Resesi Seks di Jepang Sudah Sekronis Ini

Resesi Seks di Jepang Sudah Sekronis Ini

Tim detikHealth - detikJateng
Jumat, 27 Jan 2023 06:56 WIB
Ilustrasi Gunung Fuji di Jepang dan Pohon Sakura
llustrasi Gunung Fuji di Jepang dan Pohon Sakura. Foto: Getty Images/iStockphoto/Goryu
Solo -

Angka kelahiran di Jepang anjlok hingga hanya menyisakan 800 ribu pada tahun 2022. Hal ini terjadi meski pemerintah Jepang telah menjanjikan berbagai bantuan keuangan.

Dikutip dari detikHealth, Jumat (27/1/2023), warga Jepang menilai biaya memiliki anak masih terlalu mahal. Hingga akhirnya mereka ogah punya anak.

"Kami bertahan hidup dengan memotong tabungan kami sekarang," kata Katahira Kazumi, ibu dari seorang anak berusia 4 tahun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Anak kedua tidak terpikirkan oleh kami," katanya kepada NHK.

Katahira telah memotong jam kerjanya untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarganya dan berencana memiliki setidaknya dua anak. Namun setelah bertahun-tahun menjalani perawatan kesuburan yang mahal, mereka tidak mampu membiayai keluarga yang lebih besar.

ADVERTISEMENT

"Sebagian dari diri saya masih berpikir akan menyenangkan memiliki anak kedua, tetapi secara realistis, itu terlalu mahal," katanya.

Jepang telah melihat rekor kelahiran terendah selama enam tahun terakhir. Pada 2021, jumlahnya hanya 811.622 - terendah sejak pencatatan dimulai pada 1899.

Penurunan tersebut terjadi lebih cepat dari yang diproyeksikan para ahli demografi pada tahun 2017. Saat itu National Institution of Population and Social Security memproyeksikan kelahiran di Jepang tidak akan turun di bawah 800 ribu hingga tahun 2030.

Survei tahun 2021 terhadap 5.800 pasangan menikah menemukan bahwa mereka menginginkan lebih banyak anak daripada yang sebenarnya mereka rencanakan. Namun mereka akhirnya tidak memiliki anak karena alasan keuangan.

"Dukungan keuangan pemerintah di Jepang hanya sekitar setengah atau bahkan sepertiga dari apa yang disediakan oleh negara-negara besar Barat," kata Matsuda Shigeki, Profesor Sosiologi di Universitas Chukyo. Dia mengatakan dorongan resmi untuk memiliki lebih banyak anak hanya berdampak kecil.

"Jepang telah memperluas langkah-langkah untuk menangani tingkat kelahiran yang rendah selama bertahun-tahun, tetapi itu belum mencapai tingkat yang dapat meyakinkan orang bahwa mereka dapat memiliki dan membesarkan anak," katanya.

Populasi di Negeri Sakura saat ini hanya di bawah 125 juta, menurut data resmi. Faktor yang mempengaruhi resesi seks di Jepang di antaranya:

  1. Biaya hidup mahal
  2. Perempuan lebih berfokus pada pendidikan dan karir
  3. Akses kontrasepsi yang mudah
  4. Perempuan lebih memilih untuk mempunyai sedikit anak atau bahkan tidak memiliki anak sama sekali (childfree).

Perdana Menteri Jepang juga telah mewanti-wanti soal krisis populasi ini. Dalam pidatonya Senin pekan ini, Fumio Kishida memastikan pemerintah berupaya melakukan segala cara untuk mendongkrak angka kelahiran.

"Sekarang atau tidak sama sekali, kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi," tutur dia, dikutip dari CNN.

Efek angka kelahiran anjlok bisa berdampak pada sektor ekonomi lantaran populasi terus menua. Karenanya, Kishida memastikan pemerintah mengeluarkan dana dua kali lipat untuk program perencanaan anak.




(sip/sip)


Hide Ads