Dalam buku 'Wiji Thukul Teka-teki Orang Hilang' (PT Gramedia, 2013) disebutkan bahwa Thukul mengenyam pendidikan di SMP Negeri 8 Solo dan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo.
Sejak SMP, Thukul punya bermacam pekerjaan. Salah satunya menjadi calo karcis di dua bioskop yang kini sudah tak berbekas di kawasan Gladag Solo.
Dalam Seri Buku Tempo Prahara-Prahara Orde Baru itu disebutkan, perkenalan Thukul dengan dunia seni berawal ketika dia hendak mementaskan teater di kapel menjelang Natal. Saat itu Thukul masih sekolah di SMKI. Dia diperkenalkan kepada Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater asuhan WS Rendra.
Sejak itu Thukul menjadi anggota Teater Jagat. Dari teater itulah julukan Thukul bermula. Nama aslinya Wiji Widodo. Oleh Lawu, nama Widodo itu diganti Thukul. Jadilah Wiji Thukul atau biji yang tumbuh dalam Bahasa Indonesia. Setelah aktif di teater, Thukul memutuskan berhenti sekolah.
Kepada adiknya, Thukul beralasan berhenti sekolah demi membantu ayahnya mencari uang. Sebab, ayah mereka sebagai penarik becak sudah tua. Dia pun berpesan agar Wahyu yang meneruskan sekolah hingga tamat.
Thukul lalu bekerja sebagai buruh pelitur di sebuah toko mebel dekat Keraton Solo. Namun dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi dan berlatih teater di rumah Lawu.
Berbekal ijazah SMP, Thukul pernah mengikuti program jurusan seni topeng di Akademi Seni Karawitan Indonesia atau ASKI (sekarang ISI Solo), pada 1985. Saat itu ASKI sedang membuat jurusan baru sehingga perekrutan siswanya cukup longgar.
Kesibukannya belajar teori dan praktik seputar topeng tak melenyapkan semangat Thukul untuk terus menulis. Dia juga bekerja sampingan sebagai pengasong koran. Dari koran dagangannya itulah Thukul tahu alamat redaksi untuk mengirimkan puisi-puisinya.
Melihat bakat Thukul, Thukul pernah direkrut menjadi contributor di koran Masakini. Hanya betah setengah tahun di koran itu, Thukul lalu pindah ke majalah Adil, sebelum akhirnya total terjun ke pergerakan politik yang memperjuangkan hak-hak buruh.
Setelah menikah dan dikaruniai dua anak, Thukul yang bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) mulai diburu aparat sejak Agustus 1996. Sebab PRD saat itu dituding terlibat dalam penyerangan markas PDI di Jakarta Pusat, kini dikenal dengan peristiwa 27 Juli.
Hingga kini keberadaan Wiji Thukul masih misterius. Adapun istrinya, Siti Dyah Sujirah yang akrab disapa Mbak Pon atau Sipon, meninggal dunia setelah terkena serangan jantung, Kamis (5/1/2023).
Mbak Pon meninggalkan dua anak, yaitu Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Darah seni juga mengalir pada keduanya. Seperti diketahui, Fitri telah meluncurkan beberapa buku puisi karyanya. Sebagian bukunya telah dicetak ulang beberapa kali.
Sedangkan Fajar Merah memilih jalur musik. Dia telah meluncurkan beberapa album musik. Kini Fajar memilih berkarier solo setelah memutuskan rehat dari band Merah Bercerita.
(dil/ahr)