Angka Kelahiran Rendah Disorot, Perempuan Jepang Kini Buka Suara

Internasional

Angka Kelahiran Rendah Disorot, Perempuan Jepang Kini Buka Suara

Tim detikNews - detikJateng
Rabu, 29 Mar 2023 19:16 WIB
Parents holding their baby high under the blue sky
Ilustrasi. Foto: Getty Images/iStockphoto/maruco
Solo -

Beberapa perempuan Jepang mulai bersuara lantang di media sosial menanggapi masalah turunnya tingkat kelahiran di negaranya. Untuk diketahui, angka kelahiran di Jepang berada di bawah 800 ribu pada tahun lalu, atau terendah dalam sejarah negara berpenduduk 125 juta itu.

Dilansir detikNews yang mengutip dari ABC News, Perdana Menteri Fumio Kishida memperingatkan pola ini menimbulkan pertanyaan tentang 'apakah Jepang bisa terus berfungsi sebagai sebuah komunitas.'

Ia juga mengatakan perhatian dunia akan masalah ini sudah menimbulkan perdebatan besar di berbagai media dalam negeri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di antaranya soal bagaimana jumlah perempuan di atas 50 tahun yang tidak pernah memiliki anak di Jepang merupakan yang tertinggi di kalangan 38 negara maju yang tergabung dalam OECD.

Perdebatan ini memunculkan istilah baru dengan hashtag 'life-long childlessness' atau tidak punya anak seumur hidup.

ADVERTISEMENT

Salah satu perempuan Jepang, Tomoko Okada mengatakan sudah lama merasa malu karena tidak memiliki anak. Dia juga ragu-ragu untuk ikut debat di Twitter. Sebab dia khawatir dengan kemungkinan munculnya berbagai kritik terhadap dirinya.

Ternyata sebaliknya, yang dia terima justru perasaan simpati dan dukungan. Kemudian para perempuan lain turut menceritakan mengapa mereka tidak berkeluarga atau dalam beberapa kasus memilih untuk tidak memiliki keluarga atau anak.

"Saya dulu sangat mendukung pendapat bahwa melahirkan adalah hal yang normal dilakukan," kata penulis lepas berusia 47 tahun tersebut kepada AFP, dikutip dari detikNews.

Tomoko sudah pernah mencoba biro jodoh untuk menemukan pasangan namun tidak berhasil. Dia merasa bersalah ketika ayahnya bertanya tentang cucu.

Setelah mengirim postingan di media sosial dan membaca tulisan orang lain yang bersimpati kepadanya, Tomoko merasa hidupnya juga baik-baik saja selama ini.

Rendahnya tingkat kelahiran menjadi masalah umum di negara-negara maju, dan Jepang terbilang paling parah. Jepang kini memiliki populasi tertua kedua di dunia setelah Monako. Sementara, aturan yang relatif ketat tentang imigrasi membuat Jepang kekurangan pekerja.

Perdana Menteri Fumio Kishida menjanjikan kebijakan untuk membantu keluarga, termasuk bantuan keuangan, akses lebih mudah bagi pengasuhan anak, dan cuti melahirkan bagi orang tua.

Namun yang banyak terlibat dalam perdebatan ini adalah pria. Sebab, jumlah perempuan hanya 10 persen di keanggotaan parlemen, dan di dalam kabinet 19 menteri Kishida hanya ada 2 perempuan.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.

Ini membuat perempuan tidak mendapatkan perhatian dan bahkan mendapat banyak kritik. "Jangan salahkan perempuan atas rendahnya tingkat kelahiran," tulis Ayako di Twitter, warga Tokyo berusia 38 tahun yang tidak memiliki anak.

Dia menggunakan hashtag 'various choices' atau berbagai pilihan, dan mengatakan peran gender tradisional di Jepang menjadi sumber masalah.

Survei pemerintah pada 2021 menyebutkan perempuan Jepang menghabiskan waktu empat kali lebih banyak dari pria dalam urusan rumah tangga dan membesarkan anak, dibandingkan suami yang bahkan bekerja dari rumah.

Ayako berani menulis online, namun mendapat banyak kritik ketika berbicara tentang gender dalam kehidupan sehari-hari. "Susah sekali menyampaikan pendapat kita di dunia nyata," katanya.

"Saya merasa perempuan mendapat begitu banyak kritik hanya karena mereka menyampaikan pendapat," imbuh dia. Sementara di media sosial, kata dia, "saya kadang terkejut menemukan orang lain yang memiliki pandangan yang sama".

Profesor studi gender dan media di Meiji University, Yuiko Fujita mengatakan media sosial menjadi ruang bagi perempuan mendiskusikan masalah politik dan sosial tanpa kekhawatiran karena bisa secara anonim.

Tapi dampak diskusi di media sosial itu terbatas. "Sayang sekali tidak banyak suara dari kalangan perempuan ini yang mencapai ranah politik," kata Yuiko.

Menurut sejumlah pakar, ada berbagai akar permasalahan dalam kasus menurunnya tingkat kelahiran di Jepang.

Hanya 2,4 persen kelahiran di Jepang terjadi di luar perkawinan, angka terendah dari 38 negara OECD, angka yang sering dikaitkan dengan norma konservatif dan sistem keuangan yang lebih mendukung sistem keluarga.

Beberapa yang lain mengatakan ekonomi jadi penyebab, dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi di Jepang selama belasan tahun terakhir sehingga membuat banyak keluarga takut memiliki anak.

Perubahan kebijakan seperti misalnya perluasan fasilitas pengasuhan anak bisa membantu meningkatkan kelahiran namun kenaikan itu kadang hanya bersifat sementara, kata Takumi Fujinami dari Institut Penelitian Jepang.

Selain masalah kesetaraan dalam urusan rumah tangga, dia mengatakan "stabilitas ekonomi jangka panjang dan kenaikan pendapatan adalah faktor kunci".

Halaman 2 dari 2
(dil/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads