Desa di Purbalingga Dijuluki 'Kampung Janda Musiman', Ternyata Ini Sebabnya

Desa di Purbalingga Dijuluki 'Kampung Janda Musiman', Ternyata Ini Sebabnya

Anang Firmansyah - detikJateng
Sabtu, 27 Mei 2023 15:16 WIB
Balai Desa Sumampir, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, yang dijuluki sebagai kampung janda musiman, Sabtu (27/5/2023).
Balai Desa Sumampir, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, yang dijuluki sebagai kampung janda musiman, Sabtu (27/5/2023). (Foto: Anang Firmansyah/detikJateng)
Purbalingga -

Mungkin tidak banyak yang tahu di Kabupaten Purbalingga ada satu desa yang rata-rata warga lelakinya merupakan para perantau ulung. Mereka sudah memulai petualangan di perantauan sejak puluhan tahun silam.

Banyaknya warga lelaki yang merupakan tulang punggung keluarga merantau, membuat mayoritas warga di desa ini dihuni oleh kaum perempuan. Sehingga membuat istilah 'Kampung Janda Musiman' melekat di desa ini.

Adalah Desa Sumampir, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga. Tidak ada yang tahu kapan persisnya istilah itu digunakan. Namun yang jelas warga setempat sudah mengetahui istilah tersebut dan tidak ada yang mempermasalahkannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kaur Perencanaan desa setempat, Ivana (27) menjelaskan istilah penggunaan 'Kampung Janda Musiman' berawal dari adanya orang-orang kreatif yang membuat film di desanya.

"Sebenarnya tidak salah juga sih karena memang di sini kebanyakan wanita. Karena kalau dari desa kita mengundang aktivitas masyarakat di luar bulan-bulan yang mereka sedang merantau itu susah sekali. Jadilah istilah populernya kampung janda musiman," kata Ivana saat ditemui detikJateng, Kamis (25/5/2023).

ADVERTISEMENT

Berdasarkan data yang ia kelola, penduduk Desa Sumampir tercatat ada 9.854 jiwa. Jumlah penduduk yang merantau berada di kisaran 40 persen.

"Laki-lakinya ada 5.121 dan perempuan 4.733. Dahulu waktu (pandemi) COVID kita data yang pulang ada sekitar 1.500-an. Jumlahnya fluktuatif karena ada yang colong-colongan juga pulangnya. Jadi bisa diperkirakan jumlah perantaunya segitu," ungkap Ivana.

Menurutnya tren para lelaki merantau sudah lama terjadi. Dia tidak tahu kapan persisnya, namun diperkirakan sebelum tahun 1980-an.

Saat itu, warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani sudah tidak bisa menggarap lahannya dengan maksimal karena mengalami kesulitan air.

"Sejak lahan pertanian tidak semakmur dahulu. Trennya sekarang kan kalau seumuran bapak saya sih masih bisa bertani, tapi kalau generasi bawahnya kan sudah malas bertani. Jadi mindsetnya mereka berangkat merantau," terang Ivana.

Para perantau tersebut, menurutnya, sebagian besar mengawali dengan berdagang. Namun lambat laun mereka juga bekerja sebagai petani di lahan sawit.

Mereka mengawali perantauan dengan berangkat ke Pulau Sumatra. Termasuk ayah Ivana yang juga mantan perantau pada tahun 1990-an.

Ivana menyebut mereka yang merantau tidak serta merta pergi dengan waktu yang lama. Dalam setahun bisa berangkat sampai tiga kali.

"Tapi kalau masih awal-awal itu perkiraan yang jelas di rumah waktu bulan puasa dan lebaran. Di luar itu paling awal dan akhir tahun di rumah. Selain itu di perantauan," tambahnya.




(aku/ams)


Hide Ads