Warga Mundu Klaten Sulap Kotoran Sapi Jadi Biogas, Tak Lagi Pakai LPG

Warga Mundu Klaten Sulap Kotoran Sapi Jadi Biogas, Tak Lagi Pakai LPG

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 21 Agu 2024 08:10 WIB
Kotoran Sapi Jadi Biogas
Foto: detikJateng/Arina Zulfa Ul Haq
Klaten -

Sedikitnya 40 warga Desa Mundu, Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten telah memanfaatkan kotoran sapi menjadi biogas. Lewat biogas, masyarakat bisa lepas dari ketergantungan LPG.

Klaten tak hanya terkenal sebagai daerah penghasil beras, tapi beberapa daerah juga dikenal sebagai sentra ternak sapi, salah satunya Desa Mundu. Begitu memasuki daerah tersebut, akan tampak sapi-sapi milik warga di kandang maupun halaman rumah.

Ternak sapi yang kebanyakan jadi sumber pendapatan warga itu pun tak hanya dimanfaatkan susu, daging, dan tenaganya. Limbah kotoran sapi yang biasanya hanya dibuang dan mencemari lingkungan, sudah 10 tahun ini diubah masyarakat menjadi energi biogas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu pengguna biogas sekaligus Ketua Kelompok Margo Mulyo Desa Mundu, Teguh Sutikno menjelaskan masyarakat setempat sudah mulai memanfaatkan limbah ternak sapi menjadi bahan baku alternatif biogas sejak 2014.

Bermula dari pelatihan oleh Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) yang hadir di tengah masyarakat. Sosialisasi terkait pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi biogas itu lantas menarik perhatian warga yang saat itu telah memiliki kesadaran akan pemanfaatan limbah kotoran sapi.

ADVERTISEMENT

"Awal mulanya program 2014, warga sebetulnya sudah sedikit paham biogas. Terus LPTP datang, menggelar pertemuan. Kelompok Margomulyo langsung semangat dan ingin tahu lebih lanjut," kata Teguh saat dihubungi detikJateng, Senin (19/8/2024).

Kotoran Sapi Jadi Biogas Foto: detikJateng/Arina Zulfa Ul Haq

LPTP yang saat itu bekerjasama dengan Aqua lantas memberikan pelatihan kepada masyarakat setempat yang kemudian dijadikan proyek percontohan pemanfaatan kotoran sapi menjadi biogas ini.

"Setelah pilot project, kelompok merespon dan minat banget punya biogas, karena satu paket. Kami kelompok peternak mengelola sapi perah, terus limbahnya bisa dimanfaatkan untuk masak, kompor, jadi memengaruhi kebersihan kandang juga," tuturnya.

Selain pelatihan, masyarakat setempat turut mendapatkan bantuan berupa tukang dan material untuk membuat biodigester atau alat yang digunakan untuk mengubah limbah organik menjadi biogas. Pendampingan juga dilakukan agar proyek berkelanjutan itu dapat terus berkembang di Desa Mundu.

"Bantuannya berupa barang, satu tukang, alat kecil atau sparepart. Total nilai bantuan kalau ditotal membutuhkan dana kisaran Rp 8-10 juta," jelasnya.

Proyek percontohan yang dilakukan itu lantas menarik minat masyarakat setempat. Para anggota Kelompok Margo Mulyo lantas membuat arisan untuk memudahkan anggotanya yang ingin menggunakan biogas.

Lama kelamaan, arisan biogas tak hanya diikuti anggota kelompok. Bahkan, warga yang tak tergabung dalam Kelompok Margo Mulyo tapi tertarik menggunakan biogas, juga mengikuti arisan tersebut.

Lewat perjalanan panjang itu, Teguh mengungkapkan, sudah ada sekitar 70 pengguna biogas, 40 di antaranya merupakan warga Dukuh Dungus. Ia pun menjelaskan cara pengolahan limbah kotoran sapi menjadi biogas yang kemudian dikonversi menjadi energi listrik.

Kotoran ternak dimasukkan dalam lubang untuk diaduk dengan air terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam kubah yang menjadi reaktor penghasil biogas. Gas yang dihasilkan itu kemudian dialirkan lewat pipa ke kompor di dalam rumah milik Teguh sebagai sumber bahan bakar.

Ukuran biodigester pun beragam, rata-rata biodigester milik warga Dukuh Dungus, Desa Mundu yakni bervolume 6-8 meter kubik. Dalam sehari, ada 10-20 kilogram limbah kotoran sapi yang kemudian bisa digunakan untuk memasak dan menyalakan lampu.

"Skala rumah tangga ukuran 6 kubik, dengan punya satu sapi, itu cukup untuk kebutuhan masak skala rumah tangga dengan anggota 3," terangnya.

"Ada manometer yang memperlihatkan kalau biodigester itu penuh, nanti nggak masuk. Banyak sedikitnya limbah itu tergantung isi dan pemakaian, kalau penuh kandungan biodigester nggak keluar," sambungnya.

Sebelum dimanfaatkan menjadi biogas, limbah ternak sapi sendiri dimanfaatkan peternak untuk menjadi pupuk organik. Kini, dengan adanya biogas, proses pengolahan limbah menjadi pupuk pun dirasa lebih efektif.

"Biogas itu keluar dari biodigetser bisa langsung dipakai, paling kalau mau dikeringkan itu satu minggu. Tapi sebelum pakai biogas, prosesnya dibolak-balik untuk menghilangkan gas metana kurang lebih satu bulan. Jadi dengan biogas, pengelolaan pupuk lebih efektif, lebih cepat untuk diaplikasikan di tanaman," paparnya.

Selama 10 tahun menggunakan biogas, Teguh pun sudah bisa menghemat puluhan ribu per bulan karena tak lagi ketergantungan dengan LPG untuk memasak. Ia hanya memakainya untuk keperluan mendadak.

"Manfaatnya dengan adanya biogas utamanya untuk menyalakan kompor sama lampu seperti petromak. Sebelum punya biogas pemakaian LPG warga itu kisaran 2-3 per bulan," jelasnya.

"Selama punya biogas cuma kadang-kadang dipakainya, bahkan bisa nggak menggunakan LPG sama sekali. Cuma ketika masak besar," imbuhnya.

Hal ini dibenarkan Wantini (47), warga Desa Mundu yang tengah memasak menggunakan kompor berbahan bakar limbah kotoran ternak sapi. Ia mengatakan, selama menggunakan biogas, LPG yang biasa ia beli 3 kali sebulan, baru bisa habis setelah sekitar 2 bulan.

"Ngirit LPG banget, karena jadi dipakainya cuma saat darurat. Memang untuk memasak lebih cepat pakai LPG, tapi ini (biogas) lebih hemat energi," tuturnya.

Ia juga mengaku lebih merasa aman saat memasak menggunakan bahan bakar biogas, meski pada awal penggunaan sempat tercium bau tak sedap dari biogas.

"Karena walaupun ini pernah bocor, tapi nggak sampai meledak. Jadi lebih aman, lebih tenang kalau pakai biogas. Pakai LPG kalau bocor kan meledak," ungkapnya.

Adapun, tak sembarang kompor bisa digunakan untuk biogas. Ada kompor tersendiri yang khusus dipakai menggunakan bahan bakar kotoran limbah sapi. Kompor biogas dua tungku miliknya itu pun awet dan hanya perlu perbaikan.

"Awalnya saya pakai kayu dan LPG, terus nyoba dulu pas awal biogas itu terus kok bisa menyala (kompornya). Terus diajak pakai biogas, pas awal buat masak air dan telur," tuturnya.

Pengiritan biaya LPG dan listrik itu juga dirasakan Harso Sumarto (83), warga Desa Mundu yang memiliki sapi 10 ekor. Ia sangat bersyukur karena mengikuti bantuan biogas yang diberikan LPTP sehingga bisa menghemat pengeluaran.

"Yang lain ada yang gelo (menyesal) karena nggak pakai, kalau sekarang saya yabcuma pakai LPG kalau darurat. Kalau biogasnya belum ngisi lagi," jelasnya.

"Biogas ini besar sekali manfaatnya, bisa untuk masak, lampu, hematnya banyak. Limbah sisanya juga bisa untuk pupur kering," imbuh dia.

Limbah kotoran sapi yang dulunya menumpuk, berujung untuk pupuk dan dibuang itu akhirnya bisa dimanfaatkan menjadi barang yang lebih bermanfaat. Dari kotoran sapi, biogas miliknya itu dapat menghidupi 4 rumah di Desa Mundu.




(ncm/ncm)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads