Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen di Kabupaten Pati menuai kritik tajam dari masyarakat. Pakar kebijakan publik Universitas Negeri Semarang (Unnes), Dr Cahyo Seftyono, S.Sos, M.A, menilai ada dua kesalahan besar terkait kebijakan tersebut.
Cahyo menyebut dua kesalahan tersebut yakni pembuatan kebijakan yang tidak partisipatif, dan respons pemerintah yang kurang empati terhadap protes warga. Dia pun mengkritik cara menarik pajak yang tidak pas.
"Secara normatif, pajak itu memang ditujukan untuk pembangunan, sebenarnya baik-baik saja, tapi ada yang kurang pas dalam konteks kebijakan publik di era kekinian. Walaupun niatnya mungkin baik, tapi caranya nggak pas," kata Cahyo saat dihubungi detikJateng, Kamis (7/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dosen Fakultas Ilmu Sosial Unnes itu menilai kebijakan tersebut diambil dengan pendekatan top-down alias kebijakan yang diambil oleh pejabat tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Menurutnya, cara yang digunakan Pemkab Pati sudah tidak relevan dengan semangat demokrasi saat ini.
"Artinya pemerintah ingin ini, langsung eksekusi. Sudah nggak zaman di era sekarang, publik juga semakin tahu kebutuhan mereka apa. Jadi pendekatan ini seolah-olah pemerintah punya dominasi tunggal untuk membuat kebijakan," ungkapnya.
"Ini kesalahannya, pendekatan seperti itu seharusnya mulai dikurangi, dihilangkan lah, masyarakat harus dilibatkan. Kalau kayak gini kesannya publik nggak tahu apa-apa tiba-tiba PBB naik 250 persen yang sangat di luar batas kemampuan masyarakat," lanjutnya.
Ia menyebut idealnya kebijakan kenaikan pajak semacam ini mengacu pada aspirasi warga atau minimal dibarengi kajian akademis dari lembaga riset atau kampus terdekat seperti Universitas Muria Kudus.
"Kalau pun tidak sempat rembugan, bisa minta bantuan kampus untuk survei atau riset. Jangan sampai publik merasa dipaksa menerima kebijakan yang memberatkan tanpa tahu tujuannya apa," ujar dia.
Cahyo yang aktif mengkaji partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan ini juga menyoroti reaksi Bupati Pati Sudewo saat menyikapi protes masyarakat. Menurutnya, pernyataan Bupati Pati yang cenderung menantang warga saat demo adalah bentuk komunikasi publik yang buruk.
"Pemimpin itu seharusnya jadi jembatan solusi, bukan malah defensif atau nantang. Saat warga merasa terbebani, ya justru harusnya didengar dan diajak dialog. Bukan disangkal," ujar penerima Fellowship di Asia Research Institute National University of Singapore (ARI NUS) ini.
Dorong Dialog Win-win Solution
Di sisi lain, Cahyo juga menyoroti kebijakan pelayanan administrasi di Kecamatan Wedarijaksa yang mewajibkan pelunasan PBB sebagai syarat mengakses pelayanan publik. Dia mewanti-wanti ada potensi pelanggaran hak dasar masyarakat.
"Kondisi sekarang yang serba tidak mudah, jangan kemudian pemerintah makin mempersulit. Karena warga kan bagian elite politik juga, jangan menimbulkan kesan pemerintah tidak bisa memberi solusi tapi justru menambah masalah bagi publik," tegasnya.
"Jadi pendekatan top down itu tentu mengeliminir fungsi pemerintahan, pelayanan publik untuk warga kan jadi terhambat, yang mendominasi apa yang didapat pemerintah, bukan apa yang bisa diberikan ke warga. Itu otomatis melanggar hak terhadap pelayanan publik," sambungnya.
Cahyo mengingatkan pentingnya pendekatan humanis dalam pengambilan kebijakan, terutama saat masyarakat masih dalam kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja.
"Pemerintah lebih perlu mencari win-win solution. Kalau memang butuh dana pembangunan, sampaikan baik-baik. Buka ruang dialog. Jangan sampai kebijakan yang harusnya menyelesaikan masalah justru jadi beban publik," tutupnya.
(ams/dil)