Kisah pilu dialami pasangan suami istri (pasutri) tuna netra Warsito (39) dan Uminiah (46). Keduanya terancam tak bisa menyekolahkan anaknya masuk ke jenjang SMA karena tak diterima di SMA negeri.
"Saya emang benar-benar belum mampu untuk menyekolahkan anak saya ke swasta sedangkan anak saya penginnya ke SMA," ujar Uminiah saat ditemui di rumahnya, Jalan Gondang Raya, Tembalang, Semarang, Kamis (4/7/2024).
Pasutri yang sehari-hari bekerja sebagai tukang pijat ini ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri karena SMA negeri di Jateng sama sekali tak ada pungutan. Dari segi jarak, sekolah yang dituju tak terlalu jauh sehingga bisa menghemat ongkos.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Anaknya penginnya ke SMA negeri, kalau bisa, nggak yang banyak pengeluaran termasuk untuk transport," lanjutnya.
Uminiah mengaku sudah bolak balik ke Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial agar anaknya bisa mendaftar melalui jalur afirmasi. Sayangnya, hal itu tak bisa dilakukan karena berdasar data di Dinas Sosial, keluarganya dianggap kategori rentan miskin atau P4 dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Dari verifikasi berkas kan ditanya mau masuk jalur apa saya bilang mau afirmasi katanya nggak bisa, ke di Disdik sama Dinsos juga nggak bisa katanya sistem. Udah verifikasi dua kali sampai waktunya mau habis, ke Dinsos dua kali, ke Disdik sekali, ke sekolah berkali-kali," jelasnya.
Menurutnya, keluarganya layak diprioritaskan di jalur afirmasi karena tak memiliki penghasilan menentu sebagai tukang pijat. Namun, keluarganya mendapat informasi bila ingin mengubah data di DTKS harus menunggu selama satu bulan.
"Kecewa saya mendengar sistem, sistem, sistem. Sistem yang bikin manusia masa nggak bisa diganti," tambahnya.
![]() |
Terpisah, Penasihat Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia (ITMI) Semarang, Zainal Abidin Petir, menyebut sudah mengadukan hal itu ke Dinas Pendidikan Jateng. Sebab, dia merasa keluarga itu masuk kategori miskin ekstrem yang harus diprioritaskan dalam PPDB.
"Bu Umi dan Pak Warsito itu harus masuk miskin ekstrem atau P1 karena secara kategori itu dia tidak punya rumah, penghasilannya tak menentu apalagi disabilitas tapi di DTKS punya Kemensos orang tua ini masuk P4, P4 itu orang yang tidak kategori miskin," ujar Zainal.
"Warga yang mestinya kategori ekstrim miskin atau P1 tidak masuk kategori tersebut, juga berdampak tidak mendapatkan bantuan sosial lainnya," sambungnya.
Respons Dinas Pendidikan
Sementara itu, Wakil Ketua PPDB Dinas Pendidikan Jateng, Sunarto menyebut pihaknya sudah menindaklanjuti hal ini. Dia bakal berupaya agar anak berumur 15 tahun itu tetap sekolah di tahun ajaran baru nanti.
"Kami sudah koordinasi dengan Dinsos sehingga nanti yang dilakukan tahap awal ini adalah validasi terkait dengan status DTKS di Dinsos, setelah itu kami akan menyiapkan skema terkait anak ini agar nanti tahun ajaran baru harus tetap sekolah. Terkait dengan sekolahmya kami nanti akan berkoordinasi dulu dan juga setiap perkembangan kami sampaikan ke pimpinan mana yang paling mungkin," kata Sunarto saat dimintai konfirmasi.
(ams/ahr)