Sedulur Sikep masih memegang teguh ajaran dari Samin Surosentiko. Sosok Samin Surosentiko pun dikenal sebagai pejuang melawan ketidakadilan penjajah Belanda di Indonesia tanpa menggunakan kekerasan. Lalu seperti apa kisahnya?
Seperti dikutip pada buku Sejarah Nasional Indonesia jilid IV ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegara dan Nugroho Notosusanto yang diterbitkan Departemen Pendidikan Kebudayaan tahun 1993, menyebut Samin Surosentiko berasal dari Blora. Samin Surosentiko merupakan seorang petani asal Randublatung, Blora.
Dijelaskan Samin mulai menarik pengikut, yaitu para petani yang ada di desa-desa pada tahun 1890. Jumlah pengikutnya bertambah dan mereka melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan pemerintah. Oleh karena itu, kelompok ini mendapat perhatian dari pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Orang Samin saat itu menentang Pemerintahan Hindia-Belanda karena kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat, terutama bagi petani. Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dianggap memberatkan beban rakyat. Selain dipungut pajak, petani juga diminta untuk kerja rodi.
"Orang-orang Samin itu bergerak dan menentang pemerintah karena tekanan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam menjalankan politik kolonialnya, karena mayoritas orang Samin adalah petani," tulisnya seperti dikutip detikJateng, Sabtu (29/10/2022).
"Pada akhir abad ke-19 Pemerintah Belanda semakin meningkatkan penguasaan dan pengolahan hutan jati. Rakyat dilarang untuk memasuki hutan-hutan tanpa izin, lebih-lebih untuk memungut hasilnya. Selain itu juga adanya penindasan terhadap orang-orang Samin. Orang Samin dikerahkan untuk kerja bakti yang aslinya adalah kerja rodi," tulisnya.
Selanjutnya pada tahun 1907 muncul desas-desus Orang Samin akan memberontak terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Samin bersama delapan pengikutnya pun ditangkap karena dicurigai akan menjatuhkan pemerintah kala itu dan mendirikan pemerintahan yang baru.
Terlebih suatu kebetulan pada 14 Februari 1907 bertepatan dengan tanggal 1 Suro. 1 Suro dianggap orang Jawa merupakan pergantian tahun atau zaman. Oleh karena itu maka terjadi kehidupan umat manusia. Hal tersebut pun membuat cemas Pemerintah Hindia-Belanda.
Hingga akhirnya Samin dan delapan pengikutnya dibuang ke Padang. Mereka pun meninggal dunia pada tahun 1914. Orang Belanda menganggap Samin dan pengikutnya bahaya jika dikembalikan.
Selepas Samin Surosentiko ditangkap dibuang ke Padang, muncul pergerakan lainnya oleh pengikutnya. Seperti di Madiun Jawa Timur. Pengikut Samin bernama Wongsorejo mengajak petani untuk tidak membayar pajak dan tidak melakukan kerja rodi. Lagi-lagi mereka ditangkap oleh orang Belanda.
Memasuki abad ke-20 Gerakan Samin semakin meningkat. Seperti di Grobogan orang Samin di bawah pimpinan Surohidin dan Pak Engkrak tidak mau menaati peraturan-peraturan pemerintah. Lalu pak Karsiyah menantu Samin mengajak rakyat Kayen, Pati untuk menentang pemerintah dan menamakan diri sebagai Pangeran Sendang Janur. Di Desa Larangan Kecamatan Tambakromo warga menolak membayar pajak.
"Gerakan Samin ini yang dapat dikatakan unik Sejarah Jawa. Ada beberapa aspek dari sikap Orang Samin yang patut dicatat di antara tanpa kekerasan, rajin, jujur, dan berhasil sebagai petani, serta menghargai sesama derajat, termasuk kaum wanita," tulisnya.
Tokoh Sedulur Sikep, Gunretno, mengatakan sosok Samin Surosentiko adalah pejuang bagi Sedulur Sikep. Menurutnya perlawanan terhadap penjajah tanpa kekerasan. Dijelaskan pergerakan Samin tidak taat terhadap kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda. Mereka pun ditangkap dan dibuang oleh orang-orang Belanda.
Selengkapnya di halaman selanjutnya...
"Jadi Mbah Samin itu dibuang di Irian Jaya terus dipindah ke Sawah Lunto, Padang. Dipindah dari Irian Jaya ke Padang itu lewat jalur kapal atau laut. Jadi ada namanya orang rantai, orang pembuangan itu dirantai, itu ada kata dulur tunggal sekapal. Itu dari berbagai masalah ditangkap, berbagai suku tempat itu sekapal. Kata sedulur ada di Sedulur Sikep dimulai dari Mbah Samin karena didasari kabeh wong iki sedulure (semua orang itu bersaudara), kalau mau dianggap sedulur jangan membedakan keyakinan dan kulit," terang Gunretno kepada detikJateng ditemui di Desa Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo, Pati, Jumat (28/10).
Gunretno menjelaskan pergerakan melawan ketidakadilan hingga sekarang pun masih digaungkan. Terutama melawan adanya kerusakan alam. Sedulur Sikep kehidupan mengandalkan sebagai petani dalam sehari-hari. Sedangkan kondisi alam rusak akibat tambang hingga penggundulan. Gunretno yang juga sebagai Ketua Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menyuarakan penolakan perusakan alam.
"Kendeng utara yang meliputi Kudus, Grobogan, Blora, Rembang, sampai Lamongan, melihat kegundulan itu memang serius karena saya pernah meminta Jokowi untuk dilakukan kajian lingkungan hidup di daerah di wilayah Kendeng utara," ujar dia.
"Faktanya Kendeng ditemukan kerusakan yang begitu besar, sehingga tidak boleh ada izin yang keluar. Yang tidak konsisten adalah pemerintah, bagaimana hasil KLHS itu jadi untuk pijakan untuk pembangunan jangka menengah dan panjang. Dan juga untuk membuat perda tata ruang, ini harus dipakai. Faktanya keluar izin baru, ini jadi pemerintah tidak konsisten," pungkas Gunretno.