Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia sempat menggunakan sistem demokrasi liberal atau parlementer. Kabinet pun berganti berulang kali hingga akhirnya terbentuk Kabinet Zaken yang disebut sebagai Kabinet Djuanda pada 9 April 1957.
Zaken sendiri merupakan bahasa Belanda yang berarti bisnis, urusan, atau karya. Menurut Ensiklopedia Sejarah Indonesia, kabinet ini diberi nama zaken karena dibentuk tanpa melihat jumlah kursi di parlemen. Oleh karena itu, kabinet zaken juga kerap disebut sebagai kabinet extra parlementer.
Lantas, mengapa Kabinet Zaken disebut sebagai Kabinet Djuanda? Mari simak pembahasan lengkap yang dihimpun detikJateng dari laman Ensiklopedia Sejarah Indonesia serta buku IPS Terpadu Jilid 3A tulisan Sri Pujiastuti dkk berikut ini!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengapa Kabinet Zaken Disebut sebagai Kabinet Djuanda?
Satu-satunya alasan mengapa Kabinet Zaken disebut sebagai Kabinet Djuanda adalah pemimpinnya. Ya, kabinet terakhir di sistem parlementer Indonesia ini dipimpin oleh perdana menteri yang bernama Ir Djuanda Kartawidjaja.
Ir Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Darurat Ekstra-Parlementer yang dibentuk oleh Presiden Sukarno pada tanggal 9 April 1957. Proses ini dimulai setelah Perdana Menteri sebelumnya, Ali Sastroamidjojo, mengundurkan diri dan upaya formatur Soewirjo untuk membentuk kabinet baru gagal.
Dalam situasi politik yang penuh ketidakstabilan, Sukarno memutuskan untuk mengambil alih sebagai formatur dan membentuk kabinet baru yang tidak berbasis pada sistem parlementer yang ada saat itu. Kabinet Darurat Ekstra-Parlementer ini adalah langkah untuk mengatasi krisis politik dan membentuk pemerintahan yang dianggap lebih stabil.
Ir Djuanda, yang dikenal sebagai seorang teknokrat dan memiliki pengalaman luas dalam bidang pemerintahan dan perencanaan ekonomi, dipilih Sukarno untuk memimpin kabinet ini sebagai Perdana Menteri.
Sejarah Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda yang dikenal juga sebagai Kabinet Zaken, mulai bekerja pada 9 April 1957. Kabinet ini dibentuk oleh Ir. Djuanda Kartawidjaja, seorang teknokrat tanpa afiliasi partai politik. Keputusan ini diambil karena kebutuhan akan kabinet yang didasarkan pada kecakapan dan profesionalisme, bukan kepartaian.
Program utama kabinet ini dikenal sebagai Panca Karya. Lima fokus utama mereka adalah membentuk Dewan Nasional, normalisasi keadaan Republik, melanjutkan pembatalan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), memperjuangkan Irian Barat, dan mempercepat pembangunan infrastruktur.
Pada Mei 1957, Dewan Nasional terbentuk dengan Presiden Sukarno sebagai ketua dan Ruslan Abdulgani sebagai wakil ketua. Dewan ini berfungsi sebagai badan penasihat dalam upaya pemerintah menstabilkan negara.
Selama masa kabinet, beberapa peristiwa penting terjadi. Pada 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Cikini. Sementara itu, kabinet menghadapi pemberontakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi, yang ditangani melalui operasi militer dan pemecatan para pemimpin pemberontak.
Kabinet juga mengatasi ketidakstabilan ekonomi dengan menghentikan impor beras dari negara-negara yang bersangkutan dan beralih ke Uni Soviet. Upaya ini mengurangi dampak sabotase PRRI-Permesta.
Kegagalan Dewan Konstituante dalam merumuskan UUD baru memicu ketidakpuasan Presiden Sukarno. Hal ini menyebabkan Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945.
Akibat Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda harus mengundurkan diri pada 24 Juli 1959. Ini menandai berakhirnya era demokrasi liberal dan awal dari era Demokrasi Terpimpin di Indonesia.
Itulah penjelasan lengkap mengapa Kabinet Zaken disebut sebagai Kabinet Djuanda. Semoga bermanfaat!
(par/apl)