Tercatat dalam sejarah, Kasultanan Jogja memiliki pahlawan nasional yang sangat cerdas dan gigih bernama Pangeran Diponegoro. Sebagai putra dari Hamengku Buwono III, Pangeran Diponegoro berani melakukan perlawanan terhadap Belanda demi menyejahterakan daerah Kesultanan Jogja.
Pangeran Diponegoro merupakan pahlawan nasional yang memiliki keberanian dan kecerdasan tinggi untuk melawan Belanda. Dengan siasat-siasat perangnya, Belanda pun kewalahan menghadapi perlawanan dari pasukan Pangeran Diponegoro.
Dikutip dari laman resmi Perpustakaan Nasional RI, berikut ini biografi Pangeran Diponegoro dan kisahnya sebagai pahlawan nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biografi Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro lahir di Keraton Jogja pada hari Jumat Wage pada tanggal 11 November 1785 Masehi. Saat masih bayi Pangeran Diponegoro diberi nama Raden Mas Mustahar. Ayahnya bernama Raden Mas Surojo adalah anak dari Sultan Hamengku Buwono II, sedangkan ibunya bernama Raden Ayu Mangkorowati.
Raden Mas Mustahar diganti namanya pada tahun 1805 menjadi Raden Mas Ontowiryo oleh kakeknya yaitu Sultan Hamengku Buwono II, selanjutnya pada tahun 1812 ketika ayahnya yaitu Raden Mas Surojo naik tahta menjadi Hamengku Buwono III, Raden Mas Ontowiryo diberi gelar pangeran dengan nama Pangeran Diponegoro.
Istri-istri Pangeran Diponegoro
Sepanjang hidupnya, tercatat ada delapan wanita yang pernah dinikahi oleh Pangeran Diponegoro. Pernikahan pertama, terjadi tahun 1803 dengan Raden Ayu Retna Madubrongto, putri Kyai Gedhe Dadapan. Kedua, pada tanggal 27 Februari 1807 dengan Raden Ajeng Supadmi (RA Retnakusuma), putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang. Ketiga, tahun 1808 dengan RA Retnodewati.
Dua tahun kemudian di awal tahun 1810 Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan ke wilayah timur dan menikah untuk yang keempat dengan Raden Ayu Citrowati, putri Raden Tumenggung Ronggo Prawirosentiko. Tidak lama setelah melahirkan anaknya Raden Ayu Citrowati meninggal dalam kerusuhan di Madiun.
Bayi yang baru saja dilahirkan kemudian dibawa oleh Ki Tembi seorang sahabat Pangeran Diponegoro untuk diasuh. Bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya adalah nama samaran sehingga bayi tersebut terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.
Istri kelima, dinikahi pada tanggal 28 September 1814, yakni RA Maduretno, putri Raden Rangga Prawirodirjo III dengan Ratu Maduretno putri Hamengku Buwono II, jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Ketika Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, dia diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton l 18 Februari 1828.
Keenam, pada bulan Januari 1828 Diponegoro menikahi RA Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh, RA Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan. Kedelapan, RA Retnakumala, putri Kyai Guru Kasongan.
Perang Pangeran Diponegoro
Sekitar tahun 1825-1830 di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur tengah dilanda oleh perang besar yang hampir meruntuhkan kekuasaan imperialis Belanda di Indonesia. Peperangan tersebut dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Perang tersebut didasari oleh perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pihak belanda yang bertindak semaunya. Pangeran Diponegoro berjuang melawan imperialis Belanda bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilan. Alasan Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah sebagai berikut:
1. Kaum Bangsawan Kasultanan Jogja Merasa Tidak Puas
Kaum bangsawan tersebut merasa tidak puasa karena, mereka dilarang oleh Belanda untuk menyewakan tanahnya kepada pengusaha-pengusaha swasta untuk perkebunan-perkebunan. Sebab itu merupakan saingan bagi Belanda yang mengusahakan perkebunan-perkebunan juga. Daerah Kesultanan Jogja yang terletak di antara Pekalongan dan Semarang dirampas oleh Belanda. Kekuasaan dan kewibawaan para bangsawan makin terdesak oleh Belanda, baik di pusat maupun di daerah-daerah.
2. Kaum Ulama Islam Merasa Kecewa
Kaum ulama Islam merasa kecewa, karena semakin meluasnya adat kebiasaan barat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal ajaran Islam bagi kaum ulama merupakan alat untuk pendidikan moral. Oleh karena itu, kaum ulama memandang bahwa keburukan moral itu bersumber dari Belanda, maka Belanda harus disingkirkan.
3. Penderitaan Rakyat
Rakyat jelata semakin menderita akibat adanya bermacam-macam pungutan pajak dan macam-macam kewajiban kerja paksa.
Nah, itulah biografi singkat Pangeran Diponegoro, sosok pahlawan nasional putra Hamengku Buwono III.
(aku/ahr)