- Apakah Ada Amalan Rebo Wekasan Menurut Islam? A. Pandangan yang Menolak Amalan Rebo Wekasan B. Pandangan yang Membolehkan Amalan Rebo Wekasan
- Mengenal Sejumlah Larangan Rebo Wekasan 1. Tidak Mengambil Air 2. Menghindari Perjalanan Jauh 3. Tidak Melakukan Pekerjaan Berbahaya 4. Menjauhi Perbuatan Dosa 5. Larangan Menikah
Rebo Wekasan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut hari Rabu terakhir di bulan Shafar dalam penanggalan hijriah. Dalam tradisi sebagian masyarakat, hari ini dianggap sebagai waktu turunnya banyak bala atau musibah. Sebagian umat Islam masih menjalankan sejumlah ibadah khusus pada hari ini. Lantas, apakah ada amalan Rebo Wekasan menurut Islam?
Dikutip dari NU Online, pada masa jahiliyah, bulan Shafar dipandang sebagai bulan sial. Orang-orang Arab kuno meyakini bahwa berbagai musibah sering terjadi pada bulan ini. Keyakinan seperti itu kemudian diluruskan oleh Rasulullah SAW, karena pada hakikatnya semua musibah atau keselamatan datang dari Allah SWT, bukan dari bulan atau hari tertentu.
Rebo Wekasan kemudian dikenal luas terutama di masyarakat Jawa dan Nusantara. Ada yang mengaitkannya dengan turunnya bala secara besar-besaran, ada juga yang mengamalkan ritual tertentu untuk menolak musibah. Pandangan tentang hal ini berbeda-beda di kalangan ulama, sehingga menjadi topik yang sering diperbincangkan setiap kali bulan Shafar tiba. Lalu, bagaimana hukum Islam memandang ini?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apakah Ada Amalan Rebo Wekasan Menurut Islam?
Masih dikutip dari NU Online, pandangan Islam tentang Rebo Wekasan tidak tunggal. Rasulullah SAW dengan tegas menolak keyakinan adanya hari sial atau bulan sial. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa."
Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada kesialan yang melekat pada bulan atau hari tertentu. Penyakit atau musibah bukan karena waktu itu sendiri, melainkan berjalan sesuai takdir Allah. Penularan hanya sebagai sarana, tetapi hakikatnya semua terjadi dengan izin Allah.
A. Pandangan yang Menolak Amalan Rebo Wekasan
Banyak ulama menegaskan bahwa tidak ada dasar syariat untuk ibadah khusus pada hari Rebo Wekasan. KH Abdul Kholik Mustaqim menyebutkan tiga alasan utama penolakannya. Pertama, tidak ada hadits sahih yang mendukung sholat Rebo Wekasan, bahkan yang ada hanya hadits dha'if atau palsu.
Kedua, tidak ditemukan anjuran ibadah tertentu pada hari ini. Kalau pun ingin beribadah, cukup dengan sholat hajat atau sholat sunnah mutlak yang memang sudah disyariatkan. Ketiga, jika seseorang meniatkan sholat khusus dengan nama "sholat Rebo Wekasan", maka hukumnya tidak sah bahkan bisa haram.
Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari juga melarang keras praktik ini. Dalam fatwanya, beliau menegaskan bahwa ibadah tanpa dasar syariat tidak boleh dilakukan. Kitab-kitab mu'tabar seperti Fath Al-Mu'in, Al-Minhaj Al-Qawim, Ihya' Ulum al-Din, hingga Al-Muhadzab pun tidak menyebutkan sholat Rebo Wekasan. Menurut beliau, hadits tentang "sholat adalah sebaik-baiknya amal" hanya berlaku untuk sholat yang memang disyariatkan, bukan untuk ibadah tambahan yang dibuat-buat.
Muktamar NU ketiga pun memperkuat pandangan ini. Kepercayaan terhadap hari naas tidak boleh diikuti karena bisa menjurus pada perilaku tasyabbuh dengan orang Yahudi. Dalam Al-Fatawa Al-Haditsiyah, Syekh Ibnu Hajar aA-Haitami menegaskan bahwa riwayat tentang hari-hari sial yang dikaitkan dengan sahabat Ali adalah batil dan tidak ada dasarnya. Dengan demikian, sebagian besar ulama fiqih sepakat bahwa tidak ada amalan khusus yang diwajibkan pada hari Rebo Wekasan.
B. Pandangan yang Membolehkan Amalan Rebo Wekasan
Di sisi lain, ada juga ulama yang membolehkan pelaksanaan ibadah pada hari Rebo Wekasan. Dalam kitab Kanzun Najah was-Surur karya Syekh Abdul Hamid Quds, disebutkan bahwa pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, Allah menurunkan 320.000 bala bencana. Karena itu, sebagian umat melakukan sholat empat rakaat dengan bacaan tertentu sebagai ikhtiar agar terhindar dari musibah hingga setahun ke depan.
Syekh Abdul Hamid Quds Al-Makki memberikan penjelasan penting. Menurutnya, amalan ini sah selama diniatkan sebagai sholat sunnah mutlak, bukan sholat dengan nama khusus. Sholat sunnah mutlak tidak memiliki batasan waktu, jumlah rakaat, atau sebab tertentu. Dengan niat itu, ibadah bisa dilakukan tanpa terjebak dalam larangan bid'ah.
Artinya, kelompok yang membolehkan tidak menempatkan sholat Rebo Wekasan sebagai ibadah baru, tetapi sebagai bentuk doa perlindungan yang dibungkus dalam sholat sunnah mutlak. Pandangan ini memberikan ruang bagi masyarakat yang ingin mengisi hari Rebo Wekasan dengan ibadah, selama niatnya tetap lurus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mengenal Sejumlah Larangan Rebo Wekasan
Sejumlah larangan pada Hari Rebo Wekasan masih diyakini sebagian masyarakat hingga sekarang. Informasi ini dihimpun dari buku The Islamic Traditions of Cirebon karya AG Muhaimin serta artikel ilmiah Studi Literatur: Kearifan Lokal Masyarakat Using sebagai Sumber Belajar IPS di Sekolah Dasar oleh Putri Rachmadyanti, Risalatul Mahmudah, dan Hawa' Hidayatul Hikmiyah. Berikut beberapa di antaranya.
1. Tidak Mengambil Air
Pertama, masyarakat dilarang mengambil air dari sumber manapun, baik sumur, mata air, maupun sungai. Larangan ini berlaku untuk kebutuhan sehari-hari seperti memasak atau minum. Kepercayaan yang berkembang menyebutkan bahwa air yang diambil pada hari ini bisa membawa penyakit.
Oleh karena itu, orang lebih memilih untuk menyiapkan kebutuhan air sebelum Rebo Wekasan tiba. Keyakinan ini juga erat kaitannya dengan pandangan bahwa menjaga kesucian dan kebersihan di hari tersebut dapat memberi perlindungan bagi kesehatan.
2. Menghindari Perjalanan Jauh
Selain larangan mengambil air, masyarakat juga dianjurkan untuk tidak melakukan perjalanan jauh. Hari Rebo Wekasan dianggap rawan bencana, sehingga bepergian jauh bisa meningkatkan risiko kecelakaan.
Oleh sebab itu, banyak orang memilih untuk tetap berada di rumah atau sekadar beraktivitas di sekitar lingkungan terdekat. Meskipun asal usul keyakinan ini tidak sepenuhnya jelas, namun aturan ini sudah menjadi bentuk kehati-hatian yang diwariskan dari generasi ke generasi.
3. Tidak Melakukan Pekerjaan Berbahaya
Larangan berikutnya berkaitan dengan aktivitas sehari-hari. Pada hari ini, masyarakat diingatkan agar tidak mengerjakan pekerjaan yang berisiko tinggi. Aktivitas seperti memanjat pohon, menggunakan alat tajam, atau bekerja di tempat yang berbahaya sebaiknya ditunda.
Keyakinan yang berkembang adalah bahwa potensi kecelakaan lebih besar jika pekerjaan berbahaya dilakukan di Rebo Wekasan. Oleh karena itu, orang biasanya memilih untuk mengurangi kegiatan fisik yang berat demi keselamatan.
4. Menjauhi Perbuatan Dosa
Rebo Wekasan juga dimaknai sebagai momen untuk memperbanyak amal baik. Masyarakat percaya bahwa berbuat dosa pada hari ini akan membawa konsekuensi yang lebih berat. Oleh karena itu, mereka berusaha menjauhi hal-hal yang dilarang agama dan menggantinya dengan ibadah, sedekah, atau kegiatan sosial. Tradisi ini tidak hanya bertujuan menghindari musibah, tetapi juga menjadi kesempatan untuk merenungkan diri dan memperbaiki perilaku.
5. Larangan Menikah
Terakhir, pada Rebo Wekasan juga berlaku larangan melangsungkan pernikahan. Bahkan, larangan ini meluas pada bulan Safar secara keseluruhan. Kepercayaan masyarakat menyebut bahwa menikah di bulan ini dapat mendatangkan kesialan dalam rumah tangga, seperti pertengkaran, perceraian, atau kesulitan ekonomi. Tradisi ini sudah ada sejak masa Majapahit dan masih dijalankan hingga sekarang, meskipun tidak semua orang lagi meyakininya.
Jadi, itulah tadi penjelasan lengkap mengenai amalan Rebo Wekasan yang sebenarnya tidak terdapat dalam ajaran Islam. Semoga bermanfaat!
(par/rih)