Masyarakat Indonesia yang hidup pada dekade 1980-an pasti sudah tidak asing dengan Slamet Gundul. Ia merupakan bos garong atau perampok yang terkenal sangat licin. Bak belut, ia selalu lolos dari kejaran aparat. Bahkan, ia sempat berhasil kabur setelah vonisnya dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Tidak hanya beraksi di Jakarta, nama Slamet Gundul juga sempat menjadi "legenda" bagi masyarakat Barutikung, Semarang Utara. Bagaimana tidak, ia dan kelompoknya pernah bermarkas di sana dan menjadi sosok yang disegani.
Penasaran bagaimana licinnya Slamet Gundul hingga akhirnya berhasil dibekuk pihak berwajib? Mari simak perjalanannya yang dihimpun dari buku Kriminologi: Suatu Pengantar tulisan Nursariani Simatupang dan Faisal serta laporan detikX berikut!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Latar Belakang Kehidupan Slamet Gundul
Slamet Gundul lahir di Malang dengan nama asli Supriadi. Ia tumbuh di lingkungan yang keras, di mana jalanan lebih banyak mengajarinya tentang hidup daripada sekolah. Sejak remaja, ia sudah terbiasa melakukan pencurian kecil-kecilan. Keberaniannya makin besar seiring waktu, hingga dirinya berurusan dengan polisi dan penjara. Dari situlah nama Slamet mulai muncul di catatan kriminal.
Julukan "Slamet Gundul" melekat karena ia kerap mencukur rambutnya hingga plontos. Penampilannya khas, dengan wajah berpipi tembam, hidung lebar, dan mata tanpa lipatan kelopak. Meski begitu, banyak orang menyebut ia tidak terlihat garang. Senyumnya sering tersungging bahkan saat menghadapi situasi genting. Dari sisi lain, ia juga dikenal pandai mengambil hati orang, termasuk sesama narapidana, hingga banyak yang bersedia bergabung dengannya.
Dalam catatan kepolisian, Slamet juga dikenal dengan beberapa nama samaran seperti Slamet Santoso dan Samsul Gunawan. Nama-nama itu dipakainya untuk mengaburkan identitas saat beraksi atau berpindah-pindah tempat. Namun, bagi polisi dan masyarakat, sebutan Slamet Gundul lebih populer karena menjadi ciri khas sekaligus "merek dagang" kejahatannya. Identitas gandanya membuatnya semakin sulit dilacak, apalagi ditambah sifatnya yang licin dalam melarikan diri.
Kawanan Perampok Bikin Aparat Kewalahan
Pada dekade 1980-an, nama Slamet Gundul melambung sebagai bos kawanan garong nasabah bank bersenjata api. Ia memimpin kelompok yang beraksi di berbagai kota besar di Pulau Jawa, bahkan hingga Sumatera bagian selatan. Setiap aksinya membuat geger karena dilakukan terang-terangan, sering di jalanan ramai atau sekitar bank. Polisi pun menyebut kawanan ini sebagai bandit nomor satu yang paling dicari.
Meski dikenal garang dalam beraksi, Slamet Gundul dan kelompoknya punya ciri khas, mereka tidak pernah melukai korban. Aksi perampokan dilakukan cepat, target sudah ditentukan, dan hasilnya langsung dibawa kabur.
Slamet Gundul tidak hanya dikenal karena perampokannya, tetapi juga karena kelihaian meloloskan diri. Sejak muda ia sudah terbiasa keluar-masuk sel tahanan di Jakarta. Pernah ia ditahan satu bulan di Polres Jakarta Utara, delapan bulan di Polres Jakarta Selatan, dan empat bulan di Polda Metro Jaya. Namun setiap kali keluar, "kualitas" kejahatannya justru meningkat.
Karena tak kunjung mengakhiri tindak kriminalnya, Slamet Gundul pun jadi buronan polisi. Salah satu pelarian paling legendaris terjadi pada Januari 1987. Polisi Polda Metro Jaya sudah mengepung rumah kontrakannya di Pondok Kopi, Jakarta Timur.
Saat aparat mengetuk pintu, yang keluar hanya istrinya. Slamet, yang saat itu memegang dua pistol revolver Colt kaliber 32 dan 38, melompat pagar setinggi dua meter, melewati dapur tetangga, lalu beradu tembak dengan polisi. Ia berhasil lolos dengan menyambar metromini yang sedang dicuci dan kabur dari kepungan puluhan aparat.
Tidak berhenti di situ, pelarian dramatis juga terjadi setelah Slamet ditangkap dan divonis tiga tahun penjara bersama dua rekannya, Jarot dan Sahut. Saat dimasukkan ke mobil tahanan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, mereka berhasil mendorong petugas pengawal hingga terjatuh.
Slamet dan Jarot kabur dengan menumpang sepeda motor, sementara Sahut berhasil ditangkap kembali. Sejak saat itu, catatan pelariannya kian panjang dan membuat polisi semakin geram.
Meninggalkan Ibu Kota Menuju Kota Atlas
Setelah kabur dari Jakarta bersama Jarot, Slamet Gundul memutuskan pindah ke Kota Atlas, Semarang. Ia tinggal di kawasan Barutikung, Semarang Utara, yang sudah dikenal sebagai sarang preman.
Di tempat itulah ia mulai membangun jaringan baru dan mengumpulkan orang-orang yang siap ikut dalam aksinya. Dari kota inilah, serangkaian perampokan besar yang membuat namanya semakin ditakuti dimulai.
Pada periode 1989 saja, catatan menunjukkan total hasil rampokan Slamet mencapai Rp 159,5 juta. Jika dikurskan dengan nilai rupiah sekarang, jumlah itu setara dengan puluhan miliar. Sasaran yang dipilihnya pun beragam.
Ia merampok juragan tembakau di Kendal senilai Rp 23 juta, mengambil Rp 40 juta dari juragan ikan, hingga menggondol uang milik Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang sebesar Rp 34 juta. Tidak berhenti di situ, ia juga membobol nasabah Bank BCA Peterongan senilai Rp 28,5 juta, serta menggasak Rp 34 juta dari karyawan PT Nyonya Meneer.
Ada satu trik khas yang membuat Slamet sulit ditangkap di Semarang. Setiap kali dikejar polisi, ia melarikan diri ke perkampungan padat penduduk. Di tengah pelarian, ia kerap menebarkan uang hasil rampokan ke jalanan.
Warga yang berebut uang otomatis menghalangi laju polisi yang memburunya. Cara ini berulang kali membuat Slamet berhasil lolos, dan reputasinya sebagai garong licin semakin menguat.
Baku Tembak di Klaten dan Aksi Berdarah di Jakarta
Keberhasilan Slamet Gundul meraup hasil besar membuat aparat Polda Jawa Tengah membentuk Unit Sidik Sakti (USS) khusus untuk memburunya. Kesempatan datang ketika ia bersama tujuh kawannya bersiap beroperasi di Klaten. Di SPBU Pandansimping, mereka dicegat enam anggota USS.
Baku tembak berlangsung sekitar 15 menit. Jarot, tangan kanan Slamet yang dikenal kejam, tewas ditembus lima peluru. Subagio dan Sugeng, tertangkap dalam kondisi terluka. Slamet sendiri meski terkena peluru di bahu, masih bisa melarikan diri dengan menunggang sepeda motor. Kegagalan itu membuat polisi semakin geram, apalagi komplotan Slamet terbukti terorganisir dan sulit ditangkap.
Bukannya berhenti, Slamet justru melanjutkan aksinya di Jakarta. Di kawasan Kampung Bali, ia bersama anak buahnya menghadang mobil dua karyawan CV Bambu Gading yang membawa uang Rp 10 juta. Sebuah minibus dan dua sepeda motor mengepung korban, sementara perampok mengacungkan pistol dari jendela.
Namun, kali ini polisi berada di lokasi, baku tembak pun kembali pecah. Dua perampok tewas, tapi seorang aparat bernama Letnan Dua Soewito gugur setelah peluru menembus bawah matanya. Slamet lagi-lagi berhasil lolos, meski kehilangan beberapa orang penting dalam kelompoknya. Ia kemudian memilih "mudik" ke Malang, Jawa Timur, untuk bersembunyi.
Akhir Petualangan Sang Bos Garong
Setelah bertahun-tahun menjadi buronan dan selalu lolos dari sergapan, pelarian Slamet Gundul akhirnya berhenti di Surabaya pada 1991. Saat itu, polisi sempat menangkap tujuh terduga perampok bersenjata di kawasan Pasar Turi. Salah satunya bernama Supriadi. Karena tidak ada bukti kuat, pria itu dilepas kembali. Baru belakangan polisi sadar bahwa Supriadi sebenarnya adalah Slamet Gundul yang selama ini mereka buru.
Kesalahan itu membuat Polrestabes Surabaya semakin serius. Mereka membentuk tim khusus untuk mengejar Slamet di kawasan Putat Jaya. Namun, Slamet kembali lolos karena selalu berpindah-pindah tempat tinggal.
Tim Resmob yang dipimpin Kapten Oerip Sugianto kemudian melakukan pengintaian lebih intensif. Selama satu minggu penuh, mereka menyamar di sekitar Jalan Rajawali, Jalan Gresik, Jalan Krembangan Bhakti, hingga Pasar PPI Surabaya.
Kesabaran itu membuahkan hasil pada 16 Juni 1991. Sekitar 30 polisi yang disebar di berbagai titik akhirnya melihat Slamet turun dari angkutan umum. Begitu ia menjejakkan kaki, aparat segera menyergapnya. Tak seperti biasanya, kali ini Slamet tidak melakukan perlawanan. Setelah delapan tahun keluar masuk penjara dan 55 kali melakukan perampokan, hidupnya sebagai buronan pun berakhir.
Akhi kisah perjalanan Slamet Gundul ini mengajarkan bahwa sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga.
(sto/dil)