Kisah pilu datang dari Trewu, mantan sinden di Kelurahan Krandegan, Kecamatan/Kabupaten Banjarnegara. Di usianya yang sudah lanjut, ia tinggal di rumah lusuh dengan dinding triplek dan potongan spanduk bekas.
Rumah yang ia tempati mungil, berukuran 9x3 meter. Tumpukan seng dan potongan spanduk bekas digunakan untuk atap rumah. Sedangkan dinding rumah menggunakan triplek, seng dan juga spanduk bekas.
Ditemui di rumahnya, Trewu terlihat tengah duduk dengan kruk atau alat bantu jalan yang tidak bisa jauh dari sisinya. Sebab untuk jalan, perempuan yang tidak ingat pasti berapa usianya ini sudah kesulitan. Salah satunya karena dulu sempat jatuh tertabrak angkutan.
"Dulu pernah jatuh ketabrak angkot. Jadi untuk jalan kadang memakai ini (kruk)," ujarnya saat ditemui di rumahnya, Selasa (10/6/2025).
Rumah dengan lantai tanah ini memiliki tiga ruangan yang dibatasi dengan kain lusuh. Dua di antaranya adalah kamar, satu kamar miliknya, satunya kamar yang digunakan anaknya saat pulang ke rumah. Sedangkan satu ruangan lagi adalah jalan untuk ke kamar mandi yang berada terpisah dari rumah atau berjarak sekitar 2 meter.
"Saya di sini sama anak saya, kadang pulang kadang nggak. Tapi kalau pas libur anak dan cucu saya yang di Banyumas pada ke sini," katanya.
Saat hujan tiba, Trewu hanya bisa pasrah. Pasalnya, beberapa atap rumahnya bocor. Belum lagi air yang masuk dari luar rumah. Bahkan, kadang ia terpaksa memakai jas hujan untuk tidur agar badannya terasa hangat.
"Ya bocor, kalau pas bocor tidur aja. Kadang pakai mantel agar lebih hangat," kata dia.
Saat ini, untuk mencukupi kehidupannya, nenek 4 cucu ini pergi mengamen. Keahliannya bernyanyi Jawa ini digunakan untuk keliling kota mencari rupiah demi rupiah.
"Saya itu dulu sinden lengger, sekarang ya kadang pergi ngamen keliling. Kalau nggak cari kayu bakar di kebun," ucapnya.
Ia mengaku hasil mengamen ini tidak seberapa. Saat ramai, dalam sehari Trewu bisa membawa pulang uang Rp 70 ribu. Namun saat sepi hanya Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu.
"Kalau ramai bisa Rp 70 ribu sehari. Tapi kalau sepi ya Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu, tidak mesti," ungkapnya.
Dari hasil ngamennya yang tidak seberapa ini, ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Selain itu juga untuk membayar biaya sewa tanah. Mengingat tanah yang ia tempati adalah milik PT KAI.
"Ini memang bukan tanah saya, yang saya tempati ini tanah milik PT KAI. Sewanya setahun Rp 1,5 juta," sebutnya.
(apu/afn)