Setiap tahun, pada tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Kartini adalah sosok pahlawan perempuan yang harus kita apresiasi kehebatannya. Dengan mengetahui sejarah dan biografi sosok Kartini kita akan selalu menghormati dan senantiasa mengenang jasanya.
Dikutip dari laman resmi Kemenkeu, Kartini merupakan sosok pahlawan kemerdekaan nasional bagi bangsa Indonesia. Ia adalah sosok pelopor persamaan derajat perempuan nusantara yang mendedikasikan intelektualitas, gagasan, dan perjuangannya untuk mendobrak ketidakadilan yang dihadapi. Sebagai pemikir dan penggerak emansipasi perempuan, Kartini menjadi sumber inspirasi perjuangan perempuan yang mendambakan kebebasan dan persamaan status sosial.
Biografi Kartini
Dikutip dari buku berjudul 'Sisi Lain Kartini' karya Prof. Dr. Djoko Marihandono, Nur Khozin Dri Arbaningsih, Dr. Yuda B. Tangkilisan, Kartini lahir pada 21 April 1879 di Mayong sebuah kota kecil yang masuk dalam wilayah Karesidenan Jepara dari pasangan Raden Mas Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Kartini lahir dalam lingkungan keluarga priyayi dan bangsawan, karena itu ia berhak menambahkan gelar Raden Ajeng (R.A.) di depan namanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak kecil Kartini dikenal sebagai anak lincah yang sangat aktif bergerak, dan oleh ayah Ia diberi gelar Trinil, sehingga sering dipanggil dengan sebutan "Nil", sebagaimana diceritakan dalam suratnya kepada Estelle Zeehandelaar tanggal 18 Agustus 1899.
"Saya disebut kuda kore atau kuda liar. Karena saya jarang berjalan, tetapi selalu melompat atau melonjak-lonjak. Dan karena sesuatu dan lain hal lagi saya dimaki-maki juga sebab saya sering sekali tertawa terbahak-bahak dan memperlihatkan banyak gigi yang dinilai perbuatan tidak sopan."
Kartini dan saudara-saudaranya diberikan pendidikan yang seimbang dengan otak dan akhlak, sehingga Kartini dan saudara-saudaranya tumbuh menjadi anak-anak yang berkualitas, berperikemanusiaan tinggi, dan berwatak bijak. Pada 1885 Kartini dimasukan ke sekolah dasar eropa atau Europesche Lagere School (ELS) hingga berumur 12 tahun, namun tradisi kaum bangsawan pada masa itu melarang keras puteri-puterinya ke luar rumah, apalagi datang ke sekolah setiap hari untuk belajar bersama anak laki-laki. Sesuai dengan adat kuno, setelah usianya lebih dari 12 tahun, Kartini harus tinggal di rumah karena dipingit dan dirinya mendapat larangan oleh ayahnya untuk mengejar cita-cita bersekolahnya.
Perjuangan ke Eropa
Dikutip dari detikEdu yang melansir dari buku Sisi Lain Kartini yang diterbitkan dalam rangka Pameran Temporer Sisi Lain Kartini oleh Museum Kebangkitan Nasional, Kemendikbud RI. Kartini juga memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan di Belanda, sebagai bentuk kemajuan berpikir dan keinginannya untuk melepaskan diri dari jeratan adat yang membatasi kaum perempuan di masa itu.
Sejak dipingit di rumah, kemampuan bahasa Belanda RA Kartini terus terasah. Ia sering membaca banyak buku, surat kabar hingga majalah, seperti dari surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, dan berlangganan leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan).
Selain diwarnai dengan kegiatan membaca, RA Kartini juga menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah satunya bernama Rosa Abendanon.
Melalui bacaan berbahasa Belanda hingga surat-suratnya itulah, keinginan Kartini untuk berpikir maju seperti perempuan Eropa timbul. Ia pun bertekad untuk melanjutkan pendidikan di Belanda.
Dalam suratnya kepada Nyonya Ovink Soer, RA Kartini menuliskan keinginannya untuk mencari beasiswa ke Belanda, "Kami mau mempelopori dan memberi penerangan, karenanya kami pertama-tama harus pergi ke Belanda untuk belajar. Bagi kami baik, kalau kami pergi. Ibu tercinta, tolong usahakan kami bisa pergi". Sayangnya, hasrat bersekolah di Belanda terhalang restu dari kedua orang tuanya.
Sekolah Wanita
Dikutip dari bpbd.bogorkab.go.id, awal perjuangan Kartini dimulai saat dirinya berhasil mendirikan sekolah khusus perempuan di Jepara. Di sekolah tersebut, mereka mendapatkan ilmu cara menjahit, menyulam, dan memasak. Kartini juga kerap menuliskan surat untuk temannya di Belanda bernama Rosa Abendanon, yang berisikan keinginannya untuk menaikkan derajat wanita di Indonesia.
Kartini bahkan bercita-cita untuk menjadi seorang guru, meski keinginan tersebut tak pernah terwujud karena dia harus menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Suami Kartini sangat mendukung cita-citanya. Kartini diizinkan membangun sebuah sekolah khusus putri di Rembang.
Tidak hanya itu, berkat kegigihannya dalam memperjuangkan emansipasi wanita, seorang tokoh politik etis bernama Van Deventer mendirikan "Sekolah Kartini" dan "Yayasan Kartini" yang merupakan sekolah untuk para wanita. Sekolah ini dibangun di Semarang pada 1912, kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Sekolah-sekolah tersebut bahkan masih berdiri hingga sekarang layaknya jasa Kartini yang masih membekas hingga sekarang.
Kematian Kartini
Pada tanggal 13 September 1903, Kartini melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Setelah melahirkan kondisi Kartini nampak sehat dan berseri-seri, karena itu dokter yang membantu persalinan kembali ke kotanya. Tanpa sebab yang jelas kondisi tubuh Kartini melemah dan dokter tidak bisa mengembalikan kesehatan tubuhnya.
Pada 17 September 1903 akhirnya Kartini wafat dalam usia yang masih sangat muda 25 tahun. Kematian R.A. Kartini sangat mengguncang pikiran suaminya, R.M. Djojo Adiningrat. Kepada Nyonya Abendanon beliau menulis sebuah surat yang menceritakan kematian istrinya.
"Dengan halus dan tenang ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan saya. Lima menit sebelum hilangnya (meninggal), pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir ia tetap sadar. Dalam segala gagasan dan usahanya, ia adalah Lambang Cinta, dan pandangannya dalam hidup demikian luasnya. Jenazahnya saya tanam keesokan harinya di halaman pesanggrahan kami di Bulu, 13 pal dari kota."
Buku Habis Gelap Terbitlah Terang
Dikutip dari dppkbpppa.pontianak.go.id, Rosa Abendanon yang merupakan teman R.A Kartini membukukan seluruh surat-surat Kartini dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada tahun 1911.
Pada tahun 1922 Balai Pustaka menerbitkan versi terjemahan buku dari Abendanon dengan bahasa Melayu yang diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang : Boeah Pikiran. Kemudian pada tahun 1938, sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk ke dalam golongan Pujangga Baru, menerbitkan versi terjemahannya dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Nah itulah informasi mengenai sosok pahlawan Kartini, kita harus senantiasa menghormati jasa-jasa pahlawan kita, Semoga bermanfaat, Lur!
Artikel ini ditulis oleh Agustin Tri Wardani peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(aku/aku)