- Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta Asal-usul Idul Adha Kisah Nabi Ibrahim Bertemu dengan Siti Hajar dan Melahirkan Nabi Ismail Kisah Nabi Ismail dan Munculnya Air Zam-zam Asal-usul Idul Adha, Momen Nabi Ibrahim Menyembelih Nabi Ismail
- Hikmah di Balik Perayaan Hari Raya Idul Adha 1. Mencurahkan Cinta kepada Allah SWT 2. Momen untuk Merenungi Sifat Diri 3. Hewan Kurban Akan Menjadi Saksi Amal Ibadah 4. Orang Berkurban Dibalas Kebaikan
Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sangat erat kaitannya dengan asal-usul perayaan Hari Raya Idul Adha. Perayaan Idul Adha biasa dilakukan oleh umat Islam dengan melaksanakan ibadah haji di Kota Mekah, Arab, dan melakukan kurban hewan.
Peringatan Idul Adha secara umum dilaksanakan pada tanggal 10 Zulhijjah menurut kalender Hijriyah. Pada tahun ini, Hari Raya Idul Adha akan dilaksanakan oleh kaum muslim pada tanggal 17 Juni 2024. Karena identik dengan kegiatan ibadah haji dan berkurban, banyak masyarakat Indonesia yang menyebut perayaan ini sebagai Lebaran Haji dan Lebaran Kurban.
Namun, selain ibadah haji dan berkurban, kaum muslim biasanya melaksanakan sholat ied secara berjamaah di waktu pagi pada perayaan Hari Raya Idul Adha. Umat Islam juga akan menjumpai Hari Tasyrik yang jatuh pada tanggal 11,12, dan 13 Dzulhijjah, tepat setelah Idul Adha.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sebuah peristiwa peringatan, tentu ada sebuah kisah yang menandai mengapa hal tersebut perlu diperingati atau dirayakan. Sama halnya seperti Hari Raya Idul Adha, terdapat sebuah kisah inspiratif dan menyentuh hati yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail.
Agar detikers mengetahui lebih lanjut bagaimana kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di balik asal-usul Hari Raya Idul Adha, berikut detikJateng sajikan informasi lengkapnya yang perlu disimak dengan baik.
Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta Asal-usul Idul Adha
Dirangkum dari laman Kementerian Agama (Kemenag) RI, Nahdlatul Ulama (NU), Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI, dan buku 'Kisah 25 Nabi & Rasul' karya Zaid Husein Alhamid, dijelaskan kisah kasih sayang Nabi Ibrahim dan berbaktinya Nabi Ismail kepada orang tua sehingga terjadilah Hari Raya Idul Adha sebagai berikut.
Kisah Nabi Ibrahim
Nabi Ibrahim dilahirkan dalam keluarga yang memiliki kedudukan besar di kalangan pemeluk agama Yahudi, Masehi, dan Islam pada masa lampau. Ayahnya bernama Azar pengrajin berhala atau patung yang kafir dan ibunya merupakan wanita beriman namun secara diam-diam.
Saat itu, Nabi Ibrahim hidup pada pemerintahan Raja Namrud yang kafir dan sangat anti dengan ajaran Islam. Kebanyakan masyarakat di sana waktu itu masih menganggap berhala sebagai Tuhan dan menyembahnya setiap saat.
Karena ketidakyakinannya terhadap ajaran dan kebiasaan yang dilakukan oleh penduduk sekitar, Nabi Ibrahim akhirnya menghancurkan dengan kapak berhala-berhala buatan ayahnya dan berhala di sekitar. Mendengar hal tersebut membuat Raja Namrud murka dan meminta Ibrahim segera menghadapnya.
Nabi Ibrahim mengklarifikasi tentang kebodohan yang diperbuat oleh Namrud dan pengikutnya. Ia berkata bahwa penghancur berhalanya adalah salah satu berhala yang terbesar di antara yang lain, jika tidak percaya ia menyuruh Namrud untuk bertanya kepada berhala tersebut.
Karena murka, akhirnya Namrud memerintahkan pasukannya untuk segera membakar Nabi Ibrahim secara hidup-hidup. Namun, atas mukjizat Allah SWT melalui malaikat Jibril, api yang dibakarkan kepada Nabi Ibrahim tidak terasa panas, melainkan menjadi dingin dan tidak membuatnya terbakar.
Menyaksikan hal tersebut, banyak masyarakat akhirnya tersadar dan mulai beriman kepada Allah SWT. Lain halnya dengan Namrud, ia tambah murka dan akhirnya mengusir Nabi Ibrahim keluar dari wilayah kekuasaannya. Mendengar hal tersebut, akhirnya Ibrahim segera pergi atau hijrah menuju tempat yang lebih baik dari sebelumnya.
Bertemu dengan Siti Hajar dan Melahirkan Nabi Ismail
Saat melakukan hijrah dari tempat asalnya menuju Mesir, Nabi Ibrahim bertemu dengan seorang wanita bernama Sarah yang merupakan putri dari pamannya. Keduanya akhirnya menikah dan menjalankan hidup sebagaimana mestinya.
Tak lama, Nabi Ibrahim bertemu dengan seorang hamba sahaya bernama Siti Hajar. Kemudian ia ingin memiliki seorang anak dan diketahui oleh istrinya, Sarah. Karena saat itu usia Sarah yang tidak lagi muda, akhirnya ia berdoa kepada Allah SWT agar Ibrahim segera dikaruniai anak dan ia mengizinkan Ibrahim menikah dengan Siti Hajar.
Setelah mereka menikah, tak lama Allah SWT memberikan mereka bayi laki-laki yang dinamai Ismail. Lalu, Nabi Ibrahim dan Siti Hajar serta putranya melakukan hijrah dari Mesir menuju Mekkah untuk menjaga hati Sarah.
Kisah Nabi Ismail dan Munculnya Air Zam-zam
Setelah Ismail lahir dari seorang ibu Siti Hajar, ia langsung mengikuti hijrah kedua orang tuanya menuju Mekah menunggangi unta. Saat perjalanan menuju tempat tujuan, banyak halangan dan rintangan yang dihadapi oleh keluarga kecil itu. Salah satunya saat Nabi Ibrahim harus meninggalkan istri dan anaknya di tengah gurun pasir yang sangat gersang.
Namun, karena perintah Allah SWT Hajar dan Ibrahim sepakat untuk melaksanakannya. Sebetulnya Siti Hajar merasa khawatir akan hal tersebut, karena ia hanya tinggal berdua dengan persediaan makanan dan minuman yang sangat sedikit. Sementara, saat itu mereka berada di padang pasir yang tidak ada tumbuhan di dalamnya.
Tibalah saat persediaan makanan dan minuman mereka habis, Hajar dan putranya, Ismail, merasa kehausan. Karena merasa bingung dan butuh air, akhirnya Hajar berlari-lari kecil dari satu bukit ke bukit lain selama tujuh kali untuk mencari sumber air. Bukit itu saat ini dikenal dengan nama Shafa dan Marwah.
Setelah Hajar hampir putus asa, datanglah malaikat Jibril yang menuntunnya ke sebuah tempat. Saat itu Jibril menghentakkan kakinya kuat-kuat ke tanah dan tidak lama muncullah aliran air yang menyegarkan. Saat itu Hajar mengumpulkan air tersebut seraya berkata "zam-zam, zam-zam" berkali-kali yang memiliki arti "berkumpulah".
Sejak saat itu banyak burung-burung dan musafir dari berbagai daerah datang ke sumber air itu untuk mengkonsumsinya dan semakin lama tempat tersebut dihidupi oleh banyak makhluk hidup. Konon, kejadian tersebut menjadi asal-usul adanya kota Mekah di Arab hingga saat ini.
Asal-usul Idul Adha, Momen Nabi Ibrahim Menyembelih Nabi Ismail
Setelah menginjak usia remaja, Nabi Ismail tumbuh dengan baik dan menjadi anak yang berbakti dengan orang tuanya. Disebutkan dalam sebuah hadits, pada saat itu umur Nabi Ismail telah menginjak usia 13 tahun.
Suatu malam, Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi yang aneh namun ternyata mimpi tersebut berasal dari Allah SWT. Dalam mimpinya, ia menyembelih dan mengurbankan putra kesayangannya. Karena hal itu, Ibrahim sangat bingung menyikapi apa yang terjadi di dalam mimpinya. Ia tidak langsung membenarkan, namun tidak juga mengingkari.
Setelah melalui malam yang panjang dan membingungkan tersebut, ternyata Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi yang sama persis seperti malam sebelumnya. Hal tersebut tak berhenti hingga di malam ketiga. Karena secara tiga hari berturut-turut melalui mimpi yang sama, akhirnya dengan kesadaran penuh Ibrahim meyakini jika mimpi tersebut harus benar-benar dilaksanakan.
Setelah itu, dengan berat hati Ibrahim menyampaikan apa yang ada di dalam mimpinya kepada Nabi Ismail putranya. Kisah tersebut terdapat dalam Al-Quran, Surat As-saffat, ayat 102 sebagai berikut:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى
Artinya: "Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, 'Wahai anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah bagaimana pendapatmu!'" (Surat As-Saffat ayat 102).
Mendengar penjelasan dari ayahnya, Nabi Ismail dengan tenang namun tegas merespons apa yang telah Ibrahim ceritakan, sebagai berikut:
قَالَ ياأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَآءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: "Dia (Ismail) menjawab, 'Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.'" (Surat As-Saffat ayat 102).
Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai sosok yang sangat taat terhadap perintah Allah SWT akhirnya melakukan apa yang telah terjadi pada mimpinya. Dengan hati yang sangat berat dan muka yang teramat sedih, Nabi Ibrahim harus mengurbankan anaknya demi menjalankan perintah dari Allah SWT.
Tak berbeda dengan ayahnya, nabi Ibrahim dengan perasaan dan hati yang ikhlas siap dan menerima apa yang akan dilakukan ayahnya karena ia menyadari hal tersebut merupakan perintah Allah SWT yang harus dijalani.
Setelah keduanya sepakat untuk melakukan penyembelihan itu, Nabi Ibrahim membawa putranya, Nabi Ismail ke Mina dan membaringkannya di atas pelipisnya. Saat-saat penuh kesedihan itu, Nabi Ismail lantas mengatakan pada ayahnya dengan penuh keikhlasan, yaitu:
يا أبت اشدد رباطى حتى لا اضطرب، واكفف عنى ثيابك حتى لا يتناثر عليها شئ من دمى فتراه أمى فتحزن، وأسرع مرّ السكين على حلقى ليكون أهون للموت على، فإذا أتيت أمى فاقرأ عليها السلام منى
Artinya: "Wahai ayahku! Kencangkanlah ikatanku agar aku tidak lagi bergerak, singsingkanlah bajumu agar darahku tidak mengotori, dan (jika nanti) ibu melihat bercak darah itu niscaya ia akan bersedih, percepatlah gerakan pisau itu dari leherku, agar terasa lebih ringan bagiku karena sungguh kematian itu sangat dahsyat. Apabila engkau telah kembali maka sampaikanlah salam (kasih)ku kepadanya." (Syekh Muhammad Sayyid Ath-Thanthawi, Tafsir Al-Wasith, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M], halaman 3582).
Nabi Ibrahim melakukan apa yang telah disampaikan putranya. Kemudian Nabi Ibrahim menciumnya dengan penuh kasih sayang dan linangan air mata, akhirnya ia mengambil pisau untuk menyembelihnya. Setelah pisau sudah ada di tangannya, ia meletakkan pisau tajam itu ke leher Nabi Ismail, namun keajaiban datang dari Allah. Pisau itu ternyata sama sekali tidak melukai Nabi Ismail. Beberapa kali Nabi Ibrahim mengulanginya, namun tetap sebagaimana semula. Jangankan melukai, bahkan pisau itu tidak memberi bekas apa pun pada anak semata wayangnya itu. Nabi Ismail mengatakan pada ayahnya:
يا أبتِ كبّني لوجهي على جبيني، فإنّك إذا نظرت في وجهي رحمتني، وأدركتك رقّة تحول بينك وبين أمر الله وأنا لا أنظر إلى الشفرة فأجزع
Artinya: "Wahai ayahku! Palingkanlah wajahku hingga tak terlihat olehmu! Karena sungguh, jika melihat wajahku, engkau akan selalu merasa iba. Perasaan iba itu dapat menghalangi kita untuk melaksanakan perintah Allah. Apalagi di depan mataku terlihat kilatan pisau yang sangat tajam, tentu membuatku ketakutan." (Syekh Abu Ishaq bin Ibrahim Ats-Tsa'labi, Tafsir Ats-Tsa'labi, [Beirut, Darul Ihya': 2002 M], halaman 1901).
Setelah itu, dengan segala kehendak Allah SWT tubuh Nabi Ismail digantikan dengan domba jantan yang besar dan berasal dari surga, warnanya putih, bermata indah, dan bertanduk. Allah menurunkan firmanNya sekaligus menjawab berbagai pertanyaan Nabi Ibrahim dalam Al-Quran, Surat As-Saffat ayat 104-108 sebagai berikut:
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ.
Artinya: "Lalu Kami panggil dia, 'Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.' Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian," (Surat As-Saffat ayat 104-108).
Kejadian tersebut merupakan suatu mukjizat dari Allah yang menegaskan bahwa perintah pengorbanan Nabi Ismail itu hanya suatu ujian bagi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sampai sejauh mana cinta dan ketaatan mereka kepada Allah SWT. Ternyata keduanya telah lulus dalam ujian yang sangat berat itu. Nabi Ibrahim telah menunjukkan kesetiaan yang tulus dengan pergorbanan putranya untuk berbakti melaksanakan perintah Allah SWT.
Dari peristiwa tersebut awal mula umat Islam melakukan ibadah berkurban setiap Hari Raya Idul Adha. Momen ini juga seharusnya menjadi pelajaran yang berharga bagi setiap umat Islam untuk selalu patuh kepada perintah Allah SWT dan selalu berbakti kepada orang tua.
Hikmah di Balik Perayaan Hari Raya Idul Adha
Peristiwa historis yang telah dilalui oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, tentu mengandung banyak hikmah yang dapat dituai dan diamalkan oleh umat Islam. Beberapa hikmah yang dapat menjadi pelajaran oleh kaum muslim dalam menjalankan kehidupan sehari-hari berdasarkan peristiwa tersebut di antaranya:
1. Mencurahkan Cinta kepada Allah SWT
Sebagai hamba-Nya yang selalu meminta kebaikan dan pertolongan, mencurahkan segala rasa cinta dan kasih sayang kepada Allah SWT merupakan sesuatu yang wajib dijalani. Pasalnya, Allah SWT selalu memberikan rahmat yang jumlahnya tidak bisa diukur oleh perhitungan manusia. Salah satunya adalah dengan melaksanakan ibadah kurban yang diniatkan hanya kepada Allah SWT.
2. Momen untuk Merenungi Sifat Diri
Momen Idul Adha sebaiknya dimanfaatkan dengan baik seperti mengorbankan sifat egois, mementingkan diri sendiri, rakus atau tamak, dengan dibarengi mencurahkan kecintaan kita kepada Allah SWT.
3. Hewan Kurban Akan Menjadi Saksi Amal Ibadah
Bagi yang melaksanakan kurban atas dasar niat kepada Allah SWT, maka hewan yang dikurbankan akan datang dalam wujud amal kebaikan yang dapat menyelamatkan manusia di hari akhir.
4. Orang Berkurban Dibalas Kebaikan
Balasan kebaikan dan pahala yang berlimpah tidak terhitung jumlahnya. Jika diibaratkan, setiap bulu yang ada pada hewan kurban mengandung satu pahala kebaikan bagi orang yang berkurban.
Demikian informasi tentang kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di balik asal-usul Hari Raya Idul Adha serta informasi seputar hikmah Hari Raya Idul Adha. Semoga bermanfaat ya Lur!
Artikel ini ditulis oleh Rayza Teguh Prastiyo peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom
(cln/ahr)