Presiden Prabowo resmi melantik para menterinya dalam kabinet yang dinamakan Kabinet Merah Putih. Total, ada 48 Menteri, 56 wakil Menteri, dan 5 kepala badan.
Jumlah itu lebih banyak dari kabinet pemerintahan Jokowi-Ma'ruf yang hanya memiliki 34 menteri dan 17 wamen. Pakar dari Universitas Diponegoro (Undip) sekaligus Ketua Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan, FISIP Undip, Nur Hidayat Sardini, sangsi komposisi yang dinilai terlalu gemuk ini akan berjalan efektif.
"Soalnya adalah bagaimana membagi jobdesk-nya, mengisi orang-orang sesuai dengan jobdesk, itu perlu memakan waktu. Belum kita bicara tentang apakah itu orang yang tepat atau tidak," terang Nur Hidayat, saat dihubungi detikJateng, Senin (21/10/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria yang akrab disapa NHS itu juga menyoroti banyaknya kementerian yang kini dipecah menjadi 2-3 kementerian. Hal ini tentu berpotensi memunculkan tumpang tindih kewenangan dan implikasi pembengkakan anggaran.
"Integrasi dan disintegrasinya memerlukan waktu. Padahal kalau capaiannya adalah 100 hari pertama sebagai titik letak dasariannya, maka akan menimbulkan himpitan-himpitan yang secara fungsionalitas juga memengaruhi lembaga lain," tuturnya.
Pria yang sempat menjabat sebagai Ketua Bawaslu RI masa jabatan 2008-2011 itu menyebut pembangunan struktur baru dalam sebuah lembaga bukan hal yang mudah. Perlu proses cukup lama hingga sebuah lembaga dapat dikatakan efisien.
"Saya lihat (kabinet Prabowo) kecenderungannya penggemukan, penambahan struktur, tidak pengayaan fungsi. Maka saya kira 100 hari pertama kalau akan dijadikan target bulan madu pemerintahan, agak sulit tercapai," paparnya.
"Saya menunggu apakah tantangan yang bejibun itu akan mampu diselesaikan dalam 100 hari pertama," lanjutnya.
Hal senada dikatakan pakar ekonomi Undip, Prof Nugroho Sumarjiyanto Benedictus Maria (SBM). Ia mengatakan, penambahan jabatan tentu beriringan dengan konsekuensi penganggaran. Risiko pembengkakan anggaran bisa muncul jika kabinet terlalu gemuk.
"Menurut saya Kabinet Merah Putih terlalu gemuk. Ini sebagai konsekuensi dari koalisi pendukung ketika kampanye Pilpres yang memang 'gemuk', sehingga balas jasanya diakomodasikan dengan diberi jatah menteri, wakil menteri, dan kepala badan serta wakil kepala badan," tuturnya.
"Jelas kabinet yang gemuk ini membawa konsekuensi pada pembengkakan anggaran di APBN. Padahal di sisi yang lain juga dibutuhkan anggaran untuk program makan bergizi gratis yang juga membutuhkan anggaran besar," lanjutnya.
Menurutnya, penambahan kementerian pada fase pemulihan ekonomi ini justru dapat menimbulkan masalah baru. Terlebih, pemerintah tengah membutuhkan anggaran cukup besar untuk program makan siang gratis hingga pemindahan ibu kota ke IKN.
"Yang dikhawatirkan nantinya dari mana sumber dana untuk menutup anggaran yang besar ini? Kemungkinannya ada beberapa, dari menambah utang luar negeri, menciptakan objek pajak atau cukai baru, atau menaikkan tarif pajak," terangnya.
"Yang menarik disorot adalah urgensi pemecahan kementerian menjadi 2-3. Menurut saya itu tidak perlu dilakukan, mungkin cukup direktorat jenderalnya yang menangani masalah," lanjut Nugroho.
Guru Besar Ilmu Ekonomi itu pun mendorong pemerintah agar dapat melakukan efisiensi. Contohnya dengan pengurangan fasilitas mobil dinas. Terlebih, mengingat gaji para menteri sudah termasuk tunjangan untuk biaya BBM.
"Langkah efisiensi misal dalam hal penggunaan mobil dinas bisa dilakukan. Toh dalam gaji para menteri sudah ada tunjangan untuk biaya BBM," katanya.
"Tunjukkan kerja nyatanya. Banyak masalah yang menunggu kerja nyata kabinet dan Presiden. Presiden bisa membereskan masalah yang hanya berdasarkan Kepres, misal ekspor pasir laut yang merugikan. Pak Prabowo bisa membatalkan kepres tersebut," jelasnya.
(afn/apl)