Ngono ya Ngono...

Kolom Minggu Pagi

Ngono ya Ngono...

Muchus Budi R. - detikJateng
Minggu, 10 Jul 2022 07:16 WIB
Pertunjukan wayang kulit di Pulau Nyamuk, Desa Nyamuk, Kecamatan Karimunjawa, Jepara, Jumat (13/5/2022).
Ilustrasi (Foto: Dian Utoro Aji/detikJateng)
Solo -

Menjadi Jawa itu betapa sangat rumitnya. Bahkan yang lahir ceprot di Jawa dari bapak-simbok asli Jawa saja terkadang masih gedandapan menemui beberapa hal. Memang sangat kompleks memahami pemikiran Jawa yang tidak lempeng, apa lagi bagi yang berasal dari kultur dan subkultur berbeda.

Menjadi Jawa itu terkadang memang harus diniatkan untuk menapaki sebuah laku dalam ruang toleransi teramat luas. Tidak ada keluh kesah atau merasa menjadi seorang yang dipagari oleh 'akunya' yang kuat. Karena memang menjadi Jawa harus siap untuk melebur dalam budaya kolektif ajur ajer.

Menjadi Jawa juga harus mampu jembar dhadhane; gulu bengawan, ati segara. Tidak boleh menyakiti orang dan bisa kamot terhadap kondisi apapun. Karena memang Jawa ini betapa spektrumnya teramat luas tanpa bisa dibatas-batasi oleh aturan baku yang telah disepakati sekalipun. Menjadi Jawa harus siap masuk dalam sebuah wilayah awang uwung yang hanya bisa diukur dalam kedalaman rasa pangrasa.

Sulit kan? Sulit. Bahkan rumit. Bagaimana meraih kebijaksanaan Jawa itu sesuai kedalaman pemikiran dan kearifan yang sinamun ing samudana dalam era yang serba cepat melesat ini. Kita harus mempelajari dan memahami tentang 'lamun banter aja nglancangi, lamun pinter aja ngguroni, lamun landhep aja natoni, lamun dhuwur aja ngungkuli'. Padahal pada kesempatan lain menjadi Jawa itu dituntut untuk bisa 'punjul ing apapak mrojol ing akerep'.

(Alm) Sutan Takdir Alisyahbana, salah satu pemikir kebudayaan nasional pernah merumuskan sebuah pemikiran bahwa untuk memasuki alam pemikiran Jawa, kuncinya ada pada 'alus'. Tak salah juga tentunya...

Namun sosiolog kenamaan, (Alm) Sudjoko Prasodjo, punya pendapat lain tentang memasuki alam Jawa: kuasailah dahulu makna dan arti 'ngono ya ngono nanging aja ngono'.

Ada yang tahu secara tepat bagaimana mengartikan kalimat tersebut? Arti harfiah 'ngono ya ngono nanging aja ngono' mungkin adalah; 'begitu ya begitu, tapi jangan begitu'. Atau mungkin kalau diartikan bersama segala tafsirnya akan menjadi, 'berbuat begitu itu ya boleh-boleh saja tapi ya jangan seperti itu dong'.

Membingungkan kan? Kalau ada orang disakiti atau ditipu lalu dengan muka kesal dia bilang 'ngono ya ngono nanging aja ngono', kira-kira apa maknanya? Apakah dia sebenarnya menerima perlakukan itu? Apakah dia sebenarnya marah? Atau sebetulnya sudah menduga akan dibegitukan namun mengira tidak sebegitu sakitnya? Atau sebetulnya dia menerima saja tanpa catatan? Sulit mendapat jawaban pasti dari ungkapan seseorang Jawa melalui kalimat itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bisa jadi dalam kalimat itu terbersit sikap toleransi tadi, atau sikap kamot yang penuh rasa pangrasa, atau perasaan yang dipandu oleh kesabaran tiada batas, atau ungkapan marah yang dipagari oleh tata susila yang alus tadi? Ataukah jangan-jangan itu lautan tempat bermuaranya semua arus bernama sungai toleransi, sungai rasa pangrasa, sungai sabar dan sungai alus dan sungai-sungai lainnya tadi? Sulit menjawabnya.

Sulit memang. Bahkan rumit. Semua serba diambangkan. Sikap pikir dan tumindak bagi orang Jawa ini sepertinya semua diambangkan saja. Semua dikembalikan pada rasa atine dhewe. Sebelum dicibir orang, sebetulnya semua laku dan tumindak itu bisa dilihat dari cermin hatinya sendiri. Kebangetan apa tidak itu bisa dirasakan sendiri dari lubuk hati.


Solo, 10 Juli 2022


Muchus Budi R
adalah wartawan detikcom

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi.




(mbr/sip)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads