Di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, ada sebuah kampung yang namanya cukup unik. Nama kampung itu adalah Ngak Inguk.
Ngak Inguk merupakan salah satu dusun yang masuk di wilayah Desa Pucanganom, Kecamatan Giritontro, Kabupaten Wonogiri. Ngak Inguk berasal dari kata bahasa Jawa 'nginguk' yang berarti menoleh.
Dusun Ngak Inguk berjarak sekitar tiga kilometer dari Jalan Raya Giritontro-Baturetno. Jika ke sana harus melewati sejumlah kampung dan area persawahan atau tegalan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesepuh Dusun Ngak Inguk, Mulyono (75) mengatakan, kampung Ngak Inguk konon sudah ada sejak zaman para wali di Jawa. Dulu awalnya kawasan Ngak Inguk merupakan tegalan atau hutan. Kemudian ada seseorang yang mengembara sampai di lokasi tersebut.
"Orang yang pertama kali ke sini itu mbah buyut (cicit) saya. Jadi bebet babate sekawit itu mbah buyut saya. Dulu saat ke sini sendirian. Melihat utara, selatan, timur dan barat tidak ada orang, jauh dari tetangga. Mbah buyut saya jadinya kan ingak inguk saat itu," kata Mulyono kepada detikJateng, Senin (13/6/2022).
Ia mengatakan, buyut dari Mulyono yang tidak diketahui namanya itu berasal dari Dusun Mijahan, Desa Banaran, Kecamatan Pracimantoro. Saat itu mbah buyut suka ngelelono atau mengembara ke luar daerah. Setelah sampai di sini, mbah buyut itu lantas berkeinginan membangun rumah atau keprabon.
"Nah selang tidak lama, saat itu ada rombongan para wali yang ke sini. Mereka tanya daerah sini namanya apa. Mbah saya menjawab spontan ngak inguk. Karena memang dulu masih tegalan, jauh dari perkampungan, lihat kanan kiri hanya tegalan. Nah sejak saat itu disebut Dusun Ngak Inguk," ujar dia.
Menurut Mulyono, pada saat itu ketika para wali akan salat di Ngak Inguk tidak ada air. Kemudian para wali menancapkan tongkat dari kayu pucang ke tanah. Dari tanah itu kemudian muncul sumber air. Dulu air itu dimanfaatkan oleh warga untuk kebutuhan sehari-hari. Sekarang hanya digunakan untuk pertanian.
"Sumur itu ada di sebelah utara timur desa. Dulu dijadikan punden atau dayangan, sekarang tidak, sudah saya bersihkan. Mitosnya dulu, jika ada wanita yang sedang kotor (haid) kemudian mandi di sana akan menjadi gawalan (musibah)," jelas pria yang akrab disapa Mbah Modin.
Mulyono menjelaskan, pada saat itu para wali ingin salat. Setelah ingak inguk (melihat-lihat) tidak ada masjid di kawasan itu. Kemudian para wali mendirikan masjid yang cukup besar di kawasan Migit.
"Kayu-kayu yang digunakan membangun juga tidak tahu dari mana. Intinya saat itu menjelang waktu Subuh pembangunan masjid dihentikan. Namun secara tiba-tiba masjid sudah jadi. Kalau zaman dulu disebut Masjid Tiban," kata Mulyono.
Menurutnya, saat ini masjid itu sudah tidak ada. Sekarang lahan bekas masjid itu digunakan untuk tanah kas desa dan dilelang untuk tanah garapan.
"Dulu saat saya kecil masjid itu sudah tidak berdiri, sudah ambruk. Tapi bekas tumpukannya masih ada. Pada saat itu banyak warga sini yang belum salat meski beragama Islam. Kemudian saya ajari ngaji generasi mudanya. Akhirnya sekarang sudah banyak yang salat," katanya.
Ia mengatakan, Dusun Ngak Inguk terdiri dari dua rukun tetangga (RT) dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 75 KK. Sebagian besar warganya bekerja sebagai petani.
"Aslinya warga sini hampir semua masih saudara. Karena dihuni dari keturunan mbah buyut saya. Baru ada pendatang itu sekitar 1970-1986. Saat itu ada pergeseran warga akibat dampak pembangunan WGM (Waduk Gajah Mungkur)," pungkas Mulyono.
(rih/rih)