Tragedi 27 Juli 1996, Sabtu Kelabu nan Tak Kunjung Terang

Tragedi 27 Juli 1996, Sabtu Kelabu nan Tak Kunjung Terang

Tim detikJateng - detikJateng
Rabu, 27 Jul 2022 08:12 WIB
Korban Kudatuli Gelar Aksi di Depan Komnas HAM
Korban Kudatuli menggelar aksi di depan kantor Komnas HAM. Foto: Rakha/detikcom
Solo -

Sekelompok orang yang menamakan dirinya Keluarga Korban Tragedi 27 Juli 1996 (Kudatuli) mendatangi kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhari, Jakarta, Rabu (20/7/2022). Salah satu dari mereka adalah Ribka Tjiptaning yang juga dikenal sebagai politisi dari PDIP.

Mereka datang dan melakukan audiensi dengan komisioner di Komnas HAM dengan satu tujuan, yaitu meminta agar dalang di balik tragedi Kudatuli itu diungkap.

"Ya iya itu pasti (dalang diungkap), kalau kemarin itu emang pernah diadili ya kan. Ketika rekomendasi itu keluar tapi itu hanya ecek-eceknyalah. Dalang sendiri belum ada satu pun yang tertangkap. Iya termasuk poin utama yang diobrolin," kata Ribka usai audensi itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Serangan di Sabtu Kelabu

Perebutan kantor yang berujung pada penyerangan brutal itu terjadi pada Sabtu 27 Juli 1996. Ada yang kini menyebutnya sebagai kerusuhan dua puluh tujuh Juli yang disingkat Kudatuli.

Ada pula yang menyebutnya sebagai Sabtu Kelabu, merujuk pada peristiwa yang terjadi pada Hari Sabtu.

ADVERTISEMENT

Siapa sangka, hingga kini kasus tersebut juga masih tetap kelabu dan gelap, tidak jelas siapa otak di balik peristiwa tersebut.

Kerusuhan tersebut merupakan dari dampak dualisme kepemimpinan di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Saat itu massa pendukung Soerjadi mengepung markas PDIP yang saat itu masih dikuasai oleh massa pendukung Megawati.

Cerita pengepungan itu masih diingat betul oleh para kader PDI dan aktivis. Salah satunya adalah Maruarar Sirait. Saat itu dia masih berada di rumah dan menerima telepon untuk merapat ke markas PDI yang berada di Jalan Diponegoro.

"Waktu itu pagi-pagi saya ditelepon kebetulan saya di rumah, pagi-pagi jam 05.00 WIB pagi bahwa ada penyerangan di kantor PDI. Saya bersama rekan-rekan yang ada di Bintaro kami datang ke sana. Kemudian saya bersama adik saya, Johan dan rekan-rekan simpatisan lain," tutur Maruarar dikutip dari detikNews.

Setibanya di markas PDI, suasana sudah genting. Kantor tersebut sudah dikepung oleh ratusan orang.

"Teman-teman kami banyak yang di dalam tidak bisa keluar, sementara kami yang di luar tak bisa masuk," kata Ara, sapaan akrab Maruarar.

Cerita serupa juga diungkapkan oleh Adian Napitupulu kepada detikNews, lima tahun silam. Dia memberikan kesaksian betapa mencekamnya kejadian Sabtu Kelabu itu.

Beberapa hari menjelang penyerangan tersebut, menurut Adian, sudah banyak isu santer kantor DPP PDI akan diserbu oleh ribuan orang.

"Kabar akan terjadi penyerbuan itu sudah dari 10 hari sebelumnya. Setiap hari selalu ada isu ada pasukan mau menyerbu," kenang Adian.

Kabar itu pun terbukti. Pada 27 Juli 1996, massa mengepung markas PDI dan melakukan penyerangan. Kader yang akhirnya berdatangan tidak bisa membantu kawan-kawannya yang terjebak di dalam markas karena dihalangi aparat.

"Jahatnya Orde Baru, waktu itu orang perang di situ dibiarin aja. Malah dibikin ring sama tentara dan polisi, dipagar betis biar orang nggak bisa masuk," kata Adian

Dia menggambarkan kekejaman itu melalui kesaksian datangnya mobil pemadam kebakaran di kantor partai itu. Menurut Adian, kedatangan mobil itu bukan untuk memadamkan api.

"Waktu itu memang sempat datang beberapa pemadam kebakaran datang ke lokasi siang sampai sore untuk menyemprot darah yang berceceran di halaman," katanya.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya...

Temuan Komnas HAM

Sehari setelah peristiwa itu, Komnas HAM langsung melakukan investigasi. Tim di bawah pimpinan Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa itu menemukan indikasi pelanggaran HAM berat.

Dikutip dari laman resmi Komnas HAM, ada lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Adapun kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp 100 miliar akibat dari peristiwa kudatuli ini.

Komnas HAM juga menilai terjadi 6 (enam) bentuk pelanggaran HAM, yaitu pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, dan pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, juga pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.

Kudatuli Susah Terungkap

Beberapa orang sempat diajukan ke meja hijau dalam kasus ini. Namun sejumlah kalangan menilai mereka bukan aktor intelektual dari kerusuhan tersebut.

Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Mada Sukmajati, menilai kasus itu sulit diselesaikan karena sejumlah alasan di baliknya.
Mada mengatakan, peristiwa Kudatuli terjadi menjelang runtuhnya Orde Baru, saat Indonesia masuk pada transisi menuju era demokratisasi.

Menurutnya, elit-elit lama masih berkecimpung di dalam rezim saat ini. Terlebih, elit-elit lama menyebar di semua partai dan di jabatan-jabatan publik strategis.

"Karena banyak berbagai kepentingan yang kemudian tidak mudah diselesaikan. Karena elit lama yang terlibat dalam kebijakan non demokratis dulu itu, sekarang masih berkuasa, itu menjadi penting untuk dicatat. Karena karakter transisi tidak baru dan justru akomodir elit lama dan elit baru," ujarnya.

Sedangkan bagi PDIP, menurut Mada, tak tuntasnya kasus Kudatuli bisa menjadi keuntungan tersendiri secara politis.

"PDIP sekarang ini mungkin dianggap tidak relevan untuk menuntaskannya. Dianggap sebagai pengingat saat ini, bahwa pernah PDI diintervensi oleh pemerintah, diporak-porandakan," katanya.



Simak Video "PDIP Minta Jokowi Masukkan Peristiwa Kudatuli ke Pelanggaran HAM Berat"
[Gambas:Video 20detik]


Hide Ads