri Simbolon bisa diurus oleh putranya, Bambang.
Seusai pertemuan itu, Kusni kembali ke sel. Ia hanya duduk di dekat terali, merokok kretek, mengobrol dengan sipir, dan sesekali berdoa. Malam itu, deru 19 mobil polisi sudah disiapkan untuk mengiringinya ke lokasi eksekusi.
Ketika tim eksekutor menjemputnya sekitar pukul 03.00 dini hari, Kusni menolak untuk mandi. Ia memilih menyalami satu per satu petugas yang selama ini menjaganya. Di depan pintu penjara, sudah menunggu dua perwira polisi yang pernah menangkapnya ketika ia kabur dari Penjara Lowokwaru, Malang.
Sesaat kemudian, ia dibawa menuju lapangan tembak. Di sana, tiga peluru menembus jantungnya dan lima lainnya mengenai perutnya. Dengan tubuh lunglai di tiang eksekusi, Kusni Kasdut menutup perjalanan hidupnya yang penuh kontradiksi, dari pejuang kemerdekaan hingga penjahat legendaris yang bertobat menjelang ajal.
Itulah tadi kisah lengkap mengenai akhir hidup dramatis seorang Kusni Kasdut. Semoga bermanfaat!
(par/par)