Warga Desa Sangup, Kecamatan Tamansari, Boyolali, beramai-ramai menangkap monyet ekor panjang menggunakan perangkap atau jebakan. Berikut penjelasan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Boyolali seputar konflik warga dengan monyet di wilayah lereng Gunung Merapi dan Merbabu.
"Wilayah Boyolali yang terjadi konflik warga dengan MEP (monyet ekor panjang) di wilayah lereng Merapi - Merbabu, tetapi paling banyak di lereng Merapi," kata Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Boyolali, Suraji, saat ditemui di kantornya, Jumat (6/10/2023).
Dari keterangan warga, Suraji mengatakan monyet ekor panjang itu turun gunung saat erupsi Merapi pada 2010. Setelah erupsi besar itu, monyet semakin banyak. Pada 2011, serangan monyet ke lahan pertanian warga yang berada di pinggir-pinggir jurang semakin terasa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Monyet itu turun dan tak mau naik lagi (ke hutan Gunung Merapi). Terus turun, terus semakin banyak," ujarnya.
Hingga saat ini, Suraji berujar, gangguan monyet itu sudah berlangsung sekitar 12 tahun. Monyet itu berada di jurang-jurang. Menurutnya, hampir di setiap aliran sungai atau jurang di lereng Merapi wilayah Boyolali dihuni kawanan monyet.
"Laporan yang kami terima paling banyak di (Kecamatan) Tamansari. Di Sangup, Lanjaran, Lampar, Dragan, Mriyan, Sumur, Jemowo," jelasnya.
Selain itu kawanan monyet juga terjadi di wilayah Kecamatan Musuk, Cepogo, dan Selo. Monyet itu menyerang tanaman di ladang. Warga pun tidak berani menanam tanaman yang rentan dimakan monyet.
"Warga berani menanam itu hanya tembakau dan cabai," imbuh Suraji.
Pada 2022, DLH Boyolali berkomunikasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah untuk penanganan monyet ekor panjang.
"Karena yang punya kewenangan BKSDA. Pemerintah desa sampai kabupaten tidak memiliki kewenangan itu," terang Suraji.
Untuk penangkapan besar-besaran, lanjut dia, belum bisa dilakukan karena harus mendapatkan izin dan surat rekomendasi. Izinnya dari Kementerian LHK dan rekomendasinya dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Adapun BRIN mengeluarkan rekomendasi berdasarkan penelitian populasi.
"Kalau sudah ada kuota tangkap, itu ada pihak ketiga yang melakukan penangkapan. Sampai sekarang belum ada izin resmi penangkapan besar-besaran. Oleh karena itu pendekatannya kearifan lokal, ditangkap masyarakat. Karena masyarakat sudah resah. Ditembak nggak boleh, dibunuh tidak boleh, akhirnya ditangkap," kata Suraji.
"Akhirnya disepakati masyarakat menangkap, nanti dikumpulkan, diserahkan ke BKSDA. BKSDA akan melakukan relokasi atau penangkaran. Katanya direlokasi, informasi ke saya kemungkinan ke Nusakambangan, pulau yang terpisah dengan Jawa," sambungnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
DLH Boyolali juga dipinjami kandang besi dari BKSDA Jateng untuk mengevakuasi monyet-monyet yang berhasil ditangkap warga.
Diberitakan sebelumnya, serangan monyet ekor panjang telah meresahkan warga Desa Sangup, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Boyolali. Warga di lereng sisi timur gunung Merapi itu akhirnya membuat jebakan untuk menangkap primata itu.
"Karena sudah begitu resah dengan keadaan pertanian dan juga untuk penanganannya kalau dibunuh nggak boleh, terus kemudian ada inisiatif untuk dijebak (ditangkap)," kata Sekretaris Desa (Sekdes) Sangup, Sri Hartanto, kepada detikJateng, Rabu (4/10/2023).
Hal itu dilakukan warga di hampir semua wilayah Desa Sangup. Bahkan, di salah satu desa paling tinggi di Kecamatan Tamansari itu monyet sudah masuk ke permukiman.
"Sudah sangat meresahkan, kalau untuk pertanian yang tanaman pangan sudah nggak berani menanam. Karena (serangan monyet) merata di seluruh wilayah Desa Sangup. Bahkan sudah masuk rumah warga. Ya kadang merusak genteng," jelasnya.
Warga pun membuat perangkap dari bambu. Jebakan berbentuk kotak itu di pasang di pinggir-pinggir ladang warga.