Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah (Jateng) resmi mengeluarkan fatwa haram terhadap usaha peternakan babi yang rencananya akan dibangun di Kabupaten Jepara. Hal itu disebut karena pendirian peternakan akan dilakukan di wilayah dengan warga mayoritas beragama Islam.
Ketua MUI Jateng, KH Ahmad Darodji menegaskan, fatwa ini lahir setelah adanya laporan dari MUI Pusat dan hasil diskusi bersama MUI Jepara, terkait surat permohonan sebuah investor pada 5 Juni 2025, yang rencananya akan mendirikan peternakan babi modern di Kabupaten Jepara.
"Kami sudah mengeluarkan fatwa bahwa itu (peternakan babi di Jepara) haram. Mendirikan haram, membantu haram, mendukung haram," kata Darodji saat dimintai konfirmasi detikJateng, Senin (5/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keputusan itu tertuang dalam Fatwa MUI Jateng yang dikeluarkan usai sidang Komisi Fatwa MUI Jateng, Jumat (1/8) lalu.
Darodji menjelaskan, MUI Pusat mulanya mendapat informasi terkait rencana investasi peternakan babi di Jepara. Menindaklanjuti hal itu, MUI Jateng kemudian mengundang MUI Jepara untuk berdiskusi bersama.
"Kami dapat perintah dari MUI Pusat agar menerapkan pendekatan dengan Kabupaten Jepara yang konon akan didirikan peternakan babi," ungkapnya.
"Kami kemudian mengundang MUI Kabupaten Jepara, memang betul sudah akan ada investor yang menanamkan investasinya di Jepara untuk peternakan babi. Kemudian kami mengeluarkan fatwa itu," lanjutnya.
Menurut Darodji, dasar fatwa ini merujuk pada Al-Qur'an, hadis, pendapat para ulama, dan kaidah usul fiqih yang menyebut babi sebagai hewan najis dan haram.
Dalam fatwa haram itu tertulis, usaha peternakan maupun budidaya babi, baik secara tradisional maupun modern mempunyai hukum yang sama dalam keharamannya.
Membuka usaha peternakan, menjadi pegawai di perusahaan peternakan babi, memberi izin berdirinya usaha peternakan babi, membantu, mendukung, memfasilitasi berdirinya usaha peternakan babi hukumnya haram.
"Jadi babi adalah binatang najis dan haram, sehingga mengembangbiakkannya menjadi haram. Maka kita mengembangbiakkannya, menjualnya, itu haram," tuturnya.
Darodji juga menegaskan, fatwa ini berlaku umum, termasuk jika peternakan itu dikelola oleh non-muslim atau hasil ternaknya ditujukan untuk ekspor.
"Kalau di luar negeri, di Tiongkok atau mana, itu terserah. Tapi ini di wilayah mayoritas Muslim, seperti Jepara, itu jadi persoalan. Jawa Tengah ini penduduknya 96 persen Muslim. Jadi, tugas kami sebagai ulama adalah melindungi umat," ujar dia.
Ia menambahkan, fatwa tersebut juga bersifat jangka panjang untuk mencegah potensi perubahan arah distribusi hasil peternakan di masa depan. Darodji mencontohkan kasus Warung Ayam Widuran yang ternyata menjual produk nonhalal.
"Kalau dalihnya untuk ekspor, tidak ada yang menjamin 20-30 tahun lagi tetap, tidak untuk konsumsi lokal. Kami tidak mau umat terjerumus dalam yang haram, baik sekarang maupun nanti," paparnya.
"Ada pengalaman Warung Ayam Goreng Widuran Solo. Itu sudah dari tahun 70-an. Jadi bisa nanti 50 tahun yang akan datang sudah ada terobosan terhadap itu," lanjutnya.
Terkait kemungkinan adanya warga yang tetap menjalankan usaha peternakan babi setelah keluarnya fatwa, Darodji menyerahkan hal itu kepada pemerintah.
"Kami sudah menyampaikan fatwa ini. Kalau misalnya pemerintah kemudian tidak menimbang keresahan masyarakat, kemudian dibiarkan, ya monggo," ujarnya.
"Tapi kan pemerintah tugasnya adalah melindungi masyarakat dari keresahan. Insyaallah kami husnudzon, pemerintah juga akan mempertimbangkan keresahan masyarakat," sambung Darodji.
(rih/apl)