Kawan Dengar Unnes, Tempat Konseling Gratis demi Kesehatan Mental

Kawan Dengar Unnes, Tempat Konseling Gratis demi Kesehatan Mental

Ardian Dwi Kurnia - detikJateng
Minggu, 27 Okt 2024 15:07 WIB
ilustrasi konseling
ilustrasi konseling. Foto: thinkstock
Semarang -

Gangguan kesehatan mental seperti rasa cemas yang menumpuk hingga menjadi depresi acap melanda anak muda seperti mahasiswa. Berbagi cerita jadi salah satu solusi untuk meringankannya, bisa ke orang terdekat atau psikolog. Bisa juga menghubungi Kawan Dengar di Semarang.

Awal Berdirinya Kawan Dengar

Kawan Dengar adalah komunitas konseling sebaya yang didirikan mahasiswa Psikologi dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada 10 Mei 2019. Sempat vakum, komunitas ini kembali giat menggelar kegiatan konseling untuk sebaya dan edukasi tentang kesehatan mental sejak 10 Oktober 2022.

Ketua Kawan Dengar, Adhim Saputra, mengatakan komunitas Kawan Dengar berawal dari mata kuliah dasar-dasar konseling dan psikoterapi di Unnes yang menugaskan mahasiswa mencari klien dengan permasalahan yang sudah ditentukan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"(Selain mencari klien) Menyikapi juga kejadian bunuh diri yang waktu itu sempat viral. Terus akhirnya aku sama teman-teman menggali ide dan tercetus tagline Semua Cerita Layak Didengar," kata Adhim saat ditemui detikJateng di Semarang, Senin (14/10/2024).

Adhim dan teman-temannya di Kawan Dengar menjadikan komunitas itu sebagai tempat konseling dan layanan curhat.

ADVERTISEMENT

"Setiap orang rasanya nggak punya ruang aman untuk bercerita, karena terkadang sependiam apapun, semalas apapun kita bercerita, kita butuh ruang untuk didengar," ujar dia.

Tentang Konseling Sebaya

Adhim mendefinisikan konseling sebaya sebagai layanan konseling dengan konselor dan kliennya masih seumuran, rentang usianya 17-23 tahun.

"Layanan konseling itu pendekatan dari hati ke hati, dengan teman-teman bercerita permasalahannya, buat memahami permasalahan yang ada di hati klien. Kita juga memberikan pemahaman bahwa sesi konseling ini bukan memberi saran, tetapi menyelesaikan masalah secara bersama. Apa yang jadi masalahmu, kita diskusikan dan cari solusinya bareng-bareng," ujar Adhim.

Jika ada klien berumur di atas 23 tahun yang ingin melakukan konseling, Kawan Dengar akan memberikan rujukan ke psikolog atau psikiater.

Meskipun para konselor sebaya ini masih mahasiswa, mereka telah mengikuti serangkaian pembekalan dan pelatihan dari psikolog. Mereka juga telah mengantongi sertifikat. Selain itu juga ada supervisi dari dosen. Maka itu peer counseling lebih terjamin dibandingkan dengan sekadar curhat ke teman.

"Konseling itu kita ada tekniknya, tata caranya, tingkah lakunya harus seperti apa, dan ada intervensi yang kita ajarkan berdasarkan refleksi dari dirinya (klien) sendiri," ucap Adhim.

Kampanye Kesehatan Mental

Kawan Dengar digerakkan oleh puluhan pengurus dan ratusan relawan. Mereka punya dua program utama, yaitu konseling sebaya dan edukasi kesadaran (awareness) kesehatan mental.

Mereka gencar mengkampanyekan isu kesehatan mental di lingkungan Unnes hingga ke ruang publik seperti CFD Simpang Lima Semarang.

"Kawan Dengar punya pengurus 30-50 orang yang sudah ada surat tugasnya. Kita juga punya volunteer dalam acara campaign mencapai 400-an orang, terdiri dari angkatan 2022 dan 2023," ungkap Adhim.

Mereka juga sering membuka booth dengan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan mental. Ada berbagai kegiatan di booth Kawan Dengar.

"Di booth itu ada 'negatif fire', menuliskan permasalahan yang belum selesai lalu dibakar. Harapannya menjadi reduksi dia punya masalah. Ada juga 'blind hug', matanya ditutup terus meluk dengan tujuan penguatan batin perasaan dari hati ke hati," jelas Adhim.

"Ada juga give and take emotion, menuliskan perasaanmu terus ditempel. Ada juga sticky notes yang dikasih buat orang lain," tambahnya.

Kawan Dengar juga aktif mengampanyekan isu kesehatan mental di dunia maya. Mereka punya anggota yang khusus menanggapi keluhan mahasiswa di media sosial. Mereka juga mengunggah konten-konten tentang kesehatan mental di X dan Instagram, sebagian mengutip kata-kata psikolog.

"Kita memasifkan di X, biasanya di Unnes Menfess itu ada (unggahan) 'ness lagi pusing banget, pengen cerita tapi bingung ke siapa', itu ada tim yang harus komen, 'bisa loh cerita ke kita'. Kalau di Instagram kurang lebih sama, biasanya di (akun) Pesan Unnes ada (unggahan) yang seperti itu dan kita harus komen," ungkap Adhim.

Tentang toxic relationship di halaman selanjutnya.

Konseling di Kawan Dengar

Koordinator Konselor Kawan Dengar, Dhita Suparmi menjelaskan layanan konseling sebaya dari Kawan Dengar bisa diakses gratis oleh mahasiswa dan masyarakat umum dengan rentang usia 17-23 tahun. Dalam satu sesi, klien bisa dilayani oleh konselor dengan durasi 1-1,5 jam.

"Layanan konseling di Kawan Dengar ada 7-10 konselor. Cara daftarnya bisa lewat link di Instagram Kawan Dengar, dia bisa memilih konselornya siapa dan jadwalnya kapan sesuai dengan waktu kosongnya si klien. Satu sesi konseling 60-90 menit. Satu klien bisa mendapatkan tiga kali sesi konseling," kata Dhita.

Dhita menyebut alasan konseling maksimal tiga kali supaya tidak menimbulkan ketergantungan klien dengan konselor dan menghindari kepentingan lain di luar konseling.

"Takutnya klien berpikir masalahku akan selesai kalau sama dia (konselor). Sedangkan di sesi konseling ini kita merefleksikan kepada teman-teman buat bisa menyelesaikan masalahnya sendiri," jelas Dhita.

"Kalau lebih dari tiga sesi khawatirnya dia merasa nyaman, padahal nyaman itu suatu hal yang nggak boleh dalam hal konseling. Takutnya nyamannya itu dalam hal di luar konseling, karena di Kawan Dengar tidak ada hubungan antara konselor sama klien kecuali di ruangan konseling," tambahnya.

Meski demikian, Dhita menyadari masalah klien tak selalu rampung setelah sesi ketiga. Sehingga, ada beberapa opsi lanjutan yang bisa dilakukan oleh klien.

"Kita kembalikan lagi ke kliennya, apa yang sebenarnya menjadi penghambat dia belum bisa menyelesaikan permasalahannya. Misal permasalahannya terlalu berat dan ada unsur-unsur klinis, kita bisa arahkan untuk langsung ngerujuk ke psikolog," ujar Dhita.

Tapi jika klien hanya ingin ceritanya didengar dan sangat membutuhkan layanan itu, konseling bisa dilanjutkan dengan model yang berbeda. Hal itu untuk menghindarkan ketergantungan dan kelekatan.

Konseling di Kawan Dengar bisa secara online via Zoom dan offline atau bertemu di Fakultas Psikologi Unnes. Kebanyakan klien mereka meminta konseling offline.

"(Konseling offline) Di laboratorium Psikologi A105 dan 205. Ada spot agak pojok yang tertutup, ada AC, ada bangku berhadap-hadapan tanpa meja," kata Dhita. Ruangan yang cukup luas buat dua orang itu ditata sedemikian rupa sehingga nyaman buat konseling, lengkap dengan pengarum aroma apel.

Jadwal konseling di Kawan Dengar tiap Senin-Jumat, maksimal sampai pukul 20.00 WIB. Lebih dari itu, mereka tetap menanggapi lewat media sosial dengan memberikan penguatan dan pengertian.

"Pernah juga ada yang menghubungi admin bilang 'aku butuh banget' itu jam 11 malam. Kita tetap membalas dengan memberikan penguatan dulu dengan menyampaikan kalau kita memahami kondisi dia dan meminta dia bercerita dulu," ucap Adhim.

Setelah itu, orang tersebut diarahkan untuk mendaftar dan esok harinya langsung hadir.

Puluhan klien beda kasus tiap bulan

Kawan Dengar bisa menangani 15-30 klien setiap bulan. Mereka tahu ada Kawan Dengar dari media sosial dan dari mulut ke mulut. Masalah kliennya kebanyakan soal hubungan asmara.

"Paling sering ke aku ini masalah relationship di perkuliahan. Karena saat berkuliah dan merantau, kasih sayang ketika di rumah itu tidak bisa didapatkan. Sehingga ada yang mencari pacar, berlanjut sampai menimbulkan kelekatan hingga ada kecenderungan buat toxic relationship," ungkap Adhim.

Hubungan asmara yang tidak sehat itu seperti pacar yang mengekang kebebasan hingga melakukan kekerasan fisik. Selama menjadi konselor sebaya, Adhim pernah menangani beberapa kasus semacam itu. Semua korbannya perempuan.

"Toxic relationship itu dimulai dari pasangan yang posesif, mengekang, hingga membuat kebebasan klien-klienku in terkunci. Aku punya empat klien, cewek semua, itu semua punya pengalaman kekerasan dari pasangannya," jelasnya.

Adhim menceritakan, pernah ada satu klien perempuan yang selalu mengantongi gunting buat jaga-jaga karena sering dianiaya pacarnya. Dia mengaku sudah beberapa kali mengalami luka fisik.

Dhita menambahkan, melepaskan diri dari hubungan yang tidak sehat itu tak tidak mudah. Banyak stimulus yang dilakukan pelaku untuk menjebak korban agar tetap bertahan.

"Kebanyakan korbannya itu perempuan, salah satu faktornya ya jebakan dari si cowoknya. Misal dalam kasus si perempuan sudah melakukan sedemikian rupa untuk si laki-lakinya, kemudian dia memberikan omongan yang secara nggak langsung menanamkan di alam bawah sadar si perempuan kalau dirinya sudah tidak berharga lagi dan hanya laki-laki ini yang mau menerima," ungkap Dhita.

Untuk bisa lepas dari hubungan yang toxic, kata Dhita, seseorang harus punya kesadaran dan kemauan besar untuk mengakhiri hal itu. Setelah itu, disarankan datang ke psikolog atau layanan konseling untuk mencari solusi bersama dengan konselor.

"Kan bisa dikatakan bahwa kognitif atau otaknya dia sudah bermasalah karena sudah di-brainwash, itu kalau dalam sesi konseling atau sama psikolog bisa pakai teknik cognitive behaviour therapy, untuk mengarahkan kognitifnya menjadi lebih positif lagi," imbuhnya.

Tentang klien yang hendak akhiri hidup di halaman selanjutnya.

Dampingi klien yang hendak akhiri hidup

Disinggung soal maraknya kasus bunuh diri, Adhim mengatakan ada beberapa pemicunya. Di antaranya karena punya gangguan kesehatan mental seperti stres, trauma, depresi, penyakit seperti skizo dan bipolar. Bisa juga karena penyalahgunaan narkoba dan minuman keras.

"Selain itu juga ada masalah sosial yang dialami, di kasus belakangan ini yaitu tentang masalah pinjol (pinjaman online) dan judol (judi online)," kata Adhim.
Adhim bilang, seseorang yang punya kecenderungan gangguan mental dan berpotensi bunuh diri bisa dilihat dari perubahan perilakunya.

Mereka juga gemar menyakiti diri sendiri dengan anggapan luka itu tak lebih berat dari masalahnya. Menurut dia, mereka sebenarnya pengin menarik diri dari masalah tapi tidak punya solusinya.

"Gejalanya biasanya dia isolasi diri dari lingkungan sosial dan perubahan emosional. Terus ada perubahan pola tidur karena overthinking yang berlarut-larut biasanya. Beberapa klienku awal mulanya juga gangguan tidur, kesepian yang mendalam, nggak punya ruang aman bercerita. Itu menjadi indikasi buat melakukan bunuh diri," ujarnya.

Ruang aman untuk bercerita penting dimiliki setiap orang. Pernah ada klien Adhim yang sudah melakukan percobaan bunuh diri karena tak punya tempat bercerita. Beruntung orang itu bisa diselamatkan di puskemas setempat.

"Aku punya klien yang punya kecenderungan buat self harm terus dan akhirnya mencoba mengakhiri hidup. Dia sudah chat ke teman-temannya bilang intinya pengin bunuh diri, tapi responsnya ngebanyol, bilang silakan aja, apa sih bunuh diri, gitu. Akhirnya beneran dia melakukan percobaan," ungkap Adhim.

"Setelah itu dia hadir di layanan konseling kami dan aku menyadari untuk mengisi kekosongan dia karena nggak punya tempat cerita. Ternyata dia merasa cukup puas dan pengin daftar ke sesi berikutnya," sambungnya.

Tips menyikapi keluhan dan kabar bunuh diri di medsos

Jika ada seseorang yang sedang menceritakan masalah hidupnya di media sosial, Adhim meminta warganet untuk bijak dalam merespons. Yaitu memberikan tanggapan yang menguatkan dan mengarahkan seseorang itu untuk datang ke konselor.

"Karena kita tidak memahami apa yang dia alami, berikan penguatan dulu bahwa memang apa yang dia alami itu berat. lalu berikan afirmasi positif, kemudian tonjolkan layanan konseling seperti misalnya ada nih Kawan Dengar kalau kamu nggak ada teman cerita," jelas Adhim.

Jika tidak bisa merespons dengan baik, menurut Adhim, hal yang lebih baik dilakukan ialah diam.
"Jangan menghakimi karena kita tidak memahami yang dia alami itu seberat apa. Meskipun bagi kita mungkin itu sesuatu yang sepele, untuk orang lain belum tentu demikian," tegasnya.

Adhim juga bilang, perlu hati-hati ketika mendapat informasi tentang peristiwa bunuh diri. Membaca kronologi bunuh diri di media juga bisa membuat pembacanya secara tidak sadar mengaitkan penyebab yang dihadapi si korban dengan permasalahan dirinya sendiri.

"Baiknya kita cukup tahu ada kejadian bunuh diri tapi tidak perlu memahami permasalahannya, karena alam bawah sadar kita itu mengolah atau mencocok-logikan permasalahan tersebut dengan diri kita," kata Adhim.

"Misalnya ada yang bunuh diri karena terlilit utang, ternyata kita juga, itu bisa memicu. Sebaiknya jangan membaca secara full permasalahan dia seperti apa, khawatir ada kerentanan itu," imbau dia.

Adhim juga berharap agar kabar tentang bunuh diri, termasuk visual kondisi korban, tidak dibagikan secara masif di media sosial.

"Itu bisa menjadi efek domino, ketika ada orang yang rentan bunuh diri lihat ada kabar bunuh diri terus dia bisa ikutan juga," pungkasnya.

Artikel ini ditulis Ardian Dwi Kurnia peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.

Halaman 2 dari 3
(dil/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads