Toleransi di Dusun Bedug Wonogiri, Tempat Ibadah Berdampingan

Toleransi di Dusun Bedug Wonogiri, Tempat Ibadah Berdampingan

Muhammad Aris Munandar - detikJateng
Selasa, 28 Jun 2022 20:33 WIB
Toleransi beragama tecermin di Dusun Bedug, Desa Gedongrejo, Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri.
Toleransi beragama tecermin di Dusun Bedug, Desa Gedongrejo, Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri. Foto: Muhammad Aris Munandar/detikJateng
Wonogiri -

Toleransi beragama dan bermasyarakat tecermin di Dusun Bedug, Desa Gedongrejo, Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri. Ada tiga tempat ibadah tiga agama dianut oleh masyarakat Bedug, yakni Islam, Buddha dan Katolik, yang letaknya berdampingan.

detikJateng berkunjung ke Dusun Bedug yang berjarak 10 kilometer dari Kota Kecamatan Giriwoyo itu. Bedug merupakan salah satu dusun yang hampir berbatasan langsung dengan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Geografis dusun ini didominasi sawah dan tegalan.

Pantauan di lokasi, jarak antara gereja dan wihara hanya 50 meter. Sedangkan jarak antara kedua tempat ibadah itu dengan masjid sekitar 150 meter. Ketiga rumah ibadah itu masih digunakan karena umatnya masih cukup banyak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepala Desa Gedongrejo, Untung Suharin mengatakan kemajemukan beragama di Gedongrejo tidak hanya di Dusun Bedug saja. Ada sekitar lima dusun yang warganya memeluk agama berbeda-beda.

"Memang yang paling terlihat keanekaragaman beragamanya ada di Bedug. Sebab di Bedug ada tiga tempat ibadah. Wihara di Bedug itu juga dipakai penganut Hindu se-Desa Gedongrejo," kata dia saat ditemui di Dusun Bedug, Selasa (28/6/2022).

ADVERTISEMENT

Ketua Wihara Dusun Bedug, Sutino, mengatakan jumlah penganut Buddha di Gedongrejo ada 39 KK dengan jumlah individu sebanyak 78 orang. Sementara itu, dari 86 KK yang ada di Dusun Bedug, jumlah penganut Buddha sebanyak 15 KK.

"Untuk penganut Buddha di sini termasuk minoritas, tapi kami sangat nyaman dan tenang saat beribadah maupun bersosialisasi dengan masyarakat. Masjid dan wihara itu masih satu RT. Kalau di Bedug Islamnya 80 persen, Buddha 10 persen dan Katolik 10 persen," kata dia.

Toleransi beragama tecermin di Dusun Bedug, Desa Gedongrejo, Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri.Toleransi beragama tecermin di Dusun Bedug, Desa Gedongrejo, Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri. Foto: Muhammad Aris Munandar/detikJateng

Menurutnya, kerukunan antarumat beragama di Bedug sudah tidak diragukan lagi. Sikap toleransi dan menghormati antarumat beragama sudah tertanam di setiap jiwa warga. Bahkan saat hari raya salah satu agama di dusun itu, penganut agama lain saling membantu dan bergotong royong.

"Misal Hari Raya Idul Fitri, yang membantu parkir memenuhi kebutuhan atau perlengkapan dan gotong royong dari penganut Katolik dan Buddha. Sudah melebur, apa lagi kegiatan sosial budaya atau kemasyarakatan, ada keharmonisan antarumat beragama," ujar dia.

Tak hanya itu, menurut Sutino, setiap ada perayaan keagamaan, baik itu Idul Fitri, Natal maupun Waisak, masyarakat menggelar sejumlah kegiatan yang bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan. Kegiatan yang digelar di antaranya turnamen bola voli, pentas wayang dan pertunjukan lainnya.

"Selama puluhan tahun kami berdampingan belum pernah terjadi gesekan antarumat beragama. Landasan kami itu Pancasila dan sikap gotong royong saling membantu. Itu yang sudah ada sejak nenek moyang dan kami teruskan," kata Sutino.

Keberagaman antarberagama di Bedug juga dirasakan oleh tokoh umat Katolik di sana, Paulinus Kardi. Menurutnya, salah satu hal kecil bentuk kerukunan yang ada di Bedug adalah kegiatan karang taruna atau pemuda. Setiap satu pekan sekali mereka membersihkan tiga tempat ibadah secara bergiliran.

Toleransi beragama tecermin di Dusun Bedug, Desa Gedongrejo, Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri.Toleransi beragama tecermin di Dusun Bedug, Desa Gedongrejo, Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri. Foto: Muhammad Aris Munandar/detikJateng

Ia mengatakan, jika ada warga setempat yang berpindah agama tidak akan diperbincangkan atau digunjing. Masyarakat sudah menyadari jika hal itu adalah sebuah pilihan. Hanya saja, anak yang berusia di bawah 17 tahun akan diajarkan atau dididik sesuai dengan agama orang tua. Setelah itu, anak bebas memilih mau memeluk agama apa.

"Di sini ada arisan rutin yang diikuti oleh tokoh-tokoh dari tiga agama, namanya Arisan Rukun Manunggal. Anggotanya hanya 15 orang, karena memang khusus untuk para tokoh agama. Itu arisannya setiap tanggal 9. Ini sebagai wadah perekat antarumat beragama juga," katanya.

Sementara itu, salah seorang tokoh Islam di Dusun Bedug, Katijo, membenarkan jika kerukunan antarumat beragama di dusunnya sangat tinggi.

"Sebagai agama mayoritas di sini kami tetap menghormati dan membaur dengan penganut agama lain," kata Katijo.

Serumah beda agama di halaman selanjutnya

Toleransi dalam keluarga

Kepala Desa Gedeongrejo, Untung Suharin menambahkan, toleransi tak hanya antartetangga, namun juga di dalam kepala keluarga (KK).

"Keberagaman agama di sini memang sudah lama. Rasa tolenrasi antaragama pun tinggi. Banyak ditemui dalam satu keluarga itu beda agama. Bahkan ada suami istri beda agama. Dulu menikahnya lewat salah satu agama," katanya, Selasa (28/6).

Latar belakang banyaknya warga di Bedug yang anggota keluarganya memiliki agama berbeda-beda dijelaskan oleh Ketua Wihara Maitriratna Dusun Bedug, Sutino.

Ia menceritakan Buddha masuk Gedongrejo, khususnya di Bedug sekitar 1965. Saat itu dari 265 KK yang ada di Gedangrejo, hampir setengah dari warganya menganut Buddha. Namun, sekitar 1980-1985 jumlah penganut Buddha mulai menurun.

"Jumlahnya (penganut Buddha) menurun karena faktor pernikahan. Dulu saat nikah banyak yang pindah agama menjadi Islam, karena ada faktor pencatatan sipil," kata Sutino.

Tokoh Katolik Dusun Bedug, Paulinus Kardi, mengaku sebelum menjadi Katolik, ia menganut Buddha. Ia pindah agama karena pernikahan. Saat kecil, sekolah SD hingga SMP masih menganut Buddha.

"Faktor utama itu memang administrasi pernikahan. Dulu administrasi atau pencatatan nikah di Buddha belum semudah sekarang, masih susah. Sementara kan kita butuh akte, surat nikah dan lain-lain. Ya dulu yang mudah mengurus administrasi Islam dan Katolik. Tapi sekarang Buddha juga sudah mudah," kata Kardi.

Halaman 2 dari 2
(rih/ahr)


Hide Ads