Salah satu sejarah kelam di Indonesia terjadi pada 30 September 1965. Pada saat itu terjadi peristiwa yang dikenal sebagai G30S/PKI. Peristiwa tersebut menyebabkan 6 jenderal terbunuh, berikut profil singkatnya.
Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jumat (29/9/2023), peristiwa G30S/PKI merupakan upaya pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan maksud untuk mengganti ideologi negara Indonesia.
Selain itu, dikutip dari detikX, pemberontakan ini juga dipicu atas ditolaknya usulan PKI oleh TNI AD, yaitu membentuk "Angkatan Kelima" guna menambah kekuatan pertahanan Republik Indonesia dari yang telah ada sebelumnya yaitu TNI AD, AL, AU, dan POLRI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angkatan Kelima ini akan berisi buruh tani dan rakyat sipil yang dipersenjatai. Jumlahnya mencapai 10 juta orang.
Dalam insiden G30S/PKI tersebut, menyebabkan kematian beberapa pimpinan tinggi TNI AD serta sejumlah korban lainnya. Mereka kemudian diberi penghormatan sebagai Pahlawan Revolusi melalui serangkaian Keputusan Presiden yang dikeluarkan pada tahun 1965.
Profil Singkat 6 Jenderal yang Terbunuh di Peristiwa G30S/PKI
Masih dari laman Kemendikbud, berikut merupakan profil singkat 6 jenderal yang terbunuh di Peristiwa G30S/PKI:
![]() |
Jenderal Ahmad Yani
Ahmad Yani adalah seorang tokoh berpengaruh dalam angkatan darat Indonesia pada masa Orde Lama. Lahir di Jenar, Purworejo pada 19 Juni 1922, Ahmad Yani muda mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.
Ia kemudian mengejar karir militernya dengan berbagai peran penting. Pengalaman militer Ahmad Yani mencakup keterlibatannya dalam pemberantasan PKI di Madiun pada tahun 1948, Agresi Militer Belanda II, serta penindasan gerakan DI/TII di Jawa Tengah.
Pada tahun 1958, Ahmad Yani diangkat sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang, Sumatera Barat, untuk mengatasi pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada tahun 1962.
Sayangnya, pada tahun 1965, Ahmad Yani dituduh terlibat dalam konspirasi untuk menjatuhkan Presiden Soekarno. Tragisnya, ia tewas dalam peristiwa pemberontakan G30S yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965.
Letnan Jenderal (Letjen) Suprapto
Suprapto dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 20 Juni 1920. Meskipun awalnya mengikuti pendidikan di Akademi Militer Kerajaan Bandung, pendidikannya terhenti karena datangnya pasukan Jepang ke Indonesia.
Saat Indonesia merdeka, Suprapto aktif dalam upaya untuk merebut senjata dari pasukan Jepang di Cilacap. Setelah itu, ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto dan berpartisipasi dalam pertempuran di Ambarawa sebagai ajudan Panglima Besar Sudirman.
Karir militer Suprapto terus menanjak, tetapi ketika PKI mengusulkan pembentukan angkatan perang kelima, Suprapto menolaknya. Nasib naas menimpanya saat ia menjadi salah satu korban dalam pemberontakan G30S, bersama dengan beberapa petinggi TNI AD lainnya. Jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya, dan akhirnya, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Letnan Jenderal (Letjen) S. Parman
Siswondo Parman atau yang lebih dikenal sebagai S. Parman merupakan salah satu tokoh terkemuka dalam TNI AD selama masa Orde Lama. S. Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 4 Agustus 1918.
Pendidikan dan pengalamannya lebih berfokus pada bidang intelijen. S. Parman pernah dikirim ke Jepang untuk mendalami pengetahuan intelijen oleh Kenpei Kasya Butai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia berdedikasi untuk memperkuat militer Indonesia.
Keahliannya dalam intelijen menjadi sangat berharga bagi TNI pada waktu itu. Ia memiliki pengetahuan tentang rencana PKI untuk membentuk angkatan kelima. Sayangnya, pada tanggal 1 Oktober 1965, S. Parman diculik dan akhirnya tewas bersama dengan sejumlah jenderal lainnya. Sebagai penghormatan atas pengabdiannya, S. Parman dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.
![]() |
Letnan Jenderal (Letjen) M. T. Haryono
Mas Tirtodarmo Haryono, yang dikenal sebagai M. T. Haryono, lahir pada tanggal 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur. Sebelum memasuki dunia militer, M. T. Haryono pernah mengejar pendidikan di Ika Dai Gaku (sekolah kedokteran) di Jakarta saat masa pendudukan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, M. T. Haryono bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat mayor. Kemampuannya dalam berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman sangat berguna dalam berbagai perundingan internasional yang melibatkan Indonesia. Ia kemudian bekerja di Kementerian Pertahanan dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia. P
Pada tahun 1950, M. T. Haryono diangkat sebagai Atase Militer RI untuk Negeri Belanda, dan pada tahun 1964, ia mengemban tugas sebagai Direktur Intendans dan Deputi Ill Menteri/Panglima Angkatan Darat. Sayangnya, pada tahun 1965, M. T. Haryono gugur bersama dengan sejumlah petinggi TNI AD lainnya sebagai akibat dari pemberontakan G30S.
Mayor Jenderal (Mayjen) D. I. Panjaitan
Donald Ignatius Panjaitan, yang lebih dikenal sebagai D. I. Panjaitan, dilahirkan pada tanggal 9 Juni 1925 di Balige, Tapanuli. Selama masa pendudukan Jepang, ia mengikuti pendidikan militer di Gyugun.
Setelah itu, ia ditempatkan di Pekanbaru, Riau, hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, D. I. Panjaitan aktif dalam pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan mencapai karier militer yang mengesankan.
Mendekati akhir hidupnya, ia diangkat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat dan diberi tugas untuk belajar di Amerika Serikat. Jenderal asal Sumatera ini juga mengalami nasib tragis saat terjadi pemberontakan PKI pada tahun 1965, bersama dengan beberapa jenderal lainnya, ia tewas.
Mayor Jenderal (Mayjen) Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo lahir pada tanggal 28 Agustus 1922 di Kebumen, Jawa Tengah. Selama masa pendudukan Jepang, ia mengikuti pendidikan di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta, dan setelah itu bekerja sebagai pegawai negeri di Kantor Kabupaten di Purworejo.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sutoyo bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di bagian Kepolisian, dan kemudian menjadi anggota Korps Polisi Militer. Ia kemudian diangkat sebagai ajudan Kolonel Gatot Subroto dan kemudian memegang jabatan sebagai Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo.
Kariernya terus berkembang, dan pada tahun 1961, ia diberi tugas sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat. Namun, sayangnya, Sutoyo yang menentang pembentukan angkatan kelima harus mengalami nasib tragis dalam peristiwa G30S bersama dengan beberapa jenderal lainnya.
Demikian informasi mengenai profil singkat 6 jenderal yang terbunuh di Peristiwa G30S/PKI. Semoga bermanfaat!
Artikel ini ditulis oleh Muthia Alya Rahmawati peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(ams/rih)