Kota Pekalongan diprediksi akan tenggelam pada 2035. Hal ini terjadi lantaran adanya penurunan permukaan tanah setiap tahunnya. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Galdita A. Chulafak, mengungkapkan temuannya yang menunjukkan penurunan permukaan tanah di wilayah pantai utara Jawa Tengah relatif tinggi. Tertinggi terjadi di Kota Pekalongan.
"Jika menggunakan data penginderaan jauh atau remote sensing, penurunan permukaan tanah di Pekalongan berbeda-beda mulai dari 4-11 cm. Data menunjukkan terjadinya perubahan tutupan tanah di wilayah Pekalongan dengan semakin bertambahnya pembangunan, wilayah tambak, wilayah pertanian terutama di hulu, serta berkurangnya vegetasi/hutan," katanya
Selain itu, menurutnya data juga menunjukkan adanya rekayasa pesisir di mana terjadi perubahan muara sungai yang tadinya aliran tidak langsung mengarah ke laut karena terhalang barrier sedimen, menjadi langsung ke laut dengan dibangunnya jetty dan dihilangkannya barrier alam.
"Jika tidak ada action dalam menghadapi hal tersebut, tentu tidak dapat dipungkiri Pekalongan akan tenggelam," ujar dia.
Galdita memprediksi laju penurunan tanah bertambah atau berkurang tiap tahunnya. Jika mengambil rata-rata tengah laju penurunan tanah 6 cm/tahun di Pekalongan, hitungan tanpa memperhatikan parameter lain memungkinkan terjadinya penurunan muka tanah hingga 60 cm dalam 10 tahun ke depan.
"Padahal sebagian wilayah Kota Pekalongan sudah ada yang mempunyai elevasi di bawah 0 mdpl. Tinggal kita hitung perkiraan, misalnya elevasi tertinggi adalah 4 mdpl atau 400 cm di atas permukaan laut, dibagi enam, mungkin tenggelam seluruhnya sekitar 66 tahun lagi," ujar dia.
"Kalau memakai kemungkinan terburuk 11 cm, ya semua wilayah yang elevasi kurang dari 1 meter kira-kira bakal tenggelam 9 tahun lagi jika tidak dilakukan pencegahan. Dari penelitian yang dilakukan oleh BRIN, Pekalongan mengalami laju penurunan tanah yang cukup tinggi bahkan melebihi Jakarta," tambahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya lihat di halaman berikutnya
Sementara itu Arif Ganda Purnama dari Mercy Corps mengemukakan bahwa risiko banjir dapat meningkat lima kali lipat dari sisi luasan dalam 15 tahun ke depan. Sementara itu hasil analisis dampak pada 41 kelurahan, kerugian per tahun mencapai Rp1,55 Triliun pada 2020 dan diprediksi meningkat 30 kali lipat menjadi Rp31,28 Triliun pada 2035.
"Untuk dapat menghindari skenario tersebut penanganan banjir slow-onset memerlukan transformasi tata kelola multi spektrum dengan visi bahwa banjir tidak memberikan dampak negatif bagi masyarakat," ujar dia.
Kemitraan Partnership Team Leader of Pekalongan Andi Kiky menyebut, dalam menghadapi kebencanaan akibat perubahan iklim yang berdampak pada krisis di semua lini, diperlukan pengembangan kerja kolaborasi yang berbasis pencegahan, tidak hanya penanganan.
"Maka kerja advokasi diperlukan dari tingkat tapak hingga di pusat, namun perlu dibarengi dengan aksi pemberdayaan yang juga perlu dijalankan. Baik pada sisi penguatan ekonomi serta perlindungan pesisir yang bisa meminimalisir kondisi dampak perubahan iklim tersebut," tuturnya.
Direktur Eksekutif Satya Bumi Annisa Rahmawati menyampaikan bahwa dalam menyelesaikan persoalan krisis iklim yang berdampak luas ini, seluruh pemangku kepentingan saling terkait. Annisa mengatakan kondisi wilayah di Pekalongan bisa menjadi contoh pembelajaran bagi kota-kota lain agar bisa lebih mempersiapkan dan memprioritaskan langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berdampak luas, termasuk mempengaruhi kelompok-kelompok masyarakat rentan.
Sementara itu webinar sendiri digelar bertepatan dengan Hari Kota Sedunia yang diperingati tiap 31 Oktober. Satya Bumi, organisasi masyarakat sipil yang fokus pada perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia (HAM) , berkolaborasi dengan Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) dan tanahair.net mengadakan webinar dengan tema "Krisis Iklim: Ancaman Tenggelamnya Kota Pekalongan" pada Kamis, 3 November 2022.