Di wilayah Jawa, banyak masyarakat yang menggelar pernikahan pada bulan Dzulhijjah atau Besar. Namun, begitu memasuki Muharram atau Suro, hampir tidak ada pesta serupa yang diadakan. Hal ini berkaitan dengan larangan menikah di bulan Muharram yang dianggap tabu oleh masyarakat Jawa.
Muharram sendiri merupakan bulan pertama di dalam penanggalan Hijriah. Dalam kalender Jawa, Muharram dikenal dengan nama Suro. Kedua kalender ini memang berjalan beriringan, hanya saja terdapat sejumlah perbedaan dalam penamaan bulannya.
Lantas, apa yang membuat masyarakat Jawa mempercayai bahwa pernikahan sebaiknya tidak digelar saat Muharram? Mari simak penjelasan lengkap berikut ini!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Larangan Menikah di Bulan Muharram Menurut Kepercayaan Jawa
Larangan menikah di bulan Muharram atau yang dikenal sebagai bulan Suro dalam penanggalan Jawa masih diyakini oleh sebagian masyarakat sebagai sesuatu yang tabu. Kepercayaan ini menyebutkan bahwa menyelenggarakan hajatan di bulan Suro, termasuk pernikahan, dapat membawa kesialan atau malapetaka.
Dalam buku Panduan Syahadat karya Taufiqurrohman, dijelaskan bahwa keyakinan ini berakar pada adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun dan dijaga oleh masyarakat Jawa. Pandangan serupa juga dijelaskan oleh Masrukan Maghfur dan Ahmad Hafid Safrudin dalam publikasi ilmiah mereka yang menyatakan bahwa bulan Suro dianggap sakral dan penuh larangan termasuk larangan untuk mengadakan pernikahan.
Masyarakat Jawa menghormati larangan ini karena meyakini adanya risiko kesialan jika adat dilanggar. Kepercayaan tersebut bersumber dari tradisi lisan yang diwariskan oleh leluhur dan menjadi bagian penting dalam sistem kepercayaan Islam-Jawa. Dalam pandangan Islam-Jawa bulan Suro dipandang sebagai waktu yang mulia dan lebih sesuai untuk kegiatan spiritual serta introspeksi daripada perayaan seperti pernikahan.
Tradisi ini juga dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu-Jawa yang lebih dahulu hadir sebelum Islam berkembang di wilayah tersebut. Selain itu, mitos yang mengiringi larangan menikah di bulan Muharram turut dikaitkan dengan peristiwa sejarah seperti pembunuhan Nabi Ibrahim oleh Raja Namrud yang diyakini terjadi pada tanggal tiga belas Suro. Oleh karena itu, masyarakat Islam-Jawa cenderung menghindari kegiatan sakral di bulan ini.
Tidak Ada Waktu yang Buruk untuk Menikah Menurut Islam
Dalam buku Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam, Ali Manshur menyebutkan sebagian masyarakat Jawa meyakini bahwa menikah di bulan-bulan tertentu seperti Suro atau Muharram dianggap membawa kesialan. Kepercayaan serupa juga berlaku terhadap bulan Dzulqaidah yang dikenal dengan sebutan bulan Selo, di mana sebagian orang percaya bahwa jika menikah di bulan itu, maka bisa kemasukan hal buruk (kesesel barang olo).
Padahal, dalam Islam tidak ada ketentuan yang menetapkan adanya bulan-bulan buruk untuk melangsungkan pernikahan. Sebaliknya, Islam justru melarang umatnya untuk mempercayai hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 2:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوْا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامِ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan mengganggu binatang hadyu dan kalung-kalungnya, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya. (QS. Al-Maidah: 2)
Ayat ini menunjukkan bahwa bulan-bulan haram seperti Muharram justru memiliki kehormatan yang harus dijaga. Tidak ada keterangan bahwa bulan tersebut dilarang untuk menikah, sehingga kepercayaan yang menyebutkan sebaliknya tidak berasal dari ajaran Islam.
Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bahkan menikahi beberapa istrinya pada waktu-waktu yang dianggap biasa saja oleh masyarakat saat itu. Salah satunya adalah pernikahan beliau dengan Aisyah radhiyallahu 'anha yang terjadi di bulan Syawal. Hadits berikut diriwayatkan oleh Imam Muslim:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، وَاللَّفْظُ لِزُهَيْرٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُوْلِ اللَّهِ ﷺ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟ قَالَتْ: وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ
Artinya: Aisyah berkata, Rasulullah SAW menikahiku pada bulan Syawal dan membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal. Maka istri Rasulullah SAW manakah yang lebih mendapatkan perhatian selain aku? Aisyah biasa menikahkan para wanita pada bulan Syawal. (HR. Muslim no. 1423)
Selain itu, dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW juga menikahi Ummu Salamah di bulan Syawal:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَزَوَّجَ أُمَّ سَلَمَةَ فِي شَوَّالٍ
Artinya: Dari Abdul Malik bin Al-Harits bin Hisyam dari ayahnya, bahwa Nabi SAW menikahi Ummu Salamah pada bulan Syawal. (HR. Ibnu Majah no. 1991)
Dari kedua hadits ini, jelas bahwa Nabi SAW tidak pernah mengkhususkan atau menghindari waktu tertentu untuk pernikahan. Beliau menikah di bulan Syawal, yang justru menjadi bulan yang disenangi oleh Aisyah untuk menikahkan para wanita. Maka, tidak ada alasan dalam Islam untuk mempercayai bahwa ada waktu buruk untuk menikah. Segala waktu adalah baik jika niat dan amalnya juga baik.
Dengan demikian, kepercayaan yang melarang pernikahan di bulan Suro atau bulan lain seperti Muharram adalah bagian dari adat dan tradisi masyarakat, bukan berasal dari syariat Islam. Islam mengajarkan agar umatnya tidak takut kepada mitos atau kepercayaan turun-temurun yang tidak berdasar, melainkan kembali kepada dalil Al-Quran dan hadits dalam menetapkan keyakinan dan tindakan.
Demikian penjelasan mengenai larangan menikah di bulan Muharram menurut Islam serta kepercayaan Jawa. Semoga bermanfaat!
(sto/ahr)