Aliansi massa petani asal Pundenrejo, Kabupaten Pati menggelar aksi di Polda Jawa Tengah (Jateng). Mereka juga melaporkan dugaan tindakan pengrusakan fasilitas warga dan intimidasi oleh kelompok yang diduga suruhan PT LPI.
Aksi yang digelar di Mapolda Jateng, Kecamatan Semarang Selatan itu diikuti sejumlah petani Pundenrejo serta massa dari mahasiswa di Kota Semarang. Para petani itu datang membawa poster bertuliskan 'Jangan Ambil Tanah Kami', 'Dadi Siji Usir PT LPI', 'Kami Bersama Petani Pundenrejo'.
Salah satu perwakilan petani, Sarmin (45), menyampaikan aksi dilakukan karena warga sudah tidak lagi merasa aman di kampung mereka sendiri. Mereka meminta aparat kepolisian dan pemerintah pusat untuk menyelesaikan konflik tanah yang telah berlangsung bertahun-tahun itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami datang harapannya tanah yang konflik di Pundenrejo biar cepat selesai. Kami minta kepolisian Polda Jateng bisa segera menindaklanjuti permasalahan ini dengan seadil-adilnya," kata Sarmin di Mapolda Jateng, Senin (28/4/2025).
Sarmin mengungkapkan, saat ini sekitar 100 kepala keluarga di Pundenrejo sedang memperjuangkan tanah garapan mereka seluas sekitar 7,3 hektare. Tanah tersebut selama ini menjadi sumber kehidupan utama warga, yang ditanami berbagai jenis tanaman seperti singkong dan pisang.
"Kiranya permasalahan kami rakyat kecil bisa terselesaikan dan hak-hak kami juga dipikirkan, selama ini kami diintimidasi, dirusak preman-preman LPI," jelasnya.
Petani perempuan Pundenrejo, Sumiyati (55), menuturkan sejak 27 April lalu, intimidasi terhadap warga makin gencar dilakukan. Hal ini yang membuat warga semakin kesulitan dan memutuskan melapor ke Polda Jateng.
"Kami minta Polda Jateng menyelesaikan masalah di Pundenrejo," jelasnya.
Perusakan tidak hanya menyasar aup-aupan, tetapi juga tanaman-tanaman warga. Kejadian tersebut menimbulkan kerugian material yang cukup besar, selain dampak psikologis berupa trauma berkepanjangan.
"Setiap hari kami didatangi aparat. Susah, takut, orang desa didatangi orang berseragam itu takut. Aup-aupan dirusak, (preman) berkeliling menakuti warga," kata Sumiyati.
Ia mengatakan, warga telah mendirikan aup-aupan atau rumah joglo sederhana pada 1 Maret lalu sebagai simbol perjuangan mempertahankan tanah mereka. Namun, pada 13 Maret, fasilitas tersebut dirusak sekelompok orang tak dikenal yang datang menggunakan lima truk.
"Rumah warga juga rusak, tapi yang dilaporkan perusakan aup-aupan dulu. Yang dikerahkan preman ada lima truk saat merusak aup-aupan," ujarnya.
Pengacara publik dari LBH Semarang, M Safali, yang hadir mendampingi petani untuk melaporkan dugaan tindak pidana perusakan ke Polda Jateng mengatakan, dalam laporannya, ia menyebut kerugian akibat perusakan aup-aupan warga mencapai kurang lebih Rp10 juta.
"Kami mencatat kurang lebih kerugian Rp 10 juta, selain itu kerugian yang dialami warga adalah soal materiel, yaitu psikologis warga, rasa takut yang tidak ternilai," terangnya.
Menurut Safali, laporan yang diajukan sudah dilengkapi dengan bukti berupa video dan foto-foto kejadian. Pihak Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Polda Jateng sudah menerima laporan, tetapi masih meminta rincian tambahan terkait nilai kerugian dan bukti-bukti lainnya.
"Kemudian nominalnya dipecah, seperti pembelian genting, kayu, dan kerugian lainnya. Pihak Polda tetap menerima, tapi tidak memberikan surat SP2HP, tapi nanti akan diteruskan ke Reskrimum Polda Jateng," ungkapnya.
Selengkapnya baca di halaman berikut.