Greenpeace Tangani 188 Perbudakan di Kapal Tahun Ini, Terbanyak Sejak 2014

Greenpeace Tangani 188 Perbudakan di Kapal Tahun Ini, Terbanyak Sejak 2014

Imam Suripto - detikJateng
Senin, 01 Agu 2022 18:58 WIB
Hands of the prisoner on a steel lattice close up
Ilustrasi. (Foto: Getty Images/iStockphoto/bortn76)
Brebes -

Greenpeace Indonesia mengungkap praktik perbudakan modern banyak terjadi di kapal-kapal perikanan. Sejak tahun 2014 sampai tahun ini, sudah 634 kasus perbudakan modern yang ditangani.

Catatan Greenpeace Indonesia menyebutkan kasus perbudakan modern kerap menimpa pada buruh migran yang bekerja sebagai ABK (anak buah kapal). Terutama kapal-kapal ikan berbendera asing.

Dari tahun 2014, Greenpeace Indonesia sudah menangani 634 kasus perbudakan modern. Dari angka itu, paling banyak di tahun 2022 dengan jumlah 188 kasus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mulai tahun 2014 sampai 2022, kasus perbudakan modern yang ditangani sebanyak 634. Tahun 2022 adalah yang terbanyak 188 kasus," ungkap Sekjen Greenpeace Indonesia Boby Anwar Maarif usai rapat di Hotel Grand Dian, Brebes, Senin (1/8/2022).

Pengakuan korban yang dihimpun Greenpeace Indonesia menyebut pada umumnya mereka mengalami kondisi kerja yang buruk. Seperti buruknya kualitas makanan minuman yang dikonsumsi serta tidak ada jaminan kesehatan dan penggelapan gaji.

ADVERTISEMENT

"Mereka mengalami kondisi kerja yang buruk di tempat kerjanya. Misalnya bekerja dalam durasi waktu panjang dan nyaris tidak bisa istirahat. Makan dan minum tidak layak dari air sulingan. Ketika sakit juga tidak ada jaminan kesehatan. Ketika pulang gajinya itu digelapkan," beber Boby.

Boby menuturkan penggelapan gaji ABK kerap terjadi karena pembayaran gaji oleh perusahaan kapal perikanan di luar negeri menggunakan sistem delegasi.

Perusahaan kapal perikanan tidak memberikan gaji secara langsung kepada ABK. Melainkan melalui pihak ketiga atau agen. Sehingga proses pembayaran seperti ini dianggap rawan terjadi penggelapan.

Pihak Greenpeace Indonesia mendesak agar PP Nomor 22 Tahun 2022 segera dilaksanakan. Ini demi melindungi para ABK dari praktik perbudakan modern.

Disebutkan Boby, PP itu mengatur kriteria perusahaan yang diperbolehkan melakukan perekrutan ABK Indonesia. Kriteria itu meliputi: perusahaan harus memiliki modal minimal Rp 5 miliar, dan perusahaan memiliki deposito minimal Rp 1,5 miliar. Deposito itu, lanjut Boby, bisa digunakan untuk membayar gaji ABK, jika pihak perusahaan tidak bersedia membayarkan gaji.

"Kami berharap Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 harus diimplementasikan. Selain harus punya modal dan deposito, perusahaan harus memiliki SIP3MI (Surat Izin Perekrutan Penempatan Pekerja Migran Indonesia). Jika PP 22/2022 diimplementasikan, maka para pekerja ini bisa terlindungi. Contoh, jika ABK tidak dibayar, maka uang deposito itu bisa diambil untuk membayar pekerja," jelas dia.

Dalam kesempatan tersebut, Greenpeace Indonesia juga menyoroti kasus perbudakan yang menimpa pada pekerja migran asal wilayah Pantura Barat yang meliputi Kabupaten Brebes, Tegal, dan Pemalang. Mereka umumnya bekerja di sektor perikanan.

Kabupaten Brebes, lanjut Boby, adalah paling banyak terdapat korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia yang masuk dalam model perbudakan modern.

"Tiga wilayah, Brebes Tegal dan Pemalang merupakan kantung pekerja migran. Pekerja Brebes paling banyak menjadi korban," Boby menambahkan.




(aku/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads