7 Contoh Studi Kasus PPG 2025 Bisa untuk Guru PAUD, SD, SMP, dan SMA

7 Contoh Studi Kasus PPG 2025 Bisa untuk Guru PAUD, SD, SMP, dan SMA

Nur Umar Akashi - detikJateng
Selasa, 29 Jul 2025 10:56 WIB
Guru dan siswa sedang belajar di ruang kelas
Ilustrasi guru dan siswa di ruang kelas. (Foto: Drazen Zigic/Freepik)
Solo -

Peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG) 2025 akan mendapatkan tes berupa studi kasus. Tujuan tes ini adalah mengetahui kemampuan peserta dalam mengidentifikasi sekaligus menyelesaikan masalah pembelajaran.

Biasanya, studi kasus dalam PPG dibatasi sebanyak 500 kata saja. Oleh karena itu, para guru mesti menyusun argumentasi secara tepat, baik untuk bagian permasalahan, upaya penyelesaian, hasil, maupun pengalaman berharga.

Kasus yang dibahas meliputi jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Guna mempersiapkan diri, contoh-contoh studi kasus yang berkualitas tentu dibutuhkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Langsung saja, di bawah ini detikJateng sudah himpunkan sejumlah permisalan studi kasus sebagai contoh. Berbagai contoh studi kasus PPG 2025 di bawah ini bisa dijadikan referensi para peserta PPG. Simak sampai tuntas, ya!

ADVERTISEMENT

Kumpulan Contoh Studi Kasus PPG 2025

Studi Kasus #1: Kemampuan Siswa yang Beragam

(sumber: situs resmi SMP Negeri 1 Kurun)

Salah satunya ketimpangan dalam kecepatan belajar siswa-siswa yang cepat memahami materi cenderung merasa bosan dan tidak tertantang. Sementara siswa yang lebih lambat menjadi frustasi dan kehilangan motivasi karena merasa tertinggal.

Kondisi ini mengganggu dinamika kelas dan menurunkan efektivitas pembelajaran. Selain itu, ketimpangan ini juga menyebabkan kesenjangan dalam pencapaian hasil belajar antar siswa.

Untuk mengatasi masalah ini saya menerapkan beberapa strategi:

1. Pembelajaran berdiferensiasi

Saya mulai dengan mengadopsi pendekatan pembelajaran berdiferensiasi. Di mana saya membagi siswa ke dalam kelompok berdasarkan kecepatan dan gaya belajar mereka. Kelompok yang lebih cepat saya berikan tugas tambahan atau proyek yang lebih menantang. Sementara kelompok yang lebih lambat saya berikan pendampingan lebih intensif dan materi tambahan yang disesuaikan.

2. Penggunaan media dan sumber belajar yang beragam

Saya juga memperkenalkan berbagai media pembelajaran seperti video presentasi interaktif dan permainan edukatif untuk menjelaskan konsep yang sulit. Hal ini membantu siswa yang kesulitan dalam memahami materi untuk melalui melalui metode tradisional.

3. Penilaian formatif dan umpan balik yang cepat

Untuk memastikan semua siswa mengikuti proses pembelajaran, saya menggunakan penilaian formatif secara berkala dan memberikan umpan balik segera. Ini membantu saya mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan dan segera memberikan bantuan yang diperlukan.

4. Pendekatan individualisasi

Saya meluangkan waktu untuk berinteraksi secara pribadi dengan siswa yang lambat memahami materi. Saya juga melibatkan orang tua untuk mendukung pembelajarannya di rumah, terutama bagi siswa yang memerlukan perhatian lebih.

Setelah beberapa bulan menerapkan strategi ini, saya mulai melihat perubahan. Siswa yang cepat, merasa lebih tertantang dengan tugas-tugas tambahan. Sementara siswa yang lambat, menunjukkan peningkatan dalam pemahaman mereka.

Ketimpangan dalam pencapaian hasil belajar juga mulai berkurang dan dinamika kelas menjadi lebih positif. Semua siswa tampak lebih terlibat dan termotivasi selama pembelajaran berlangsung.

Pengalaman ini mengajarkan saya tentang pentingnya fleksibilitas dan adaptasi dalam mengajar. Saya belajar bahwa setiap siswa memiliki kecepatan dan gaya belajar yang berbeda-beda.

Sebagai guru, penting untuk mengenali perbedaan tersebut dan menyesuaikan metode pengajaran sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, pengalaman ini juga memperkuat keyakinan saya bahwa dengan pendekatan yang tepat setiap siswa dapat mencapai potensi maksimal mereka meskipun memerlukan waktu dan cara yang berbeda.

Dan mengatasi ketimpangan dalam kelas tidak hanya meningkatkan hasil belajar siswa, tetapi juga memperkaya pengalaman saya sebagai pendidik yang berkomitmen untuk terus belajar dan berkembang.

Studi Kasus #2: Semangat Belajar Siswa yang Rendah

Sebagai guru PPKn di jenjang SMA, saya menghadapi tantangan dalam membangun semangat belajar siswa kelas XI yang cenderung pasif saat pembelajaran berlangsung. Kondisi ini mencuat ketika saya mengajarkan materi "Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional", yang dinilai siswa sebagai topik yang abstrak dan jauh dari kehidupan mereka.

Banyak dari mereka yang hanya duduk diam, menjawab sekadarnya, bahkan beberapa sibuk dengan gawai. Situasi ini membuat saya merenung: bagaimana mungkin siswa memahami pentingnya wawasan kebangsaan jika mereka tidak merasa terhubung dengan materi?

Saya memutuskan untuk melakukan pendekatan berbeda dengan mengintegrasikan pembelajaran kontekstual berbasis isu aktual. Saya memulai dengan merancang skenario pembelajaran berbasis studi kasus konflik perbatasan, seperti polemik Laut Natuna Utara. Dalam kegiatan awal, siswa saya ajak menonton video berita terkini, membaca artikel daring, lalu mendiskusikan siapa saja aktor yang terlibat, dampaknya terhadap Indonesia, serta peran generasi muda dalam menjaga kedaulatan.

Saya tidak lagi berdiri sebagai pusat informasi, tetapi mengarahkan siswa dalam diskusi kelompok, debat mini, hingga simulasi rapat keamanan negara. Pembelajaran berubah menjadi ruang dinamis yang hidup, dan siswa mulai menunjukkan partisipasi aktif.

Hasilnya mengejutkan sekaligus menggembirakan. Dalam asesmen formatif berbasis proyek, sebagian besar siswa mampu menyampaikan solusi kritis terhadap kasus nyata yang dibahas, lengkap dengan argumentasi dan data pendukung. Nilai rerata kelas meningkat, tetapi yang lebih penting, sikap mereka terhadap pelajaran PPKn ikut berubah.

Beberapa siswa bahkan menyampaikan bahwa mereka kini mulai memahami bagaimana ilmu kewarganegaraan itu relevan dengan kehidupan sehari-hari. Saya pun mendapatkan gambaran lebih utuh tentang potensi siswa, termasuk mereka yang sebelumnya pasif ternyata memiliki ketertarikan tinggi pada isu geopolitik.

Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa seorang guru harus peka membaca arah minat siswa dan berani keluar dari pola konvensional. Pembelajaran bukan sekadar menyampaikan materi, melainkan menciptakan makna yang membekas dan membentuk karakter.

Dengan mengaitkan pembelajaran pada realitas, siswa tidak hanya belajar untuk tahu, tapi juga untuk peduli dan bertindak. Studi kasus ini mempertegas bahwa profesionalisme guru terletak pada kemampuannya untuk terus berinovasi, beradaptasi, dan merangkul keberagaman potensi siswa sebagai aset utama dalam proses pendidikan.

Studi Kasus #3: Ketidaktertarikan Siswa untuk Belajar

Sebagai guru IPS di kelas VIII, saya menghadapi tantangan ketika menyampaikan materi tentang Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Mayoritas siswa tampak kurang tertarik, bahkan sebagian menganggapnya sebagai pelajaran hafalan semata.

Ketika saya ajukan pertanyaan dasar, seperti "Apa peran Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam?", hanya segelintir siswa yang mampu menjawab. Suasana kelas pun terasa pasif, dan keterlibatan mereka sangat minim.

Setelah melakukan refleksi dan diskusi dengan rekan sejawat, saya menyadari bahwa metode ceramah yang saya gunakan kurang efektif untuk membangkitkan minat belajar mereka. Siswa membutuhkan cara belajar yang lebih aktif dan menyenangkan agar materi terasa lebih bermakna dan mudah diingat.

Saya kemudian merancang pendekatan pembelajaran berbasis role-play (bermain peran) yang mengajak siswa untuk memerankan tokoh-tokoh sejarah Islam di Nusantara. Setiap kelompok saya tugaskan meneliti dan memerankan satu tokoh, seperti Sultan Malik As-Saleh, Sunan Ampel, atau Sultan Hasanuddin, lengkap dengan narasi dan kostum sederhana dari bahan yang mereka miliki di rumah.

Dalam dua pertemuan, siswa mempresentasikan tokoh mereka di depan kelas dengan penuh semangat. Mereka berakting, berdialog, bahkan ada yang membuat mini-drama tentang proses dakwah dan interaksi tokoh tersebut dengan masyarakat. Kelas yang awalnya pasif berubah menjadi hidup, ramai, dan penuh antusiasme.

Hasil penilaian menunjukkan peningkatan yang signifikan, baik dari aspek pengetahuan maupun keterampilan. Siswa yang semula pasif ternyata mampu menyampaikan informasi sejarah secara runut dan kreatif. Bahkan, hasil kuis pasca kegiatan menunjukkan rata-rata nilai kelas naik 18 poin dibanding sebelum metode ini diterapkan.

Lebih dari itu, siswa menjadi lebih percaya diri, berani berbicara di depan umum, dan memahami sejarah tidak sekadar sebagai masa lalu, tetapi sebagai pembentuk jati diri bangsa. Banyak dari mereka yang mengatakan belajar sejarah jadi lebih menyenangkan dan mudah dipahami.

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa pembelajaran yang bermakna tidak selalu harus serius dan kaku. Justru melalui pendekatan kreatif seperti bermain peran, siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis, komunikasi, dan kerja sama, yang sangat penting di era sekarang.

Sebagai guru profesional, saya menyadari pentingnya terus berinovasi dan mengevaluasi strategi pembelajaran. Siswa bukan hanya objek belajar, tetapi mitra aktif dalam proses pendidikan.

Ketika guru mampu menyentuh cara belajar yang sesuai dengan karakter siswa, maka proses pendidikan akan lebih menyenangkan, bermakna, dan berdampak jangka panjang.

Studi Kasus #4: Masalah Konsentrasi Siswa dengan Kondisi ADHD

(sumber: laman SMP Negeri 1 Kurun)

Seorang siswa di kelas saya memiliki Attention Deficit Hyperactivity Disorder yang membuatnya sulit untuk berkonsentrasi dalam pembelajaran. Siswa ini sering kali kehilangan fokus, bergerak tanpa henti dan sulit mengikuti instruksi. Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam memahami materi dan menyelesaikan tugas.

Saya menerapkan strategi pembelajaran yang dirancang khusus untuk siswa dengan ADHD. Salah satunya adalah memecah instruksi menjadi bagian-bagian kecil dan memberikan waktu istirahat singkat di antara sesi belajar.

Saya juga menyediakan fidget tool untuk membantu siswa ini mengalihkan energi tanpa mengganggu kelas. Selain itu, saya duduk bersama siswa tersebut dan membuat jadwal belajar yang fleksibel dan terstruktur.

Dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan interaktif, siswa tersebut mulai menunjukkan peningkatan dalam konsentrasi dan keterlibatannya di kelas. Ia menjadi lebih mampu mengikuti pelajaran dan menyelesaikan tugas dengan bantuan jadwal dan instruksi yang lebih terorganisir. Hasil belajarnya pun mengalami peningkatan.

Pengalaman ini mengajarkan saya pentingnya memahami kebutuhan khusus setiap siswa dan menyesuaikan metode pengajaran. Setiap siswa memiliki cara belajar yang unik dan dengan strategi yang tepat sehingga mereka semua dapat mencapai hasil yang lebih baik.

Studi Kasus #5: Suasana Kelas Tidak Kondusif

Sebagai guru PAUD, saya dihadapkan pada kondisi kelas yang sangat ramai dan tidak kondusif, terutama saat kegiatan pembelajaran bersama di pagi hari. Anak-anak berlarian, berceloteh keras, dan sulit diajak fokus mendengarkan instruksi.

Meskipun sudah diberikan arahan dengan suara lembut maupun tegas, kondisi tetap tidak terkendali. Kegiatan menyanyi dan bercerita pun kerap terganggu karena sebagian anak sibuk bermain sendiri.

Saya menyadari bahwa pada usia dini, anak-anak memang memiliki energi yang tinggi dan rentang perhatian yang pendek. Namun bila dibiarkan, suasana yang tidak kondusif ini berpotensi menghambat proses belajar anak lain yang lebih tenang. Saya perlu strategi yang tepat, bukan dengan menekan, tetapi mengarahkan energi mereka ke dalam aktivitas yang terstruktur.

Saya kemudian mencoba pendekatan ritual pagi berbasis gerak dan musik. Sebelum memulai pelajaran, anak-anak diajak melakukan kegiatan pemusatan perhatian melalui lagu-lagu sederhana dan gerakan berulang. Lagu "Tepuk Konsentrasi", "Tangan di Atas Kepala", serta sesi yoga anak berdurasi pendek menjadi pembuka kegiatan setiap pagi.

Selain itu, saya menyusun area kelas menjadi beberapa pusat kegiatan kecil dengan alat permainan edukatif, agar anak-anak bisa berpindah tempat secara bergiliran. Kegiatan pun disesuaikan dengan tema hari itu, namun tetap mempertimbangkan kebutuhan gerak dan variasi visual yang mereka sukai. Dengan pendekatan ini, energi anak tersalurkan, dan fokus mereka meningkat secara perlahan.

Setelah satu bulan penerapan, suasana kelas menjadi jauh lebih teratur. Anak-anak lebih siap memulai kegiatan, dan transisi dari bermain ke belajar menjadi lebih mulus. Mereka mulai hafal urutan kegiatan dan tampak menikmati lagu-lagu pembuka sebagai bagian dari rutinitas yang mereka tunggu-tunggu. Bahkan anak yang sebelumnya sangat aktif kini mampu duduk tenang lebih lama dari biasanya.

Rekan guru dan orang tua pun memberi umpan balik positif. Mereka melihat perubahan perilaku yang lebih tertib dan perhatian anak saat di rumah juga meningkat. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan yang tepat sesuai tahap perkembangan anak dapat memberikan dampak positif secara menyeluruh.

Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa menjadi guru PAUD bukan hanya soal mengajar, tetapi memahami kebutuhan tumbuh kembang anak secara menyeluruh. Suasana kelas yang kondusif tidak tercipta dari larangan atau teguran semata, tetapi dari lingkungan yang dirancang sesuai cara belajar anak-anak.

Sebagai calon guru profesional, saya meyakini bahwa fleksibilitas dan kreativitas dalam mengelola kelas adalah kunci utama dalam pendidikan anak usia dini. Dengan sentuhan empati dan metode yang menyenangkan, kelas yang awalnya penuh tantangan dapat menjadi ruang bermain-belajar yang positif, hangat, dan penuh makna.

Studi Kasus #6: Kesulitan Beradaptasi pada Anak Baru

(sumber: situs resmi SMP Negeri 1 Kurun)

Seorang anak baru di kelas PAUD saya mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Anak ini sering menangis menolak berpartisipasi dalam kegiatan dan selalu ingin ditemani oleh gurunya. Hal ini membuatnya sulit untuk bersosialisasi dengan teman-teman dan mengikuti pelajaran.

Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, saya mulai dengan memberikan perhatian khusus pada anak ini selama berminggu-minggu. Pertama, saya berusaha membangun kepercayaan dengan mendekati anak tersebut secara lembut.

Sering berbicara dengannya dan mengajaknya bermain dengan teman-teman yang lain. Saya juga melibatkan orang tua untuk berkolaborasi dalam proses adaptasi seperti membawa barang kesayangan anak ke sekolah atau menceritakan hal-hal yang disukai anak di rumah itu.

Setelah beberapa minggu anak tersebut mulai merasa lebih nyaman di sekolah dan ia mulai berpartisipasi dalam kegiatan kelas dan lebih mudah berpisah dengan orang tua saat diantar ke sekolah. Hubungan yang baik antara guru dan anak membantu anak tersebut merasa lebih aman dan percaya diri.

Pengalaman berharga ini mengajarkan saya pentingnya membangun hubungan yang positif dan penuh kepercayaan dengan anak. Terutama saat mereka menghadapi transisi besar, seperti masuk ke lingkungan sekolah baru. Dukungan emosional yang konsisten bisa membantu anak melalui masa adaptasi dengan lebih mudah.

Studi Kasus #7: Minat Membaca Siswa Terlalu Rendah

Permasalahan:

Di kelas IV tempat saya mengajar, saya menemukan bahwa sebagian besar siswa sangat malas membaca buku, bahkan buku cerita bergambar sekalipun. Mereka lebih tertarik bermain atau menonton video, dan saat diminta membaca, sering kali hanya membuka halaman tanpa memahami isinya. Ini membuat kemampuan literasi mereka rendah, bahkan saat ulangan harian pun banyak yang kesulitan memahami soal bacaan.

Upaya Penyelesaian:

Saya kemudian menciptakan "Sudut Baca Ceria" di pojok kelas, lengkap dengan bantal duduk, rak buku berwarna, dan poster tokoh favorit. Buku yang disediakan pun saya pilih sesuai minat anak-anak, seperti komik sains, dongeng lucu, dan kisah petualangan. Setiap hari, lima anak bergiliran duduk di sudut baca selama 10-15 menit sebelum pelajaran dimulai, tanpa paksaan, hanya diarahkan untuk menikmati bacaan.

Hasil yang Diperoleh:

Anak-anak mulai tertarik membaca karena suasana menyenangkan dan pilihan buku yang sesuai minat. Dalam dua minggu, mereka mulai saling bertukar cerita tentang buku yang mereka baca, bahkan ada yang membawa buku sendiri dari rumah. Nilai pada soal pemahaman bacaan juga meningkat perlahan.

Pengalaman Berharga:

Saya belajar bahwa menumbuhkan minat membaca pada anak SD tidak bisa dilakukan dengan tekanan, melainkan melalui pendekatan yang menyenangkan dan ramah anak. Guru harus kreatif menciptakan suasana belajar yang membuat anak jatuh cinta pada prosesnya, bukan hanya hasilnya.

Nah, itulah 7 contoh studi kasus PPG 2025 yang bisa detikers jadikan contoh. Semoga membantu, ya!




(sto/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads