Dua keluarga puluhan tahun bermukim di hutan jati Blora, Desa Ngrawoh, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora lantaran tidak memiliki tanah di desa. Di wilayah Ngrawoh ini, sekitar 23 kepala keluarga pernah menjalani kehidupan di hutan.
Seiring berjalannya waktu, jumlah warga yang tinggal di hutan lambat laun mulai berkurang. Hingga saat ini hanya tersisa dua kepala keluarga yang masih hidup terisolir di hutan. Keduanya yakni keluarga Darman dan Sukimin.
Darman menyebut, puluhan tahun lalu ada sekitar 23 KK yang bertahan hidup bersama-sama dengannya di tengah hutan. Namun satu demi satu keluarga itupun turun ke peradaban.
"Mau bagaimana lagi, di dusun tidak punya tanah. Dulu orang hidup di hutan banyak, ada 23 rumah. Tapi kini sudah punya rumah di desa," ungkap Darman ditemui detikJateng di rumahnya, Kamis (6/1/2023).
Salah satu warga yang pernah menjalani kehidupan di hutan Blora itu salah satunya Sulastri. Ditemui detikJateng saat tengah berada di ladang garapannya, Sulastri mengisahkan kehidupannya kala masih tinggal di hutan selama 30 tahun.
"Dulu tinggal di hutan 30 tahun, tidak ada tetangga. Karena sakit vertigo, saya pindah di Ngrawoh," ucapnya.
Dibujuk Pihak Desa
Pemerintah Desa Ngrawoh sendiri terus berupaya membujuk agar 2 keluarga yang tersisa agar mau bermukim di perkampungan. Beberapa tahun silam terdapat tujuh rumah masih berpenghuni, namun beberapa dari mereka memilih pulang kampung.
"Terkait dua warga saya yang tinggal di area hutan itu memang benar adanya," ungkap Kepala Desa Ngrawoh, Purwondo ditemui di rumahnya, Kamis (6/1/2023).
Purwondo menyebut kedua keluarga itu merupakan seorang petani hutan yang selalu berpindah-pindah, mengikuti wilayah tanaman yang berada di wilayah hutan. Zaman dulu kala, kata dia, istilah mager sari atau mencari pekerjaan di hutan banyak dilakukan.
"Penduduk hutan sudah beberapa puluh tahun sekitar 25-30 an tahun di tengah alas. Rumahnya pindah-pindah. Terakhir ada sembilan KK, dua tahun terakhir ada tujuh KK yang turun. Tinggal dua KK itu," jelasnya.
Para petani itu kemudian memilih membuat gubug dan menetap di hutan. Pihak Perhutani tak pernah mempermasalahkan mereka, karena dirasa ikut berkontribusi membantu menjaga lahan hutan.
Purwondo menyebut keluarga Darman dan Sukimin mendapat tawaran dari Pemdes untuk didekatkan dengan pemukiman warga, dengan tetap menjadi petani hutan.
"Dua warga itu tidak mengganggu, dia itu baik, diajak komunikasi baik. Biasalah seperti kita-kita ini. Bukan suku pedalaman," tegasnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
(aku/aku)