Dalam sebuah lakon wayang kulit klasik gubahan asli masyarakat Jawa, ada sebuah lakon berjudul 'Welgeduwelbeh'. Lakon ini dikemas dengan gaya satire, nuansa naif kerakyatan yang kental, komedial, cair, paradoksal, dan pastinya sembrana parikena. Meledek, mengkritik dan bahkan menampar siapapun orang yang sedang tertawa terpingkal-pingkal ketika menontonnya.
Prabu Welgeduwelbeh, demikian dia selalu menyebut dirinya sendiri secara lengkap, adalah nama baru dari Petruk setelah menobatkan dirinya sendiri sebagai raja.
Dari yang 'bukan siapa-siapa', Welgeduwelbeh bisa kokoh menjadi seorang raja dengan kekuasaan penuh setelah berhasil mengambil untung dari sebuah kemelut politik.
Tentu saja, harus dengan cara yang elegan, penuh pasemon, dengan gelak tawa dan canda, serta dengan sembrana parikena tadi. Petruk si komedian dipilih sebagai tokoh penceritaan dengan dinobatkan menjadi pemimpin yang tanpa persiapan moral dan landasan batin apapun, 'terpaksa' menjadi raja baru karena kepadanya disandangkan modal kekuasaan dan kekuatan yang menjelma 'mandat' besar.
Seorang pelukis tradisional Jawa kenamaan, (Alm) Ki Sastro Gambar, membuat karya sangat menarik dalam sebuah lukisan kaca. Digambarkan Prabu Welgeduwelbeh dengan pakaian mewah, memakai mahkota bertabur permata, mengenakan perhiasan di berbagai tempat, bahkan di hidungnya yang panjang melingkar sebuah cincin berlian karena semua jemari sang prabu sudah penuh terpasang cicin berlian lainnya. Duduk di singgasana gemerlapan,salah satu tangan Sang Prabu memegang botol minuman keras, sedangkan satu tangan lainnya memeluk sembari meremas bagian tertentu seorang perempuan yang duduk di pangkuannya.
Lukisan karya Sastro Gambar ini di kemudian hari tercatat sebagai salah satu karya seni fenomenal dan cukup legendaris dalam sejarah seni rupa. Duplikasi karya ini dilakukan secara besar-besaran oleh seniman-seniman lainnya sehingga setidaknya pada dekade 50-an hingga 80-an di dinding rumah sebagian besar warga Jawa, terutama di pedesaan, tergantung gambar tersebut. Si pemilik rumah sedang ingin mengingatkan, setidaknya kepada diri sendiri, agar di kemudian hari tidak lupa daratan jika sedang diuji oleh keadaan dengan ujian kenikmatan dan kekuasaan.
Lalu masih relevankah membicarakan Welgeduwelbeh di masa kini? Bukan hanya masih, tapi harus! Di saat setiap saat kita masih terus disuguhi tontonan-tontonan berupa dekadensi moral kekuasaan dan penguasa yang dipilih sebagai pengemban amanat rakyat, Welguduwelbeh muncul di mana-mana.
Menjadi pemimpin tak cukup dengan setumpuk pengetahuan dan segudang teori maupun kecakapan. Menjadi punggawa tentunya tak selesai dengan janji-janji dan onggokan program. Mereka adalah orang-orang yang harus sudah selesai dengan dirinya sendiri, mati sajroning urip. Dengan demikian tak akan tergiur lagi pada situasi maupun kemewahan-kemewahan baru yang akan datang menghampiri seiring datangnya kewenangan yang tergenggam di tangannya.
Seorang pemimpin tak boleh mengambil sesuatu melebihi jatah yang telah ditetapkan baginya. Dia tidak akan menjadi penyeleweng dan pelaku penggelapan kepercayaan dan amanah. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang berkepribadian matang, landasan moral dan batin yang kuat, tidak ambisius serta tentunya tidak merasa sebagai orang yang paling penting.
Lalu adakah seseorang sesempurna itu di kehidupan ini? Jawabannya, mungkin tidak. Lalu apakah dengan demikian kita harus ambil bagian dalam proses pemilihan pemimpin bangsa karena tidak ada yang sempurna? Jawabannya, pasti iya. Tidak ada orang sempurna, tapi nurani kita masih bisa meraba ketulusan orang yang hendak berbuat baik dan menakar yang paling sedikit menyimpan dusta.
Kita akan terus berada di sini, mengawal jalannya bangsa ini menuju gerbang kehidupan lebih baik. Kita tidak akan memilih penguasa untuk menekuk dan menista diri kita sendiri. Kita akan catat dan terus mengingat semua lembaran hitam untuk bekal ke depan, karena perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Solo, 5 Juni 2022
Muchus Budi R, wartawan detikcom
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi
(mbr/ahr)