Menelusuri 'Kampung Janda Musiman' Purbalingga

Terpopuler Sepekan

Menelusuri 'Kampung Janda Musiman' Purbalingga

Tim detikJateng - detikJateng
Minggu, 04 Jun 2023 05:00 WIB
Balai Desa Sumampir, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, yang dijuluki sebagai kampung janda musiman, Sabtu (27/5/2023).
Balai Desa Sumampir, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga. Desa Sumampir dijuluki sebagai kampung janda musiman, Sabtu (27/5/2023). Foto: Anang Firmansyah/detikJateng
Solo -

Desa Sumampir, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, dikenal sebagai 'Kampung Janda Musiman'. Bagaimana ceritanya? Simak berikut.

Kaur Perencanaan Desa Sumampir, Ivana (27) menjelaskan istilah penggunaan 'Kampung Janda Musiman' berawal dari adanya orang-orang kreatif yang membuat film di desanya.

"Sebenarnya tidak salah juga sih karena memang di sini kebanyakan wanita. Karena kalau dari desa kita mengundang aktivitas masyarakat di luar bulan-bulan yang mereka sedang merantau itu susah sekali. Jadilah istilah populernya kampung janda musiman," kata Ivana saat ditemui detikJateng, Kamis (25/5/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rata-rata warga lelaki di Desa Sumampir merupakan para perantau. Banyaknya warga lelaki yang merupakan tulang punggung keluarga merantau, membuat mayoritas warga di desa ini dihuni oleh kaum perempuan.

Berdasarkan data pemdes setempat, penduduk Desa Sumampir tercatat ada 9.854 jiwa. Jumlah penduduk yang merantau berada di kisaran 40 persen.

ADVERTISEMENT

"Laki-lakinya ada 5.121 dan perempuan 4.733. Dahulu waktu (pandemi) COVID kita data yang pulang ada sekitar 1.500-an. Jumlahnya fluktuatif karena ada yang colong-colongan juga pulangnya. Jadi bisa diperkirakan jumlah perantaunya segitu," ungkap Ivana.

Menurutnya tren para lelaki merantau sudah lama terjadi. Dia tidak tahu kapan persisnya, namun diperkirakan sebelum tahun 1980-an.

Saat itu, warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani sudah tidak bisa menggarap lahannya dengan maksimal karena mengalami kesulitan air.

Mereka mengawali perantauan dengan berangkat ke Pulau Sumatra. Termasuk ayah Ivana yang juga mantan perantau pada tahun 1990-an.

Ketika merantau, sebagian besar mengawali dengan berdagang. Mereka membawa produk asli dari Desa Sumampir yaitu kelambu industri rumahan.

Namun seiring berjalannya waktu, para perantau juga mengambil produk industri dari pabrik besar seperti tikar. Mereka juga berdagang tekstil dengan modal yang lebih besar lagi.

"Pedagang ini yang merantau mengambil untungnya harus besar juga. Bisa mencapai 300 persen. Karena kan tidak mungkin sudah jauh-jauh merantau tapi cuma untung sedikit. Tapi modalnya harus besar juga," terang Ivana.

Lambat laun mereka juga bekerja sebagai petani di lahan sawit. Saat ini warga Desa Sumampir sudah menyebar dari barat hingga timur Indonesia. Ivana menyebut tren pergeseran baru berubah ke wilayah timur dalam lima tahun terakhir.

"Sekarang trennya malah ke timur, seperti Bali dan Lombok NTT. Target mereka itu mereka bisa berhasil berdagang di sana. Dagangannya macam-macam, sekarang itu tikar ambil dari produsen. Jiwanya berdagang bukan produksi," jelasnya.

Ivana menyebut mereka yang merantau tidak serta-merta pergi dengan waktu yang lama. Dalam setahun bisa berangkat sampai tiga kali.

"Tapi kalau masih awal-awal itu perkiraan yang jelas di rumah waktu bulan puasa dan Lebaran. Di luar itu paling awal dan akhir tahun di rumah. Selain itu di perantauan," tambahnya.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.

Dengan banyaknya laki-laki yang merantau, menurut Ivana, warga perempuan seolah terlihat hidup sendiri. Namun di balik kisah itu rata-rata mereka bekerja di rumah.

"Bapaknya berangkat (merantau), di sini mereka (warga wanita) tetap kerja. Ibaratnya yang bikin kelambunya atau produksi jahit, atau yang berjualan makanan. Banyak di sini perempuan yang bergerak seolah-olah mereka jadi tulang punggung keluarga," imbuh Ivana.

Jika dilihat secara letak geografis, 'Kampung Janda Musiman' ini berada di pinggiran. Jaraknya dari wilayah perkotaan mencapai 28 km arah timur laut.

Namun siapa sangka, di desa dengan luas lahan 575 hektare ini terdapat banyak rumah megah tingkat dua bak istana. Rumah tersebut terlihat berjajar di pinggir jalan menuju Dusun Tipar.

Ivana mengatakan pemilik rumah mewah tersebut adalah para perantau yang sukses. Mereka membangun rumah tersebut untuk ditinggali keluarganya.

"Ini baru yang di pinggir jalan. Di belakang rumah ini masuk gang juga banyak rumah-rumah besar. Ini yang punya warga sini yang merantau," kata Ivana saat menunjukkan kawasan perkampungan dengan rumah megah.

Ivana menjelaskan banyak kendala dalam kehidupan bermasyarakat yang muncul karena banyaknya perantau. Salah satunya saat ada undangan acara yang harusnya tertuju kepada lelaki.

"Kaya kegiatan masyarakat begitu. Termasuk di desa juga sekarang kalau dikumpulin RW, yang berangkat istri-istri ketua RT-nya. Karena rata-rata lelaki merantau. Malah ada yang sengaja dipilih penggeraknya (ketua RT) ibu-ibunya," terangnya.

Seperti yang terjadi di wilayah RW 2. Dari 13 RT yang ada, setengahnya dipimpin oleh kaum perempuan. Namun itu tidak menjadi kendala.

"Ada yang biasanya menggantikan tugas Pak RT ada juga yang dipilih dari awal memang perempuan. Ada juga di RW 2 dari 13 RT yang ada, 6 atau 7 Ketua RT-nya perempuan," ungkapnya.

Kendala terjadi saat tahun pemilu. Sebab banyak para perantau yang enggan untuk pulang sekadar untuk menggunakan hak suaranya.

"Padahal kalau dilihat statistik data penduduk terakhir jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan. Tapi kalau dari tingkat partisipasi pemilu itu perempuannya lebih banyak. Karena mereka kalau ada momentum seperti itu banyak yang tidak pulang," katanya.

Hal menonjol lainnya yaitu saat pelaksanaan salat Jumat. Sebab kalau sedang waktunya perantau berangkat, banyak masjid atau musala yang terlihat sepi. Namun akan berbanding terbalik pada bulan Ramadan atau setelah Lebaran.

"Contoh mudahnya saja seperti Jumatan ya. Kalau di luar bulan Ramadan atau Syawal masjid tidak penuh, infaknya juga tidak banyak," ujarnya.

"Apalagi kalau jumatan di musala, kan ada juga yang dipakai karena memang kalau lagi pada pulang masjidnya mbludak. Itu jemaahnya sangat sedikit. Tetap jalan, tapi kelihatan banget tidak ada warganya. Paling cuma 4 saf saja tapi kalau lagi pada pulang ya bisa sampai 10 saf," pungkasnya.

Warga setempat mengaku tak keberatan dengan julukan tersebut. Jumiarti (54), salah satu ibu rumah tangga, warga RT 2 RW 1 mengaku maklum sebab memang banyak warga yang ditinggal suaminya merantau.

"Saya pernah dengar istilah itu (kampung janda musiman). Tapi ya memang kaya gitu. Dibawa santai sajalah. Memang sudah dari dahulu kaya gini," kata dia kepada detikJateng, Sabtu (27/5).

Jumiarti mengatakan suaminya yang bernama Harun (45) berasal dari Jambi. Dia menikah 14 tahun lalu saat Jumiarti diajak merantau oleh kakaknya ke tempat tersebut. Namun berselang beberapa tahun kemudian, dia memutuskan untuk balik ke kampung halaman.

"Suami saya baru saja berangkat 10 harian lalu. Saya dahulu ikut kakak ke Jambi, suami asli sana. Nikah sekitar 14 tahun yang lalu. Bapak kerja serabutan sekarang lagi (bekerja) di bangunan," terangnya.

Ia mengungkapkan dalam setahun suaminya bisa pulang kampung sebanyak tiga kali. Namun waktunya tidak pasti. Bahkan pada saat Idul Fitri kemarin mereka tak berlebaran bareng.

"Dalam setahun pulang sekitar tiga kali, tidak pasti waktunya. Kemarin juga Lebaran suami saya tidak bisa pulang. Ya tidak apa-apa risikonya seperti ini," ungkapnya.

Ibu dari tiga anak ini menambahkan banyak risiko yang timbul dari kondisi tersebut. Kebetulan suaminya dipercaya untuk menjadi ketua RT pada beberapa tahun lalu. Karena suaminya berada di perantauan jika ada kegiatan masyarakat dirinyalah yang mewakili.

"Bapak kebetulan ketua RT sekitar empat tahun lalu. Kalau ada (rapat) RT-an ya saya yang mewakili. Tapi kan di sana banyaknya ibu-ibu juga. Mereka ditinggal merantau sama suami," ungkapnya.

Warga lainnya Sumarni (47) juga merasakan hal serupa. Ia mengungkapkan sudah 26 tahun berpisah sementara waktu dengan suaminya yang merantau ke Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan.

"Suami saya merantau ke Lahat dekat Palembang sana. Sudah 26 tahun lalu merantau jualan siomay. Di sana ngontrak hidup sendiri," kata dia.

Dalam setahun suaminya biasa pulang sebanyak dua kali. Yang pasti di rumah saat bulan puasa hingga setelah Lebaran. Hal itu lah yang membuatnya bekerja di rumah industri tekstil di desanya.

"Setahun pulang dua kali. Kalau pulang di rumah bisa sampai satu bulan. Jadi saya ya kerja di konveksi pembuatan kelambu dan seprei 7 tahunan ini," ucapnya.

Dirinya juga menyadari banyak orang yang menyebut desanya menjadi 'Kampung Janda Musiman'. Namun ia tidak ambil pusing dengan istilah tersebut.

"Pernah dengar ada istilah janda musiman tapi ya tidak tahu maksudnya apa. Ya bodoh amat ada istilah kayak gitu. Orang saya bukan janda ini," ungkapnya.

Jumiarti dan Sumarni sepakat, kondisi tersebut bukanlah sebagai penghalang dalam kehidupan berumah tangga. Sebab teknologi saat ini sudah sangat dimudahkan.

"Kalau kangen ya tinggal video call saja. Orang setiap hari juga pasti video call kok," kata mereka.

Halaman 2 dari 3
(rih/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads