Warga Klaten Kenang Gempa Jogja 2006: Tanah Gerak bak Ombak-Banyak Korban Tewas

Warga Klaten Kenang Gempa Jogja 2006: Tanah Gerak bak Ombak-Banyak Korban Tewas

Achmad Hussein Syauqi - detikJateng
Senin, 27 Mei 2024 16:25 WIB
Warga Klaten doa bersama di Monumen Lindu Gede
Foto: Warga Klaten doa bersama di Monumen Lindu Gede (Achmad Syauqi/detikcom)
Klaten -

Pada tanggal ini, 18 tahun silam, gempa bumi dahsyat mengguncang wilayah Jawa Tengah dan DIY. Gempa berkekuatan 6,4 skala richter yang berpusat di Bantul, DIY, pada 2006 itu merenggut banyak nyawa hingga menyisakan trauma bagi warga Klaten.

"Sebelumnya (gempa), air di kebun dan pekarangan pada keluar menyembur. Terus cacing-cacing pada keluar, banyak di pekarangan," kenang Kades Towangsan, Kecamatan Gantiwarno, Sigit Isrutiyanto kepada detikJateng, Senin (27/5/2024).

Sigit menceritakan fenomena alam aneh itu terjadi sehari sebelum gempa bumi. Namun saat itu tidak ada yang curiga atau menduga akan terjadi gempa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tapi waktu itu tidak ada yang curiga akan terjadi apa, mungkin dikira karena panas. Ternyata Sabtu (27/5/2006) pagi pukul 05.00 WIB lebih terjadi gempa, gempa menyebabkan tanah seperti bergelombang," kata Sigit.

Menurut Sigit, tanah terasa bergerak bak ombak lautan sehingga bangunan di atasnya banyak yang roboh. Sigit mengenang 99 persen bangunan di desanya ambruk.

ADVERTISEMENT

"Hitungan detik, 99 persen roboh, yang meninggal 13 orang, disusul yang di rumah sakit tujuh orang. Di desa sekitarnya puluhan orang yang meninggal seketika," lanjut Sigit.

Jumlah warga desanya yang meninggal, sebut Sigit, tidak sebanyak desa lainnya. Sebab di desanya saat itu banyak warga yang salat subuh berjemaah di masjid.

"Orang-orang di Towangsan sudah pada keluar dulu menjalankan salat subuh berjemaah di masjid. Jadi korban bisa minimal karena sudah pada keluar rumah, ada yang jalan-jalan," imbuhnya.

Lain halnya dengan kenangan pengasuh Ponpes Sunan Kalijaga Desa Dengkeng, Kecamatan Wedi, Kiai Susilo Eko Pramono. Saat gempa, dua santrinya meninggal dunia.

"Saat kejadian yang meninggal dua orang santri. Tujuh bangunan roboh, mulai dari masjid, gedung asrama, rumah pengasuh, TPQ, dan lainnya," ungkap Kiai Susilo kepada detikJateng.

Saat gempa terjadi, tutur Susilo, penghuni pondok sudah bangun dan beraktivitas. Saat gemuruh gempa datang, anaknya yang masih bayi langsung dibawa lari keluar.

"Kugendong buah hatiku yang masih merah, aku lari mencari anak pertamaku, dan para santri. Mengerikan saat itu. Santriku yang kecil dan satu dewasa meninggal," terang Susilo.

Di samping masjid, imbuh Susilo, dirinya seperti bertemu dengan sosok tinggi besar yang entah siapa. Sosok itu sempat menyalaminya sebelum pergi di tengah kegemparan.

"Sosok itu berlalu menyalamiku. Pengalaman rohani di tengah bencana yang tidak terlupakan," kenang Susilo.




(ams/dil)


Hide Ads