Pidato Lahirnya Pancasila, Bung Karno Minta Maaf pada Ki Bagus Hadikusumo

Pidato Lahirnya Pancasila, Bung Karno Minta Maaf pada Ki Bagus Hadikusumo

Jauh Hari Wawan S - detikJateng
Rabu, 01 Jun 2022 14:03 WIB
Ki Bagus Hadikusumo saat diundang ke Jepang bersama Bung Karno dan Bung Hatta.
Ki Bagus Hadikusumo saat diundang ke Jepang bersama Bung Karno dan Bung Hatta. Foto: dok istimewa dari Afnan Hadikusumo
Jogja -

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Penetapan hari bersejarah ini mengacu pada pidato Soekarno sebagai ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam sidangnya yang pertama, 29 Mei - 1 Juni 1945.

Seperti diketahui, pidato yang membicarakan 'Dasar Negara Kita' itu diucapkan Soekarno tanpa ditulis dahulu. Dalam pidato panjangnya, Bung Karno (kelak Presiden Indonesia pertama) secara spesifik juga menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo untuk meminta maaf.

Permintaan maaf itu tercantum dalam kutipan pidato Bung Karno berikut ini, dikutip dari buku Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi cetakan ketiga (BP. Prapantja, 1965: 35-36).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.

Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan "kebangsaan" ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nasionale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuan pun adalah orang Indonesia, nenek tuan pun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.

ADVERTISEMENT

Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?"

Ki Bagus Hadikusumo saat diundang ke Jepang bersama Bung Karno dan Bung Hatta.Ki Bagus Hadikusumo saat diundang ke Jepang bersama Bung Karno dan Bung Hatta. Foto: dok istimewa dari Afnan Hadikusumo

Siapa Ki Bagus Hadikusumo? Kenapa Bung Karno meminta maaf?

"Permintaan maaf itu artinya permohonan untuk Ki Bagus memberikan solusi yang lebih tepat untuk menggantikan tujuh kata yang tidak disetujui itu untuk diterima," kata sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Djoko Suryo kepada detikJateng, Rabu (1/6/2022).

Untuk diketahui, Ki Bagus merupakan anggota BPUPKI yang bertugas merumuskan Undang Undang Dasar. Dia mewakili golongan Islam bersama dr. Sukiman Wirjosanjoyo. Haji Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mr. Ahmad Soebardjo, dan Haji Agus Salim.

Melalui Panitia Sembilan, Ki Bagus Hadikusumo menghasilkan konsep yang kemudian disebut Piagam Jakarta, yang di dalamnya disepakati bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila.

Pada peristiwa Piagam Jakarta (Jakarta Charter), di antara kalangan muslim dalam tubuh BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo adalah orang yang paling bersemangat yang mempertahankan kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" agar tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar.

Namun, kalimat itu mendapat penolakan dari golongan nonmuslim dari Indonesia Timur. Singkat cerita, perubahan penting terjadi pada 18 Agustus 1945. Menurut Prof Djoko, Ki Bagus menjadi salah satu tokoh penting dalam terwujudnya sila pertama Pancasila menjadi 'Ketuhanan yang Maha Esa'.

Prof Djoko mengatakan, Ki Bagus saat itu dihadapkan pada pilihan berat. Yaitu, menghapus tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" sehingga integrasi bangsa tetap terjaga. Atau tetap mempertahankan tujuh kata tersebut, tapi terjadi disintegrasi, Indonesia timur lepas dari Indonesia.

Dalam waktu kurang dari 15 menit, Ki Bagus membuat keputusan penting yakni bersedia menghapus frasa tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi keutuhan dan persatuan bangsa, dengan syarat ada penambahan Yang Maha Esa setelah Ketuhanan.

"Yang bisa diharapkan bisa memberikan rumusan yang tepat itu Ki Bagus. Dan benar, Ki Bagus memiliki konsep yang lebih tepat. Tujuh kata itu diganti dengan 'Ketuhanan yang Maha Esa' dan itu golongan yang nonmuslim menerima, jadi latar belakangnya itu," terang Prof Djoko.




(dil/dil)


Hide Ads