Wilayah Kabupaten Klaten menjadi medan tempur para pelajar di masa perang kemerdekaan 1945-1948. Buktinya banyak jejak perjuangan mereka, salah satunya tugu Ganesha di Desa Sukorejo, Kecamatan Wedi.
Tugu Ganesha tersebut tidak megah karena hanya tembok setinggi sekitar 2 x 1 meter. Cat temboknya lusuh dengan plester yang mulai mengelupas.
Prasasti berupa batu pualam putih di tengahnya bertuliskan 'Pengorbanan Tidak Sia-Sia 1. Soenadi 2. Soedibjo ex TP Klaten Det II Be 17'. Di bawah prasasti diletakkan batu putih kecokelatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di atas tembok diletakkan patung arca Ganesha, simbol ilmu pengetahuan, penjaga dan kesejahteraan. Patung berkepala gajah itu memegang kapak dan cakra, duduk di atas Padma dengan belalai menghisap mangkuk di tangannya.
Berdiri di halaman sebuah gedung yang belum selesai direhab, tugu itu mudah ditemui. Sebab berada di tepi jalan desa yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari kantor desa.
Kaur Perencanaan Sukorejo, Kecamatan Wedi, Krisnadi menjelaskan tugu dan gedung itu sebagai penghargaan pemerintah kepada para eks tentara pelajar (TP). Dibangun oleh Kemenpora karena kades lama merupakan eks TP.
"Pak Kades sepuh itu eks TP tapi sudah meninggal. Sebagai ucapan terimakasih dibangunkan tugu dan gedung tersebut," ungkap Krisnadi kepada detikJateng, Jumat (1/9/2022) lalu di kantornya.
Krisnadi mengatakan desanya menjadi markas gerilya tentara pelajar setelah proklamasi kemerdekaan 1945. Setelah proklamasi, Belanda kembali merebut Yogyakarta di agresi militer II.
"Para pejuang TP itu di sini markasnya saat menghadapi agresi militer Belanda II atau clash II tahun 1948. Jumlah pejuang konon cukup banyak," imbuh Krisnadi.
Markas gerilya TP di barat desa, simak halaman berikutnya..
Diwawancarai terpisah, Kades Sukorejo Kecamatan Wedi, Suryono menyatakan markas gerilya TP ada di barat desa. Tepatnya di Dusun Dukuh.
"Markasnya di Dusun Dukuh sekitar 200 meter dari balai desa. Dulu ada prasasti temboknya tapi sekarang sudah hilang dan jejak sejarahnya pun hilang," kata Suryono.
Untuk menguak perlawanan pejuang TP, detikJateng menemui Supoyo (81), sesepuh desa. Kakek yang juga mantan anggota TNI AD itu membenarkan desanya menjadi markas gerilya TP.
"Desa Sukorejo dan Desa Birit dulu ditempati pejuang gerilya TP. Ada empat rumah yang jadi markas, termasuk timur rumah saya," ucap Supoyo kepada detikJateng di rumahnya.
Dituturkan Supoyo, markas para pejuang itu dipecah beberapa lokasi agar tidak diketahui Belanda. Sebab jumlahnya sekitar satu peleton.
"Jumlahnya dulu satu peleton jadi dipecah-pecah agar tidak diketahui Belanda. Komandannya saya ingat Pak Hasno," jelas Supoyo.
Saat para pelajar itu bermarkas di desanya, terang Supoyo, dirinya masih kecil dan berusia sekitar 6-7 tahun. Seingatnya para pejuang itu usianya masih muda.
"Kebanyakan pejuang itu usianya muda, sekitar 20 tahunan. Paling banyak asalnya dari Solo dan Kartasura," kata Supoyo.
Para pejuang itu, sebut Supoyo, sudah memegang senjata semua meskipun pakaian seadanya. Untuk makan minum, para pejuang itu disokong warga.
"Untuk makan dan minum ya diberi warga desa, ibu saya setiap pagi juga memasak untuk mereka. Bahkan sampai ada yang dapat istri orang sini," sambung Supoyo.
Para gerilyawan itu, kata Supoyo, bermarkas di desanya sampai tahun 1951 sebelum akhirnya ditarik. Meskipun untuk markas, di desanya tidak pernah terjadi pertempuran.
"Tidak ada tembak menembak di sini karena ini persembunyian. Tapi pernah ada mata-mata Belanda tertangkap ditembak," imbuh Supoyo.
Supoyo menyatakan ada satu pejuang asal desanya bernama Sapar gugur di usia muda. Sapar tertembak pesawat Belanda saat bertugas di bekas benteng Belanda yang ada di kota Klaten.
"Gugurnya di bekas benteng Belanda yang sekarang sebagian untuk Masjid Raya Klaten. Jenazahnya dibawa pulang dan dikuburkan di desa, tapi sekitar tahun 1951 dipindah ke makam pahlawan," pungkas Supoyo.